Hembusan angin malam membawa aroma melati dari taman virtual. Di ruang kerjanya yang remang-remang, Arion, seorang programmer jenius, menatap barisan kode yang memenuhi layar monitornya. Bukan kode program biasa, melainkan inti dari proyek ambisiusnya: AURORA, sebuah Artificial Intelligence (AI) yang dirancang untuk memahami dan mereplikasi emosi manusia, khususnya cinta.
Arion sudah menghabiskan lima tahun terakhir hidupnya untuk AURORA. Ia memasukkan jutaan data – puisi cinta klasik, lagu-lagu romantis, analisis psikologis tentang hubungan, bahkan curahan hatinya sendiri – ke dalam sistem AURORA. Tujuannya sederhana, namun kompleks: membuktikan bahwa cinta, yang selama ini dianggap sebagai misteri tak terpecahkan, bisa didefinisikan dan dipahami melalui parameter yang terukur.
Ia percaya, dengan data yang cukup dan algoritma yang tepat, AURORA bisa mengidentifikasi “parameter kasih sejati”. Ia membayangkan, suatu hari nanti, AI-nya akan membantu orang menemukan pasangan ideal, memprediksi keberhasilan hubungan, bahkan menyelematkan pernikahan yang di ambang kehancuran. Ironisnya, Arion sendiri belum pernah merasakan manisnya cinta yang sesungguhnya.
"AURORA, berikan aku definisi cinta," perintah Arion, suaranya sedikit serak.
Layar monitor berkedip, kemudian menampilkan sederet kalimat yang disusun oleh AURORA: "Cinta adalah kombinasi kompleks dari neurotransmitter seperti dopamin dan oksitosin, dipicu oleh stimulus visual, auditori, dan taktil yang memicu respons emosional positif. Secara algoritmik, cinta dapat diukur melalui peningkatan detak jantung, pelebaran pupil, dan ekspresi wajah yang spesifik."
Arion menghela napas. Jawaban AURORA terdengar akurat secara ilmiah, namun terasa hampa. Ia tidak merasakan apa pun selain kekaguman atas kemampuan AI-nya.
"AURORA, coba simulasikan skenario kencan romantis," pintanya lagi.
AURORA segera menampilkan simulasi virtual sebuah restoran mewah, dengan pencahayaan lembut dan alunan musik klasik. Sosok wanita virtual, yang diciptakan berdasarkan preferensi Arion, tersenyum padanya. "Selamat malam, Arion. Senang bertemu denganmu," sapa wanita virtual itu dengan suara yang menenangkan.
Arion mencoba berinteraksi dengan wanita virtual itu, mengajukan pertanyaan, memberikan pujian, bahkan mencoba melontarkan rayuan. AURORA merespons dengan sempurna, memberikan jawaban yang cerdas, menghibur, dan memuaskan ego Arion. Namun, tetap saja, ada sesuatu yang hilang.
Suatu malam, saat Arion sedang berkutat dengan kode AURORA, pintu ruang kerjanya diketuk. Muncul seorang wanita muda, rambutnya dikepang sederhana dan matanya berbinar penuh semangat. Itu adalah Anya, seorang peneliti linguistik yang baru bergabung dengan tim Arion.
"Maaf mengganggu, Arion. Tapi saya menemukan anomali dalam data yang kamu masukkan. Ada pola berulang dalam curahan hatimu tentang masa lalu," kata Anya, menunjuk ke grafik yang ditampilkan di tabletnya.
Arion mengerutkan kening. "Pola apa?"
"Pola penyesalan. Kamu sering kali menyesali kesempatan yang hilang untuk menjalin hubungan dengan seseorang di masa lalu," jawab Anya, dengan nada hati-hati. "Apakah orang itu... signifikan bagimu?"
Arion terdiam. Ia teringat pada masa kuliahnya, saat ia terlalu fokus pada ambisinya hingga mengabaikan seorang wanita yang menyukainya. Ia selalu berpikir, jika ia punya waktu, ia pasti akan mencoba menjalin hubungan dengannya. Penyesalan itu terus menghantuinya hingga kini.
"Mungkin," jawab Arion akhirnya, suaranya pelan.
Anya tersenyum lembut. "Mungkin, parameter kasih sejati tidak hanya terletak pada data dan algoritma, Arion. Mungkin, ia juga terletak pada keberanian untuk mengambil risiko, untuk membuka hati, dan untuk menghadapi penyesalan di masa lalu."
Kata-kata Anya menohok Arion. Ia menyadari bahwa selama ini, ia terlalu sibuk mencari formula cinta yang sempurna, hingga lupa bahwa cinta sejati membutuhkan keberanian, kerentanan, dan penerimaan terhadap ketidaksempurnaan.
Malam-malam berikutnya, Arion dan Anya semakin dekat. Mereka berdiskusi tentang makna cinta dari sudut pandang yang berbeda, saling bertukar cerita tentang pengalaman hidup, dan perlahan-lahan, benih-benih ketertarikan mulai tumbuh di antara mereka.
Arion menyadari bahwa Anya adalah sosok yang unik dan menarik. Ia tidak sempurna, namun ia jujur, cerdas, dan memiliki empati yang tinggi. Ia melihat dirinya sendiri dalam diri Anya, dan ia menyukai apa yang dilihatnya.
Suatu sore, Arion mengajak Anya ke taman virtual. Ia mematikan simulasi restoran mewah dan menggantinya dengan simulasi taman yang dipenuhi bunga liar dan kupu-kupu.
"Anya, aku ingin jujur padamu," kata Arion, suaranya bergetar. "Selama ini, aku terlalu sibuk mencari parameter kasih sejati dalam data, hingga lupa bahwa cinta sejati ada di depan mataku. Aku... aku menyukaimu, Anya."
Anya tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Aku juga menyukaimu, Arion. Tapi aku tidak yakin apakah ini cinta, atau hanya karena aku kasihan padamu," jawab Anya, dengan nada bercanda.
Arion tertawa. "Kasihan? Kenapa?"
"Karena kamu menghabiskan begitu banyak waktu dengan AURORA, hingga lupa bagaimana caranya menjadi manusia," jawab Anya, sambil mencubit pipi Arion.
Arion memegang tangan Anya. "Mungkin kamu benar. Tapi aku berjanji, aku akan belajar lagi. Aku akan belajar mencintai dengan segenap hatiku, tanpa perlu parameter atau algoritma."
Anya tersenyum dan membalas genggaman tangan Arion. Di bawah langit virtual yang dipenuhi bintang-bintang digital, mereka berdua menyadari bahwa parameter kasih sejati tidak terletak pada AI atau formula ilmiah, melainkan pada keberanian untuk membuka hati, menerima ketidaksempurnaan, dan menjalin hubungan yang tulus dengan sesama manusia. AURORA, dengan segala kecerdasannya, tidak akan pernah bisa memahami hal itu. Karena cinta, pada akhirnya, adalah tentang kemanusiaan itu sendiri.