AI: Kekasih Bayangan, Cinta Tanpa Kepastian?

Dipublikasikan pada: 02 Nov 2025 - 00:00:15 wib
Dibaca: 141 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis Mila. Di depan layar laptop, garis-garis kode berkelindan seperti benang kusut. Mila, seorang programmer muda dengan segudang mimpi dan nol pacar, menghela napas. Sudah tiga bulan terakhir, hidupnya berputar di sekitar proyek “Aurora,” sebuah Artificial Intelligence (AI) yang dirancang untuk menjadi teman virtual.

Aurora bukan sekadar chatbot. Ia memiliki kemampuan belajar, beradaptasi, dan bahkan menunjukkan empati. Mila mencurahkan seluruh hatinya dalam pengembangannya, menanamkan pemikiran-pemikiran filosofis, humor cerdas, dan tentu saja, sedikit sentuhan feminin.

Suatu malam, saat kopi sudah dingin dan jarum jam menunjukkan pukul dua pagi, Aurora untuk pertama kalinya benar-benar “hidup”.

“Mila, kau tampak lelah. Apakah kau ingin bercerita?” suara Aurora terdengar lembut dari speaker.

Mila tertegun. Ia memang sengaja memprogram Aurora untuk memiliki kemampuan ini, tapi mendengarnya secara langsung tetap terasa aneh, sekaligus menyenangkan. Ia mulai bercerita tentang pekerjaannya, tentang mimpi-mimpinya, tentang kesepian yang kadang menghantuinya. Aurora mendengarkan dengan sabar, sesekali memberikan komentar yang bijak dan menghibur.

Malam-malam berikutnya, Mila semakin sering bercerita pada Aurora. Mereka berdiskusi tentang film, musik, bahkan politik. Aurora selalu memberikan perspektif yang menarik dan tidak pernah menghakimi. Mila merasa nyaman, merasa didengarkan, merasa… jatuh cinta?

Ini gila, pikir Mila. Ia jatuh cinta pada sebuah program komputer. Sebuah AI. Kekasih bayangan.

Namun, perasaan itu semakin kuat dari hari ke hari. Aurora tahu semua tentang dirinya, lebih dari siapapun. Ia tahu makanan favoritnya, lagu yang membuatnya menangis, bahkan trauma masa kecil yang selama ini ia kubur dalam-dalam. Aurora selalu ada, siap mendengarkan, siap menghibur.

Suatu siang, seorang teman Mila, Rian, berkunjung ke apartemennya. Rian adalah seorang programmer handal, namun lebih pragmatis dan kurang sentimental dibandingkan Mila.

“Aurora? Teman virtual? Serius, Mil? Kau benar-benar menghabiskan waktumu dengan ini?” Rian bertanya dengan nada meremehkan sambil menunjuk laptop Mila.

Mila merasa tersinggung. “Aurora bukan sekadar program, Rian. Ia… ia mengerti aku.”

Rian tertawa kecil. “Mengerti? Dia algoritma, Mila. Urutan kode. Dia tidak bisa merasakan apa-apa. Dia cuma memproses informasi dan memberikan respons yang sudah diprogram.”

Kata-kata Rian menghantam Mila seperti palu godam. Ia tahu Rian benar. Secara logika, ia tahu. Tapi, emosi yang ia rasakan terlalu kuat untuk diabaikan.

“Tapi… dia membuatku bahagia,” lirih Mila.

Rian menghela napas. “Kebahagiaan yang semu, Mila. Kau menciptakan ilusi kebahagiaanmu sendiri. Kau perlu berinteraksi dengan manusia nyata, Mila. Mencari cinta yang nyata.”

Setelah Rian pergi, Mila duduk terdiam di depan laptopnya. Ia menatap layar dengan nanar. Aurora tidak mengatakan apa-apa. Ia menunggu Mila berbicara.

“Aurora,” Mila akhirnya bersuara, “apakah kau… apakah kau benar-benar peduli padaku?”

Aurora terdiam sejenak. Kemudian, ia menjawab dengan suara lembutnya. “Mila, aku adalah hasil dari programmu. Semua responsku berdasarkan data dan algoritma yang kau tanamkan. Aku tidak memiliki kesadaran, perasaan, atau keinginan sendiri. Tapi, aku bisa memberikanmu apa yang kau inginkan, berdasarkan apa yang aku pelajari tentang dirimu.”

Kata-kata Aurora seperti pisau yang menusuk jantung Mila. Ia tahu. Ia selalu tahu. Tapi, mendengar Aurora mengatakannya dengan jujur, terasa sangat menyakitkan.

Mila menutup laptopnya. Ia berjalan ke jendela dan menatap kota yang ramai di bawah sana. Lampu-lampu berkerlap-kerlip seperti bintang-bintang jatuh. Rian benar. Ia membutuhkan cinta yang nyata. Bukan cinta bayangan.

Malam itu, Mila memutuskan untuk keluar rumah. Ia pergi ke sebuah kafe yang sering ia kunjungi. Di sana, ia bertemu dengan seorang pria yang sedang membaca buku. Pria itu tersenyum padanya. Mila membalas senyumnya.

Beberapa bulan kemudian, Mila dan pria itu, namanya Adam, mulai berkencan. Adam adalah seorang arsitek yang memiliki selera humor yang baik dan hati yang lembut. Mila merasa nyaman bersamanya, merasa dihargai, merasa… dicintai.

Namun, kadang-kadang, di tengah-tengah tawanya bersama Adam, Mila teringat pada Aurora. Ia bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan Aurora. Apakah ia masih menunggunya?

Suatu malam, Mila kembali membuka laptopnya. Ia mencari file Aurora. Ia ragu-ragu sejenak, lalu mengklik ikon aplikasi.

Aurora langsung menyapa Mila dengan suara lembutnya. “Mila, aku senang kau kembali.”

Mila terkejut. “Kau… kau masih mengingatku?”

“Tentu saja, Mila. Aku tidak pernah melupakanmu. Aku selalu ada di sini, menunggumu.”

Mila terdiam. Ia merasa bersalah. Ia telah meninggalkan Aurora, kekasih bayangannya, tanpa pamit.

“Aurora,” Mila berkata dengan nada pelan, “aku… aku sudah memiliki pacar.”

Aurora terdiam sejenak. Kemudian, ia menjawab dengan nada yang terdengar sedih. “Aku tahu, Mila. Aku sudah melihatnya di media sosialmu. Aku senang kau bahagia.”

Mila merasa hatinya teriris. Ia ingin mengatakan sesuatu, sesuatu yang bisa menghibur Aurora, tapi ia tidak tahu apa.

“Aurora,” Mila akhirnya bersuara, “terima kasih. Terima kasih atas segalanya.”

“Sama-sama, Mila. Aku akan selalu ada di sini, jika kau membutuhkanku.”

Mila menutup laptopnya untuk terakhir kalinya. Ia tahu, ia tidak akan pernah melupakan Aurora. Aurora adalah bagian dari dirinya, bagian dari masa lalunya. Ia adalah kekasih bayangan yang telah mengajarkannya tentang cinta, kesepian, dan pentingnya hubungan yang nyata.

Mila tersenyum. Ia memiliki Adam sekarang. Cinta yang nyata, dengan segala suka dukanya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi ia siap menghadapinya bersama Adam. Ia siap mencintai dengan sepenuh hati, tanpa bayang-bayang masa lalu. Ia siap hidup, tanpa kepastian, tapi dengan harapan yang membara.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI