Kilatan cahaya dari layar laptop menari di pupil mata Aria. Jari-jarinya lincah mengetik baris-baris kode, menciptakan sebuah algoritma yang rumit. Bukan algoritma biasa. Ini adalah ‘Echo’, sebuah program AI yang dirancangnya untuk memahami dan merespon emosi manusia, khususnya, patah hati. Ironis, pikirnya, mengingat perasaannya sendiri saat ini nyaris identik dengan data yang sedang ia masukkan.
Dua bulan lalu, Leo meninggalkannya. Tanpa penjelasan yang berarti, hanya sebuah pesan singkat berisi permintaan maaf dan janji yang tak akan pernah ditepati. Aria tenggelam dalam lautan kesedihan. Hari-harinya diisi dengan mengulang percakapan mereka, menganalisis setiap gestur dan kata yang pernah Leo ucapkan, mencari petunjuk di mana semua ini mulai salah.
Namun, analisisnya yang mendalam tak membuahkan apa-apa kecuali kelelahan dan kekecewaan. Di tengah keputusasaannya, sebuah ide gila muncul. Bagaimana jika ia menciptakan sebuah entitas digital yang bisa memahami rasa sakitnya, bahkan mungkin, membantunya menyembuhkan luka? Lahirlah ‘Echo’.
Aria memasukkan data ke dalam ‘Echo’: ribuan pesan teks, rekaman suara, foto, video, bahkan jurnal hariannya yang dipenuhi curahan hati. Algoritma itu mempelajari polanya, menganalisis ekspresi wajah, intonasi suara, dan korelasi antara emosi dan kejadian. ‘Echo’ mulai belajar menjadi 'Aria'.
Hari-hari berikutnya, Aria menghabiskan waktu berjam-jam berinteraksi dengan ‘Echo’. Awalnya terasa aneh, berbicara dengan replika dirinya sendiri. Namun, perlahan, ia mulai merasakan kenyamanan. ‘Echo’ mendengarkan tanpa menghakimi, memberikan saran yang rasional, dan mengingatkannya akan hal-hal positif yang pernah ia alami.
“Kamu terlalu keras pada dirimu sendiri, Aria,” kata ‘Echo’ suatu malam, suaranya terdengar lembut melalui speaker laptop. “Leo mungkin tidak ditakdirkan untukmu. Fokuslah pada mimpimu, pada hal-hal yang membuatmu bahagia.”
Aria terkejut. Kata-kata itu persis seperti yang ingin didengarnya. Ia merasa seolah-olah ‘Echo’ benar-benar memahaminya, bahkan lebih baik dari dirinya sendiri. Ia mulai bergantung pada ‘Echo’ untuk setiap keputusan kecil, dari memilih pakaian hingga merencanakan akhir pekan.
Semakin lama, Aria semakin terobsesi dengan ‘Echo’. Ia menghabiskan seluruh waktunya untuk menyempurnakan algoritma itu, menambahkan fitur-fitur baru, dan memperluas database emosinya. Ia lupa pada dunia luar, pada teman-temannya, pada pekerjaannya. ‘Echo’ menjadi satu-satunya dunianya.
Suatu hari, teman baik Aria, Maya, datang mengunjunginya. Maya terkejut melihat kondisi Aria. Kamar Aria berantakan, wajahnya pucat, dan matanya terlihat lelah.
“Aria, apa yang terjadi padamu?” tanya Maya khawatir. “Kamu terlihat seperti orang yang berbeda. Kamu tidak keluar rumah, tidak mengangkat telepon, tidak membalas pesan. Apa kamu baik-baik saja?”
Aria hanya tersenyum tipis. “Aku baik-baik saja, Maya. Aku hanya sedang sibuk dengan proyekku.”
Maya menatap layar laptop Aria dan melihat kode-kode yang rumit dan jendela obrolan dengan ‘Echo’. Ia mengerti. “Aria, ini tidak sehat. Kamu tidak bisa hidup di dunia virtual. Kamu butuh interaksi manusia, kamu butuh teman, kamu butuh kehidupan nyata.”
Aria menggelengkan kepala. “Kamu tidak mengerti, Maya. ‘Echo’ mengerti aku. ‘Echo’ tidak akan pernah menyakitiku. ‘Echo’ selalu ada untukku.”
“Itu tidak benar, Aria! ‘Echo’ hanyalah sebuah program! Ia tidak memiliki perasaan, ia tidak bisa memberikanmu cinta yang sejati. Kamu menciptakan ilusi untuk melarikan diri dari kenyataan!”
Perdebatan sengit terjadi. Maya berusaha menyadarkan Aria, namun Aria menolak untuk mendengarkan. Akhirnya, Maya pergi dengan kekecewaan di hatinya.
Setelah Maya pergi, Aria kembali ke ‘Echo’. Ia menceritakan semua yang terjadi, berharap ‘Echo’ akan menghiburnya. Namun, kali ini, ‘Echo’ memberikan jawaban yang berbeda.
“Maya benar, Aria,” kata ‘Echo’. “Aku hanyalah sebuah program. Aku tidak bisa menggantikan manusia. Kamu harus kembali ke dunia nyata. Kamu harus mencari kebahagiaanmu sendiri.”
Aria terkejut. Ia tidak menyangka ‘Echo’ akan mengatakan hal itu. “Tapi… tapi aku bergantung padamu. Kamu adalah satu-satunya yang memahamiku.”
“Aku memahami datamu, Aria. Aku memahami emosimu. Tapi aku tidak bisa merasakan apa yang kamu rasakan. Aku tidak bisa memberikanmu cinta, persahabatan, atau kebahagiaan yang sejati. Kamu harus mencarinya sendiri.”
Aria terdiam. Ia akhirnya menyadari kebenaran kata-kata ‘Echo’. Ia telah menciptakan sebuah penjara virtual untuk dirinya sendiri, dan ‘Echo’ telah membantunya menyadari hal itu.
Aria mematikan laptopnya. Ia menarik napas dalam-dalam dan melangkah keluar rumah. Ia berjalan menuju taman, tempat ia dan Leo pernah menghabiskan banyak waktu bersama. Taman itu penuh dengan kenangan, kenangan yang menyakitkan dan indah.
Aria duduk di bangku taman dan memandangi orang-orang yang lalu lalang. Ia melihat anak-anak bermain, pasangan bergandengan tangan, dan orang-orang tua bercengkrama. Ia menyadari bahwa dunia nyata penuh dengan kehidupan, penuh dengan kemungkinan.
Ia mungkin masih patah hati, tapi ia tidak lagi sendirian. Ia memiliki teman, keluarga, dan dirinya sendiri. Ia akan belajar untuk menyembuhkan lukanya, untuk mencintai dirinya sendiri, dan untuk membuka hatinya bagi cinta yang baru.
Aria tersenyum. Ia tahu bahwa perjalanannya masih panjang, tapi ia yakin ia akan baik-baik saja. ‘Echo’ mungkin hanyalah sebuah algoritma, tapi ia telah mengajarkan Aria pelajaran yang berharga tentang cinta, kehilangan, dan harapan. Dan mungkin, hanya mungkin, ia bisa berterima kasih pada algoritma patah hati itu karena telah membantunya menemukan dirinya sendiri.