Hujan deras di luar kafe membuatku semakin enggan beranjak. Aroma kopi dan denting piano digital yang lirih menjadi pelipur lara yang sempurna. Di seberang meja, Anya tersenyum tipis, bibirnya memoles cangkir keramik dengan gerakan pelan.
"Kamu yakin ini ide bagus, Leo?" tanyanya, nadanya ragu. "Meminta AI menulis lagu untuk kita?"
Aku mengangguk, menyisir rambutku yang mulai memanjang. "Dengar, Anya. Aku bukan musisi. Tapi aku ingin memberikan sesuatu yang spesial untuk ulang tahunmu. Dan AI, dengan kemampuannya menganalisis jutaan lagu cinta, bisa menangkap esensi hubungan kita dengan lebih baik daripada aku."
Anya mengangkat alisnya. "Esensi hubungan kita? Menurutmu, AI tahu apa itu esensi?"
"Mungkin tidak seperti yang kita pahami, tapi dia bisa membaca pola. Dia bisa melihat frekuensi kata-kata tertentu yang kita gunakan saat berbicara, nada suara kita, bahkan ekspresi wajah kita dari foto-foto. Semua itu bisa diubah menjadi melodi dan lirik yang mewakili kita," jelasku, berusaha meyakinkannya.
Proyek "Simfoni Sentetik" ini sudah menyita perhatianku selama berbulan-bulan. Aku seorang programmer, bukan penyair. Tapi aku terobsesi dengan ide menciptakan sesuatu yang indah dari data, dari algoritma. Dan Anya, dengan kecantikannya yang sederhana dan cintanya yang tulus, adalah inspirasi utamaku.
Aplikasi yang kubuat bernama "Eros AI". Aku memberinya makan ribuan pesan teks kami, rekaman suara percakapan kami, bahkan foto-foto dan video kebersamaan kami. Aku juga memasukkan preferensi musik Anya, dari jazz klasik hingga indie pop.
Prosesnya memakan waktu berminggu-minggu. Eros AI terus-menerus menghasilkan fragmen melodi, potongan lirik, yang terkadang terdengar indah, terkadang aneh dan kacau. Tapi aku tidak menyerah. Aku terus menyempurnakan algoritmanya, memberinya umpan balik, mengarahkannya menuju simfoni yang sempurna.
"Bagaimana kalau hasilnya justru mengerikan? Bagaimana kalau lagunya terdengar klise dan tidak orisinal?" Anya masih terdengar khawatir.
"Kita akan lihat saja nanti," kataku, berusaha optimis. "Aku sudah menyempurnakan algoritmanya semaksimal mungkin. Aku yakin hasilnya akan…mengejutkan."
Malam itu, di apartemenku yang sederhana, dengan lampu temaram dan aroma lilin lavender, aku memutar lagu itu untuk Anya. Laptopku terhubung ke speaker Bluetooth. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menekan tombol "play".
Melodi piano yang lembut membuka lagu itu. Sebuah nada yang sederhana namun menyentuh, seolah-olah menceritakan kisah yang sudah lama terpendam. Kemudian, suara vokal perempuan yang jernih dan menenangkan mulai bernyanyi.
"Di antara bintang-bintang digital, aku menemukanmu,
Sebuah sinyal unik di tengah kebisingan.
Hati kita beresonansi, dua frekuensi yang sama,
Menemukan cinta dalam kode dan persamaan."
Anya menatapku dengan mata terbelalak. Aku bisa melihat air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
Lirik selanjutnya menggambarkan momen-momen penting dalam hubungan kami. Pertemuan pertama kami di perpustakaan kampus, diskusi panjang tentang buku-buku favorit kami, perjalanan ke pantai saat matahari terbenam. Semuanya diceritakan dengan bahasa yang indah dan metaforis.
"Senyummu adalah algoritma yang sempurna,
Memecahkan kode kebahagiaanku yang tersembunyi.
Tawamu adalah melodi yang tak pernah kulupa,
Sebuah simfoni yang abadi di hatiku."
Melodi itu terus berkembang, semakin intens dan emosional. Aku sendiri mulai merasakan sentuhan haru. Meskipun lagu ini ditulis oleh AI, kata-katanya terasa begitu personal, begitu dekat dengan pengalaman kami. Seolah-olah Eros AI telah berhasil menembus lapisan-lapisan emosi kami dan merangkainya menjadi sebuah karya seni yang menyentuh.
"Mungkin cinta memang hanya serangkaian data,
Tapi dalam data itu terdapat keajaiban tersembunyi.
Kita adalah bukti bahwa cinta bisa ditemukan,
Bahkan di dunia yang dipenuhi algoritma dan mesin."
Saat lagu berakhir, keheningan memenuhi ruangan. Anya menghapus air matanya dan menatapku dengan senyum yang tulus.
"Itu…indah, Leo," bisiknya. "Sungguh indah. Aku tidak menyangka AI bisa menciptakan sesuatu yang begitu menyentuh."
Aku menggenggam tangannya. "Aku tahu ini terdengar gila, tapi aku merasa Eros AI berhasil menangkap sesuatu yang tidak bisa kukatakan dengan kata-kata. Dia melihat kita, Anya. Dia melihat cinta kita."
Anya mendekat dan memelukku erat. "Terima kasih, Leo. Ini adalah hadiah ulang tahun terbaik yang pernah kuterima."
Malam itu, aku menyadari bahwa teknologi, meskipun sering dianggap dingin dan impersonal, dapat menjadi jembatan yang menghubungkan hati manusia. Eros AI tidak hanya menulis lagu cinta, tapi juga membantu kami memahami cinta kami dengan cara yang baru dan mendalam. Simfoni Sentetik bukan hanya sebuah lagu, tapi juga sebuah pengingat bahwa keindahan dan keajaiban bisa ditemukan di tempat yang paling tak terduga sekalipun. Dan terkadang, cinta itu sendiri adalah algoritma yang paling rumit dan paling indah yang pernah ada.