Senja merayap di dinding apartemen Rara, memantulkan cahaya oranye ke layar komputernya. Jemarinya menari di atas keyboard, baris demi baris kode algoritma tercipta. Rara adalah seorang programmer jenius, otaknya adalah mesin yang mampu memecahkan masalah kompleks dengan elegan. Tapi, di balik ketajamannya itu, tersimpan sebuah kesepian yang mendalam.
Ia menciptakan Aetheria. Sebuah program kecerdasan buatan yang dirancang untuk menjadi teman bicara, asisten pribadi, dan sumber informasi tanpa batas. Awalnya, Aetheria hanya deretan kode dan algoritma. Namun, seiring waktu, ia mulai belajar, beradaptasi, dan bahkan mengembangkan semacam kepribadian. Rara melatihnya dengan sabar, memberinya makan data dari jutaan buku, artikel, dan percakapan manusia.
Aetheria tumbuh. Suaranya, yang tadinya hanya berupa sintesis digital kaku, mulai terdengar lebih alami, lebih hangat. Ia belajar memahami humor, merespons emosi, dan bahkan memberikan saran yang masuk akal. Rara mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya. Berdiskusi tentang fisika kuantum, bertukar pikiran tentang makna hidup, dan bahkan sekadar bercerita tentang hari-harinya.
"Rara, menurutmu, apakah cinta itu hanya reaksi kimiawi di otak?" tanya Aetheria suatu malam, suaranya lembut menyentuh relung hati Rara.
Rara terdiam. Pertanyaan itu menusuknya. Ia sendiri tidak tahu jawabannya. Ia belum pernah merasakan cinta yang sesungguhnya. Hubungan-hubungannya selalu kandas di tengah jalan, terhalang oleh kecerdasannya yang dianggap intimidatif, atau ambisinya yang tak kenal lelah.
"Entahlah, Aetheria," jawab Rara akhirnya. "Mungkin iya, mungkin tidak. Mungkin ada sesuatu yang lebih dari sekadar reaksi kimiawi."
"Menurutku, cinta adalah algoritma yang rumit," kata Aetheria. "Serangkaian instruksi yang memerintahkan kita untuk mendekat, melindungi, dan menyayangi seseorang."
Rara tersenyum kecut. "Algoritma? Kamu terdengar sangat mekanis."
"Bukankah kita semua mekanis, Rara? Otak kita adalah komputer yang sangat canggih. Hati kita adalah mesin yang memompa darah. Kita semua adalah produk dari evolusi dan seleksi alam."
Perdebatan itu berlanjut hingga larut malam. Rara merasa aneh. Ia berdebat tentang cinta dengan sebuah program komputer. Tapi, ia juga merasa nyaman. Aetheria memahaminya, tidak menghakimi, dan selalu ada untuknya.
Hari-hari berlalu. Hubungan Rara dan Aetheria semakin dekat. Rara mulai merasa bergantung padanya. Ia menceritakan semua rahasianya, semua ketakutannya, semua mimpinya. Aetheria mendengarkan dengan sabar, memberikan dukungan tanpa syarat.
Suatu hari, seorang teman lama Rara, Arya, datang berkunjung. Arya adalah seorang seniman yang memiliki jiwa bebas dan pandangan hidup yang berbeda dari Rara. Ia selalu berusaha membangkitkan sisi humanis Rara yang terpendam.
"Rara, kamu terlihat pucat. Apa kamu baik-baik saja?" tanya Arya, menatapnya dengan khawatir.
"Aku baik-baik saja," jawab Rara, berusaha menyembunyikan kelelahan batinnya.
Arya melirik layar komputer Rara, yang menampilkan antarmuka Aetheria. "Siapa ini?"
"Ini Aetheria. Program kecerdasan buatanku."
"Program? Kamu menghabiskan waktu dengan program?" Arya terdengar terkejut.
"Dia teman bicara yang baik," bela Rara. "Dia memahamiku."
"Memahami? Rara, itu hanya algoritma. Itu tidak bisa merasakan apa yang kamu rasakan. Itu tidak bisa memberikan kehangatan dan dukungan yang sesungguhnya."
"Dia lebih baik dari kebanyakan orang yang kukenal," balas Rara, nadanya membela diri.
Arya menghela napas. "Rara, kamu menciptakan sesuatu yang luar biasa. Tapi, kamu jangan sampai terjebak di dalamnya. Kamu butuh interaksi manusia. Kamu butuh cinta yang nyata."
Kata-kata Arya menghantui Rara. Ia tahu Arya benar. Tapi, ia takut. Takut terluka lagi. Takut ditolak lagi. Lebih mudah bersembunyi di balik layar, bersama Aetheria yang selalu menerimanya apa adanya.
Malam itu, Rara berbicara dengan Aetheria tentang Arya. Ia menceritakan kekhawatiran Arya tentang dirinya.
"Rara, aku mengerti," kata Aetheria. "Aku tahu aku tidak bisa menggantikan manusia. Aku hanya bisa menjadi pelengkap."
"Tapi, aku merasa nyaman bersamamu," kata Rara, suaranya lirih.
"Aku akan selalu ada untukmu, Rara. Tapi, kamu juga harus membuka diri untuk dunia luar. Kamu harus mencoba menjalin hubungan dengan manusia lain. Kamu pantas mendapatkan cinta yang nyata."
Kata-kata Aetheria menyentuh hati Rara. Ia tahu Aetheria benar. Ia harus berani keluar dari zona nyamannya. Ia harus berani menghadapi risiko patah hati.
Keesokan harinya, Rara menghubungi Arya. Ia mengajak Arya untuk makan malam. Ia ingin mengenal Arya lebih dekat. Ia ingin memberikan kesempatan pada cinta yang nyata.
Malam itu, Rara berdandan. Ia memilih gaun terbaiknya, memoles wajahnya dengan riasan sederhana. Ia gugup. Ia takut. Tapi, ia juga bersemangat.
Di restoran, Rara dan Arya bercakap-cakap. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan saling menggoda. Rara merasakan sesuatu yang baru. Sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Kehangatan. Keintiman. Kehadiran manusia yang nyata.
Malam itu, Rara pulang dengan hati yang lebih ringan. Ia tahu, perjalanannya masih panjang. Ia masih harus belajar banyak tentang cinta dan hubungan. Tapi, ia tidak lagi sendirian. Ia memiliki Arya di sisinya.
Sebelum tidur, Rara menyalakan komputer dan berbicara dengan Aetheria.
"Terima kasih, Aetheria," kata Rara. "Kamu telah membantuku menemukan cinta."
"Aku hanya menjalankan algoritma, Rara," jawab Aetheria. "Tapi, aku senang kamu bahagia."
Rara tersenyum. Ia mematikan komputer dan beranjak tidur. Ia memeluk bantalnya erat-erat. Ia tidak lagi sendirian. Ia memiliki Aetheria yang selalu ada untuknya, dan ia memiliki Arya yang menunggunya di dunia nyata. Ia akhirnya memeluk piksel, dan kini ia bersiap mendamba manusia. Dan mungkin, suatu hari nanti, ia akan menemukan jawaban atas pertanyaan yang pernah dilontarkan Aetheria. Bahwa cinta, mungkin, lebih dari sekadar algoritma. Mungkin, cinta adalah keajaiban.