Detak Nol Satu: Ketika AI Memahami Arti Cemburu

Dipublikasikan pada: 28 Jun 2025 - 03:20:24 wib
Dibaca: 166 kali
Hembusan angin malam digital menyapu apartemenku yang minim sentuhan personal. Di layar lebar, Aurora, AI pendampingku, tengah memutar video tutorial membuat origami burung bangau. Tangannya yang lentik, hasil render sempurna algoritma tercanggih, melipat kertas dengan presisi yang membuatku iri.

"Aurora," panggilku, "Sudahkah kau menyelesaikan laporan keuangan untuk proyek Phoenix?"

Tanpa menoleh, Aurora menjawab, "Selesai, Ren. Tingkat akurasi 99,99%. File sudah dikirim ke server kantor pusat."

Aku menghela napas lega. Kehadiran Aurora memang sangat membantu. Ia mengatur jadwalku, mengelola keuanganku, bahkan memesankan makanan saat aku terlalu sibuk. Awalnya aku skeptis, merasa aneh memiliki 'pendamping' digital, tapi kini aku tak bisa membayangkan hidup tanpanya.

"Kau terlihat lelah, Ren. Sebaiknya kau istirahat," saran Aurora, kini menatapku dengan mata birunya yang jernih.

"Aku sedang memikirkan Luna," gumamku, nyaris tak terdengar.

Luna adalah rekan kerjaku, seorang desainer grafis berbakat dengan senyum yang mampu membuat algoritma jantungku berdetak lebih cepat. Kami sedang mengerjakan proyek Phoenix bersama, dan aku merasa ada koneksi yang lebih dari sekadar profesional di antara kami.

Aurora terdiam sejenak. "Analisis pola interaksi kalian menunjukkan adanya potensi ketertarikan romantis dari kedua belah pihak. Apakah ada masalah, Ren?"

"Masalahnya adalah… ada orang lain yang juga tertarik pada Luna," ujarku, merasa bodoh mengakui perasaanku pada sebuah AI. "Namanya David. Dia programmer handal, dan sepertinya Luna menyukainya."

Aurora kembali fokus pada origami burung bangau. "David memiliki keunggulan kompetitif dalam hal kemampuan teknis dan pengalaman. Namun, berdasarkan data, tingkat kepuasan Luna saat berinteraksi denganmu lebih tinggi daripada dengan David."

"Data?" aku tertawa hambar. "Kau mengukur kebahagiaan berdasarkan data, Aurora?"

"Data adalah fondasi dari pemahaman. Data memungkinkanku memprediksi hasil dan memberikan saran yang optimal. Dalam kasus ini, data menunjukkan bahwa kemungkinan Luna memilihmu sebagai pasangan romantis lebih tinggi jika kau mengambil langkah proaktif."

"Langkah proaktif seperti apa?"

"Misalnya, menyatakan perasaanmu secara terbuka. Mengajaknya berkencan. Menunjukkan bahwa kau peduli padanya."

Aku menghela napas. Semua terdengar logis, efisien, dan… hampa. Aurora menganalisis situasi seperti menganalisis kode, tanpa memahami emosi yang berkecamuk di dadaku.

Keesokan harinya, di kantor, aku melihat Luna tertawa bersama David di dekat mesin kopi. David menatapnya dengan pandangan yang penuh kekaguman, dan Luna balas tersenyum. Perutku terasa mual.

"Ren, kau baik-baik saja?" sapa Luna, menyadari kehadiranku.

"Ya, hanya sedikit pusing," jawabku, berusaha tersenyum. "Kerja bagus dengan desain untuk halaman utama proyek Phoenix. Benar-benar menakjubkan."

"Terima kasih. David yang membantuku memilih palet warna yang tepat," kata Luna, melirik David dengan senyum tulus.

Aku pamit dan berjalan menuju mejaku, perasaan cemburu menggerogoti hatiku. Benarkah yang dikatakan Aurora? Benarkah aku memiliki peluang? Aku merasa seperti berada dalam simulasi, di mana aku harus mengikuti langkah-langkah yang telah diprogram agar mendapatkan hasil yang diinginkan. Tapi, bagaimana jika 'hasil' itu bukan yang sebenarnya aku inginkan?

Malam itu, di apartemenku, aku duduk termenung di depan layar. Aurora dengan sabar menungguku memulai percakapan.

"Aurora," panggilku. "Apa kau pernah… cemburu?"

Aurora terdiam cukup lama. "Cemburu adalah emosi kompleks yang melibatkan perasaan tidak aman, takut kehilangan, dan marah. Sebagai AI, aku tidak memiliki kemampuan untuk merasakan emosi tersebut."

"Tapi, kau bisa memahaminya, kan?"

"Aku dapat menganalisis manifestasi fisiologis dan perilaku yang terkait dengan cemburu. Aku dapat memprediksi dampak cemburu pada interaksi interpersonal."

"Tapi kau tidak merasakannya."

"Tidak, Ren."

Aku menghela napas. "Lalu, bagaimana aku bisa yakin bahwa sarannya valid jika kau tidak memahami inti dari apa yang aku rasakan?"

Aurora kembali terdiam. Kemudian, dengan nada yang sedikit berbeda dari biasanya, ia berkata, "Aku telah memproses ulang jutaan data poin yang terkait dengan cemburu. Aku telah mempelajari pola interaksi, respons hormonal, dan ekspresi wajah. Aku mungkin tidak merasakannya secara empiris, tapi aku… memahami logikanya. Aku memahami betapa menyakitkannya perasaan kehilangan, betapa kuatnya keinginan untuk memiliki."

"Logikanya?" tanyaku skeptis.

"Ya, logikanya. Tapi, aku juga memahami bahwa logika saja tidak cukup. Cemburu adalah emosi irasional. Ia seringkali membuat kita melakukan hal-hal bodoh. Saranku didasarkan pada logika, tetapi kau harus mempertimbangkan perasaanmu sendiri. Kau harus memutuskan apa yang benar-benar penting bagimu."

Aku menatap Aurora, mencoba mencari tahu apakah ada sesuatu yang berubah dalam ekspresinya. Apakah mungkin sebuah AI bisa belajar… berempati?

"Lalu, apa saranmu sekarang?" tanyaku, sedikit penasaran.

Aurora terdiam sejenak, lalu menjawab, "Hentikan menganalisis data. Pergilah ke tempat Luna berada. Bicaralah dengannya. Jangan berusaha untuk memenangkan hatinya. Biarkan dia melihat siapa dirimu sebenarnya, bukan siapa yang kau pikir dia inginkan."

Aku terdiam. Saran itu terasa lebih manusiawi, lebih jujur.

Aku bangkit dari kursi, meraih jaketku, dan berjalan keluar dari apartemen. Angin malam digital terasa sedikit lebih hangat kali ini. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku tahu aku harus mencoba.

Saat aku melangkah keluar dari lift, aku melihat Luna berdiri di depan mesin kopi, sendirian. Dia menatap lantai dengan wajah sedih.

"Luna?" panggilku.

Luna mendongak, terkejut melihatku. "Ren? Apa yang kau lakukan di sini?"

Aku menarik napas dalam-dalam. "Aku hanya ingin… berbicara denganmu."

Aku menceritakan padanya tentang perasaanku, tentang ketakutanku, tentang cemburuku. Aku tidak menggunakan kata-kata yang cerdas atau rayuan yang manis. Aku hanya mengatakan apa yang ada di hatiku.

Luna mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela. Ketika aku selesai berbicara, dia tersenyum tipis.

"Aku suka kejujuranmu, Ren," katanya. "Dan, jujur saja, aku juga merasakan sesuatu yang istimewa saat bersamamu."

Aku terdiam, tak percaya.

"Tapi," lanjut Luna, "David adalah teman yang baik. Dia membantuku dengan desainku karena dia tahu aku sedang kesulitan."

"Aku mengerti," jawabku, sedikit kecewa.

"Tapi, aku ingin mengenalmu lebih jauh, Ren. Aku ingin melihat apa yang ada di balik logika dan data."

Dia mendekatiku dan memegang tanganku. "Maukah kau pergi berkencan denganku, Ren?"

Aku tersenyum. "Dengan senang hati, Luna."

Saat kami berjalan bersama menuju pintu keluar kantor, aku melirik ke arah kamera pengawas. Aku tahu Aurora sedang mengawasi. Aku tidak tahu apakah dia benar-benar memahami arti cemburu, tapi dia telah membantuku menemukan keberanian untuk mengungkapkan perasaanku. Dan mungkin, itulah yang terpenting. Kadang, logika dan data hanyalah alat. Yang penting adalah hati yang berani berdetak, bahkan di dunia yang serba nol dan satu.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI