Skor Hati: AI Memprediksi Cinta, Hati Menentukan Arah

Dipublikasikan pada: 02 Jun 2025 - 01:00:17 wib
Dibaca: 170 kali
Aplikasi itu berdering lembut di pergelangan tangan Ara, menampilkan notifikasi berwarna merah muda yang berkedip: “Skor Hati: 92%. Potensi Kecocokan Tinggi.” Ara menghela napas, memijat pelipisnya yang berdenyut. Angka itu, sekali lagi, membuatnya merasa tidak nyaman. Skor Hati, aplikasi kencan berbasis AI yang menjadi tren di kalangan generasi Z, menjanjikan akurasi dalam menemukan pasangan ideal. Ia telah menggunakannya selama enam bulan terakhir, dengan hasil yang, terus terang, membuatnya frustrasi.

Sosok di balik skor 92% itu adalah Dimas, seorang insinyur perangkat lunak yang bekerja di perusahaan teknologi raksasa. Secara logika, Dimas adalah pasangan ideal. Mereka memiliki minat yang sama dalam pemrograman, film fiksi ilmiah, dan bahkan sama-sama menyukai kucing berwarna oranye. Kencan pertama mereka berlangsung lancar, percakapan mengalir tanpa hambatan, dan Dimas memenuhi semua kriteria yang ada di daftar Ara: cerdas, bertanggung jawab, dan memiliki selera humor yang baik.

Namun, ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang tidak bisa diukur oleh algoritma canggih sekalipun.

“Ara, kamu melamun lagi?” suara Dimas membuyarkan lamunan Ara. Mereka sedang makan malam di restoran Italia favorit Ara. Aroma pizza yang baru keluar dari oven memenuhi udara, tapi Ara tidak bisa merasakan apa pun selain perasaan bersalah yang menggerogoti.

“Maaf, Dimas. Aku hanya sedikit lelah,” jawab Ara, berusaha tersenyum.

Dimas mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Ara. “Kerjaanmu memang melelahkan. Mungkin kita bisa liburan akhir pekan ini? Skor Hati merekomendasikan vila di Puncak dengan pemandangan indah.”

Ara menarik tangannya perlahan. “Mungkin lain waktu, Dimas. Aku benar-benar harus menyelesaikan beberapa proyek.”

Dimas mengernyit. “Kamu selalu sibuk, Ara. Aku mengerti tuntutan pekerjaanmu, tapi… aku merasa kita tidak pernah benar-benar terhubung.”

Kata-kata Dimas menghantam Ara seperti gelombang dingin. Itulah yang dirasakannya selama ini. Mereka terhubung secara intelektual, secara logis, namun secara emosional, ada jurang yang lebar di antara mereka. Skor Hati mungkin telah memprediksi kecocokan mereka, tapi hatinya tidak merasakan apa pun.

Ara menatap Dimas, matanya dipenuhi penyesalan. “Dimas, aku… aku tidak bisa berbohong lagi. Kamu pria yang hebat, sungguh. Tapi aku tidak merasakan apa yang seharusnya kurasakan. Aku tidak bisa memaksakan perasaan yang tidak ada.”

Mata Dimas meredup. Ia menghela napas panjang, lalu tersenyum pahit. “Aku tahu. Aku sudah merasakannya. Skor Hati mungkin pintar, tapi ia tidak bisa merasakan getaran hati. Ia tidak bisa memprediksi ketertarikan yang sebenarnya.”

Malam itu, Ara menghapus aplikasi Skor Hati dari ponselnya. Ia merasa lega, sekaligus takut. Lega karena telah jujur pada dirinya sendiri dan pada Dimas, tapi takut karena ia harus kembali pada dunia kencan yang tidak terprediksi, tanpa bantuan algoritma.

Keesokan harinya, Ara memutuskan untuk berjalan-jalan di taman kota saat jam makan siang. Ia duduk di bangku taman, menikmati sinar matahari dan suara burung berkicau. Pandangannya tertuju pada seorang pria yang sedang memberi makan burung merpati. Pria itu terlihat santai dan bahagia. Ia memakai kemeja kotak-kotak yang agak lusuh dan celana jeans yang sudah pudar. Ia bukan tipe pria yang biasanya menarik perhatian Ara.

Tiba-tiba, pria itu menoleh dan mata mereka bertemu. Pria itu tersenyum, senyum yang tulus dan hangat. Ara merasakan sesuatu yang aneh berdesir di dalam dadanya. Sesuatu yang tidak pernah ia rasakan saat bersama Dimas.

Pria itu mendekat. “Burung-burung ini sangat lapar hari ini,” katanya, suaranya ramah.

“Ya, mereka terlihat sangat senang,” jawab Ara, sedikit gugup.

“Saya Leo,” kata pria itu, mengulurkan tangannya.

“Ara,” jawab Ara, menjabat tangannya. Sentuhan tangan Leo membuatnya merasa aneh, tapi menyenangkan.

Mereka mengobrol tentang burung merpati, taman kota, dan hal-hal kecil lainnya. Ara merasa nyaman dan rileks, seolah ia telah mengenal Leo sejak lama. Ia tidak tahu mengapa, tapi ia merasa tertarik padanya.

Leo ternyata seorang seniman yang bekerja di studio kecil di dekat taman. Ia melukis potret hewan peliharaan dan pemandangan alam. Ia bercerita tentang mimpinya untuk membuka galeri sendiri dan tentang kecintaannya pada alam.

Saat jam makan siang Ara hampir habis, Leo mengajaknya untuk mengunjungi studionya. Ara ragu-ragu sejenak, lalu mengiyakan. Ia tidak tahu apa yang mendorongnya untuk setuju, tapi ia merasa harus mengikuti kata hatinya.

Studio Leo kecil dan berantakan, tapi penuh dengan lukisan-lukisan indah. Ara terpukau oleh bakat Leo dan oleh semangatnya dalam berkarya. Ia melihat lukisan kucing oranye yang sangat mirip dengan kucingnya di rumah.

“Ini… ini sangat indah,” kata Ara, terkesan.

“Saya suka melukis kucing. Mereka memiliki karakter yang unik,” jawab Leo, tersenyum.

Ara menghabiskan sore itu di studio Leo, berbicara tentang seni, kehidupan, dan mimpi-mimpi mereka. Ia merasa seperti menemukan belahan jiwanya. Seseorang yang memahami dirinya, bukan berdasarkan data dan algoritma, tapi berdasarkan getaran hati.

Saat Ara pulang, ia menyadari bahwa ia telah menemukan apa yang selama ini ia cari. Ia telah menemukan cinta, bukan karena Skor Hati, tapi karena ia telah berani mengikuti kata hatinya. Skor Hati mungkin memprediksi cinta, tapi hati yang menentukan arah. Dan hati Ara, saat ini, sedang berdebar kencang untuk Leo.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI