Jemari Aria menari di atas layar ponsel. Aplikasi "SoulmateMatch," yang konon katanya memiliki algoritma cinta paling akurat, kembali menampilkan deretan wajah asing. Senyum mereka terlihat sempurna, hobi mereka terdengar menarik, dan pekerjaan mereka… yah, lumayan menjanjikan. Namun, ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang tidak bisa diukur oleh algoritma manapun.
Sudah hampir setahun Aria mengandalkan aplikasi itu. Sejak putus dari kekasihnya yang ia kencani secara tradisional – bertemu di sebuah kedai kopi, bertukar pandang canggung, dan akhirnya saling jatuh cinta – Aria merasa terlalu lelah untuk mengulang proses yang sama. Terlalu banyak waktu terbuang untuk kencan buta yang berakhir mengecewakan. "SoulmateMatch" menjanjikan efisiensi. Mencari pasangan ideal berdasarkan data: preferensi, nilai-nilai, dan bahkan kecocokan biologis.
Aria menggeser profil seorang pria bernama Damien. Dokter, pecinta alam, dan penggemar musik jazz. Sempurna di atas kertas. Algoritma memberikan skor kecocokan 92%. Aria mendesah. Terlalu sempurna. Apa ada celah di balik kesempurnaan digital ini? Apa ada kejutan yang menyenangkan, atau justru kekecewaan yang tersembunyi?
"Aria, masih mainan aplikasi itu?" suara Ibu membuyarkan lamunan Aria. Ibu berdiri di ambang pintu kamar, tatapannya menyimpan campuran antara rasa khawatir dan geli. "Kapan kamu mau berhenti cari cinta di layar? Coba lihat, di luar sana banyak pria baik."
Aria memutar bola mata. "Ibu, dunia sudah berubah. Mencari pasangan di dunia nyata itu seperti mencari jarum di tumpukan jerami. SoulmateMatch lebih efisien. Data-driven. Logis."
Ibu menggeleng pelan. "Cinta bukan soal logika, Aria. Cinta itu soal sentuhan, tatapan mata, getaran di hati. Algoritma tidak bisa meniru semua itu."
Aria tidak menjawab. Ia tahu Ibu benar. Tapi, rasa takut gagal lagi lebih kuat daripada keinginannya untuk merasakan sentuhan manusia yang tulus. Aplikasi itu, baginya, adalah zona nyaman. Sebuah perisai yang melindungi hatinya dari kemungkinan patah hati yang lain.
Akhirnya, Aria memutuskan untuk memberikan Damien kesempatan. Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah restoran Italia yang ramai. Dari foto profilnya, Damien terlihat tinggi dan tampan. Ketika ia tiba, Aria terkejut. Damien jauh lebih tampan dari yang ia bayangkan. Senyumnya hangat, matanya berbinar.
Selama makan malam, mereka berbicara tentang banyak hal. Pekerjaan mereka, hobi mereka, bahkan kenangan masa kecil yang lucu. Damien mendengarkan Aria dengan penuh perhatian, sesekali tertawa renyah. Aria merasa nyaman, seolah ia sudah mengenal Damien sejak lama.
Namun, di sela-sela percakapan yang mengalir lancar, Aria merasakan ada sesuatu yang aneh. Percakapan mereka terasa… terstruktur. Seperti mengikuti naskah yang sudah ditulis sebelumnya. Damien selalu tahu apa yang harus dikatakan untuk membuat Aria terkesan. Ia selalu memberikan jawaban yang tepat, sesuai dengan preferensi yang Aria masukkan ke dalam aplikasi.
Di tengah makan malam, telepon Damien berdering. Ia meminta maaf dan mengangkat telepon. Aria tidak sengaja mendengar sebagian percakapan Damien.
"Ya, algoritma berjalan dengan baik. Semua sesuai dengan preferensi target… Tidak, saya belum mengungkapkan terlalu banyak. Saya masih memainkan peran ‘pria idaman’… Tenang saja, aku tahu apa yang kulakukan. Aku akan mendapatkan investasinya."
Jantung Aria berdegup kencang. Investasi? Pria idaman? Apa maksudnya semua ini?
Setelah Damien selesai menelepon, Aria langsung bertanya. "Siapa tadi? Dan apa maksudmu dengan 'algoritma' dan 'investasi'?"
Damien terdiam. Senyumnya menghilang, digantikan dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Aria, aku bisa menjelaskannya. Aku… aku tidak bermaksud menyakitimu."
Damien kemudian menceritakan semuanya. Ia adalah seorang pengembang aplikasi kencan yang sedang mencari investor. Ia menggunakan "SoulmateMatch" untuk mencari target potensial. Algoritma membantunya menciptakan profil yang sempurna, mempelajari preferensi target, dan merancang percakapan yang efektif. Damien mendekati Aria bukan karena cinta, tapi karena ia melihat potensi investasi di perusahaannya.
Aria merasa hancur. Ia merasa seperti boneka yang dimanipulasi oleh algoritma. Ia merasa bodoh karena telah percaya pada janji-janji kosong sebuah aplikasi.
"Aku minta maaf, Aria. Aku benar-benar menyesal," kata Damien dengan nada menyesal. "Aku tidak seharusnya melakukan ini. Aku…"
Aria tidak ingin mendengar lebih lanjut. Ia bangkit dari kursinya dan pergi meninggalkan restoran. Air matanya mengalir deras.
Malam itu, Aria menghapus aplikasi "SoulmateMatch" dari ponselnya. Ia merasa jijik dengan dirinya sendiri. Ia telah terlalu bergantung pada teknologi, terlalu percaya pada algoritma, sehingga ia lupa bagaimana cara merasakan cinta yang sesungguhnya.
Beberapa minggu kemudian, Aria memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Ia bergabung dengan kelas melukis di komunitas seni lokal. Ia ingin bertemu orang-orang baru dengan cara yang organik, tanpa perantara algoritma.
Di kelas melukis, ia bertemu dengan seorang pria bernama Leo. Leo bukan seorang dokter, bukan seorang pecinta alam, dan bukan seorang penggemar musik jazz. Ia hanya seorang guru seni yang sederhana, dengan senyum yang tulus dan mata yang penuh dengan kehangatan.
Leo tidak berusaha untuk membuat Aria terkesan. Ia tidak menggunakan strategi apapun. Ia hanya menjadi dirinya sendiri. Mereka berbicara tentang seni, tentang kehidupan, tentang mimpi-mimpi mereka. Aria merasa nyaman berada di dekat Leo. Ia merasa bisa menjadi dirinya sendiri tanpa harus takut dihakimi.
Suatu sore, setelah kelas melukis selesai, Leo mengajak Aria untuk minum kopi di kedai kopi favoritnya. Mereka duduk berdua, menikmati kopi dan obrolan yang mengalir begitu saja. Tiba-tiba, Leo meraih tangan Aria. Sentuhannya lembut, hangat, dan penuh dengan ketulusan.
Aria merasakan getaran di hatinya. Getaran yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Getaran yang tidak bisa diukur oleh algoritma manapun.
Saat itu, Aria menyadari sesuatu yang penting. Cinta tidak bisa diunduh. Cinta tidak bisa diprediksi. Cinta adalah sentuhan manusia, tatapan mata, getaran di hati. Cinta adalah sesuatu yang harus dirasakan, bukan dihitung.
Mungkin, Ibu benar. Dunia di luar sana, di luar layar ponsel, masih menyimpan harapan. Mungkin, cinta sejati tidak ditemukan dalam algoritma, melainkan dalam momen-momen sederhana, dalam sentuhan yang tulus, dan dalam tatapan mata yang penuh dengan kasih sayang. Dan Aria, akhirnya, siap untuk membuka hatinya. Siap untuk merasakan kembali sentuhan manusia, tanpa rasa takut, tanpa keraguan. Siap untuk mencintai, dan dicintai, dengan sepenuh hati.