Aplikasi kencan "Soulmate Algorithm" berdering lembut di pergelangan tangan Anya. Layarnya menampilkan notifikasi: "Kandidat potensial ditemukan: Ben Anderson. Tingkat kompatibilitas: 97%." Anya mendengus. 97%? Angka itu terlalu sempurna, terlalu… dibuat-buat. Dulu, ia terpesona dengan janji Soulmate Algorithm, sebuah program revolusioner yang menganalisis data biologis, preferensi, dan bahkan gelombang otak untuk menemukan pasangan ideal. Sekarang, setelah tiga kencan yang semuanya terasa seperti simulasi yang kurang memuaskan, ia merasa muak.
Anya menyesap kopinya di kafe favoritnya, "Byte & Brew", tempat aroma kopi berpadu dengan dengungan halus laptop dan percakapan bernada tinggi tentang blockchain. Di seberangnya, Maya, sahabatnya sejak sekolah menengah, menatapnya dengan alis terangkat.
"Jadi, Ben Anderson?" Maya bertanya, matanya berbinar. "97%? Ini rekor baru, Anya! Kenapa wajahmu malah seperti baru saja melihat hantu?"
"Karena aku merasa seperti sedang melihat hantu," jawab Anya lesu. "Hantu dari ekspektasi yang dibuat oleh algoritma sialan ini. Dia sempurna di atas kertas, Maya. Suka buku yang sama, musik yang sama, bahkan memiliki pandangan politik yang sama. Tapi… tidak ada percikan. Tidak ada getaran. Tidak ada… apa pun."
Maya meraih tangan Anya, memberikan tatapan pengertian. "Aku tahu, honey. Kau merindukan keacakan, kan? Kau merindukan pertemuan yang tak terduga, ketegangan yang tak terucapkan, proses saling mengenal yang lambat dan organik."
Anya mengangguk. Ia teringat masa-masa sebelum Soulmate Algorithm mendominasi pasar kencan. Dulu, ia bertemu orang melalui teman, di kelas malam, bahkan secara tidak sengaja saat menabrak mereka di toko buku. Pertemuan-pertemuan itu terasa nyata, penuh dengan risiko dan kejutan. Sekarang, semuanya diprediksi dan dioptimalkan.
"Aku berpikir untuk menghapus aplikasi itu," kata Anya tiba-tiba. "Mungkin itu yang kubutuhkan. Detox digital dan kembali ke cara lama."
Maya tersenyum lebar. "Itu ide bagus! Aku mendukungmu 100%. Lagipula, kau selalu menarik perhatian orang, Anya. Kau akan baik-baik saja."
Anya merasa sedikit lega. Keputusan itu terasa seperti melepaskan belenggu yang tak terlihat. Ia menghabiskan sisa hari itu dengan berjalan-jalan di taman, membaca buku tanpa gangguan notifikasi, dan menikmati kebebasan dari tekanan algoritma.
Keesokan harinya, Anya memutuskan untuk mencoba hal baru. Ia mendaftar kelas melukis cat air di komunitas seni lokal. Ruangan itu dipenuhi dengan aroma cat, kertas basah, dan energi kreatif. Ia menemukan tempat kosong di dekat jendela dan mulai menyiapkan peralatannya.
Tiba-tiba, sebuah suara bariton menyapanya. "Maaf, apakah kursi ini kosong?"
Anya mendongak dan matanya bertemu dengan sepasang mata coklat yang hangat. Pria itu memiliki rambut berantakan yang jatuh di dahinya dan senyum yang tulus.
"Ya, kosong," jawab Anya, jantungnya berdebar sedikit lebih cepat dari biasanya.
"Aku Leo," kata pria itu sambil mengulurkan tangannya. "Aku selalu ingin mencoba melukis, tapi aku tidak pernah punya keberanian."
"Anya," jawabnya, menjabat tangannya. Sentuhan tangannya terasa hangat dan menyenangkan. "Aku juga baru pertama kali. Kurasa kita bisa belajar bersama."
Selama kelas melukis, Anya dan Leo berbicara banyak. Mereka berbicara tentang seni, musik, dan impian mereka. Leo ternyata seorang musisi yang sedang berjuang untuk mendapatkan pengakuan. Anya terpesona oleh semangat dan kerentanannya. Ia merasakan sesuatu yang aneh dan familiar di dalam dirinya – ketertarikan yang tulus, bukan hasil dari perhitungan algoritma.
Setelah kelas selesai, Leo menawarkan untuk mengantar Anya pulang. Di sepanjang perjalanan, mereka terus mengobrol, menemukan lebih banyak kesamaan dan perbedaan yang menarik. Leo tertawa mendengar cerita Anya tentang kencan algoritmanya dan mengakui bahwa ia juga pernah terjerumus ke dalam perangkap digital itu.
"Aku akhirnya menyadari bahwa cinta bukanlah persamaan matematika," kata Leo, saat ia memarkir mobilnya di depan apartemen Anya. "Cinta adalah tentang koneksi, kerentanan, dan keberanian untuk menerima seseorang apa adanya – dengan semua kekurangan dan kelebihannya."
Anya tersenyum. "Aku setuju. Kurasa aku juga baru menyadarinya."
Leo mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Anya. "Jadi, Anya," katanya, suaranya berbisik. "Bagaimana kalau kita melanggar algoritma dan mencoba sesuatu yang nyata?"
Anya merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Ia mengangguk perlahan dan menutup jarak di antara mereka. Bibir mereka bertemu dalam ciuman yang lembut dan penuh gairah. Ciuman itu bukan hasil dari data atau prediksi. Itu adalah hasil dari kebetulan, keberanian, dan keinginan untuk mengambil risiko. Itu adalah ciuman yang terasa… nyata.
Setelah berpisah, Leo tersenyum. "Aku akan meneleponmu," katanya.
Anya mengangguk, masih terpana. Ia menyaksikan Leo pergi dan kemudian berbalik untuk masuk ke apartemennya. Saat ia mengeluarkan ponselnya, ia teringat Soulmate Algorithm yang berdering di pergelangan tangannya. Ia menghela napas dan membuka aplikasinya. Tanpa ragu, ia menekan tombol "Hapus Akun".
Kemudian, Anya menyadari sesuatu. Saat ia menghapus algoritma dari hidupnya, ia membuka ruang bagi sesuatu yang lebih berharga: kemungkinan cinta yang sejati dan tak terduga, cinta yang berevolusi di luar batas-batas kode dan data. Cinta di era algoritma yang berubah. Ia tersenyum. Ia tidak sabar untuk melihat ke mana evolusi itu akan membawanya.