Aroma kopi robusta memenuhi apartemen studio Mia yang didominasi warna abu-abu dan putih. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, baris demi baris kode program memenuhi layar monitor. Mia adalah seorang virtual world architect, pekerjaannya menciptakan lanskap digital yang imersif. Dunia yang ia rancang bukan sekadar hiburan, melainkan ruang interaksi sosial yang terasa begitu nyata.
Senyum tipis menghiasi bibirnya saat melihat avatar kesayangannya, Lyra, melangkah di atas jembatan gantung yang menghubungkan dua tebing terjal di dunia virtual ciptaannya, Aetheria. Lyra adalah representasi dirinya di Aetheria, lebih percaya diri, lebih berani, dan tentu saja, lebih cantik.
Di Aetheria, Mia tak lagi merasa kesepian. Ia seringkali berinteraksi dengan pengguna lain, mengikuti berbagai acara, dan membangun komunitas. Suatu malam, di tengah konser musik virtual yang diadakan di sebuah amfiteater digital megah, ia bertemu dengan seorang pria bernama Orion.
Avatar Orion adalah seorang cyborg dengan mata biru menyala dan rambut perak yang jatuh hingga bahu. Sifatnya misterius, humoris, dan memiliki selera musik yang sama dengan Mia. Mereka mulai sering bertemu di Aetheria, menjelajahi reruntuhan kota kuno digital, mendaki gunung-gunung pixel, dan bahkan sekadar duduk berdua di tepi danau virtual, menikmati matahari terbenam yang dibuat dengan algoritma kompleks.
Perlahan, ketertarikan Mia pada Orion tumbuh menjadi sesuatu yang lebih dalam. Ia tidak hanya menyukai avatar Orion, tetapi juga kepribadian di balik layar. Mereka sering berbagi cerita tentang kehidupan nyata mereka, tentang impian dan ketakutan masing-masing. Mia tahu bahwa Orion adalah seorang software engineer yang tinggal di kota lain, memiliki hobi fotografi, dan sama sepertinya, merasa nyaman di dunia virtual.
Namun, keraguan mulai menghantuinya. Apakah cinta yang tumbuh di dunia virtual ini nyata? Apakah ia benar-benar mencintai Orion, atau hanya versi ideal dirinya yang ia proyeksikan ke dalam avatar cyborg tersebut? Ia takut jika bertemu Orion di dunia nyata, realita akan menghancurkan ilusi indah yang telah mereka bangun.
Suatu hari, Orion mengajaknya bertemu. Ia mengirimkan pesan singkat yang membuat jantung Mia berdebar kencang: "Mia, aku ingin bertemu denganmu. Di dunia nyata. Bagaimana?"
Mia bimbang. Ia ingin bertemu dengan Orion, tetapi rasa takutnya terlalu besar. Ia membayangkan berbagai skenario buruk: bagaimana jika Orion tidak menyukainya? Bagaimana jika kecanggungan dan kekakuan menghancurkan semua keintiman yang telah mereka bagi di Aetheria?
Berhari-hari Mia berkutat dengan pikirannya sendiri. Ia bahkan sempat menjauhi Aetheria, mencoba melupakan Orion dan perasaannya. Namun, semakin ia mencoba, semakin ia menyadari bahwa Orion telah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Ia merindukan percakapan mereka, candaan mereka, bahkan sekadar kehadiran Orion di dunia virtual.
Akhirnya, Mia memutuskan untuk mengambil risiko. Ia membalas pesan Orion dengan nada gugup: "Baiklah. Aku bersedia."
Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kafe yang terletak di antara kota tempat tinggal Mia dan kota tempat tinggal Orion. Saat hari pertemuan tiba, Mia merasa sangat gugup. Ia berdandan seadanya, mengenakan pakaian yang paling nyaman menurutnya. Di sepanjang perjalanan, ia terus memikirkan apa yang akan ia katakan, bagaimana ia harus bersikap.
Saat tiba di kafe, Mia melihat seorang pria duduk di pojok ruangan, memegang kamera dan memotret tanaman hias. Pria itu memiliki rambut perak yang jatuh hingga bahu, meskipun tidak menyala biru seperti avatar Orion. Ia menoleh, dan mata birunya bertemu dengan mata Mia.
"Mia?" tanyanya dengan senyum yang menawan.
"Orion?" jawab Mia, sedikit tercekat.
Mereka duduk berhadapan, canggung pada awalnya. Namun, perlahan, percakapan mereka mulai mengalir. Mereka berbicara tentang Aetheria, tentang pekerjaan mereka, tentang hobi mereka, tentang segala hal yang selama ini mereka bicarakan di dunia virtual.
Mia terkejut menemukan bahwa Orion di dunia nyata sama menariknya dengan Orion di Aetheria. Ia mungkin tidak memiliki mata biru menyala dan tubuh cyborg, tetapi ia memiliki kepribadian yang sama hangat, humoris, dan cerdas.
Seiring berjalannya waktu, kecanggungan itu menghilang, digantikan oleh keakraban yang tulus. Mia menyadari bahwa cinta yang ia rasakan untuk Orion tidak hanya terbatas pada dunia virtual. Cinta itu melampaui batas piksel digital, meresap ke dalam dunia nyata.
Setelah beberapa jam, Orion mengulurkan tangannya. "Mia, aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku sangat menyukaimu. Aku menyukaimu di Aetheria, dan aku menyukaimu di sini, di dunia nyata."
Mia menggenggam tangan Orion, air mata haru menggenang di matanya. "Aku juga menyukaimu, Orion. Sangat."
Mereka melanjutkan kencan mereka, berjalan-jalan di taman kota, menikmati makan malam romantis di restoran Italia, dan tertawa bersama hingga larut malam. Saat mengantar Mia pulang, Orion berhenti di depan apartemennya dan menatapnya dalam-dalam.
"Mia," katanya lembut, "Apakah kau mau menjadi pacarku? Baik di Aetheria, maupun di dunia nyata?"
Mia tersenyum lebar. "Tentu saja, Orion. Aku mau."
Mereka berciuman, ciuman pertama mereka di dunia nyata. Ciuman yang terasa lebih nyata, lebih dalam, dan lebih bermakna daripada ciuman virtual manapun.
Mia menyadari bahwa realitas virtual memang bisa menjadi jembatan untuk menemukan cinta sejati. Cinta tidak mengenal batas, tidak peduli apakah itu tumbuh di antara piksel digital atau di antara detak jantung yang berdebar kencang di dunia nyata. Yang terpenting adalah koneksi yang tulus, kejujuran, dan keberanian untuk mengambil risiko.
Di dunia yang semakin digital ini, Mia dan Orion membuktikan bahwa cinta sejati dapat ditemukan di mana saja, bahkan di antara batas piksel digital, asalkan hati tetap terbuka dan pikiran tetap jernih. Dan di apartemen studio yang dipenuhi aroma kopi robusta, Mia kembali menari di atas keyboard, merancang dunia virtual baru, kali ini dengan inspirasi yang lebih besar: cinta.