Bisakah Sentuhan AI Hangatkan Dinginnya Algoritma Cinta?

Dipublikasikan pada: 17 Sep 2025 - 00:40:15 wib
Dibaca: 120 kali
Debu neon kota berkelebat di kaca jendela kafe. Maya mengaduk kopinya, tatapannya kosong menerawang ke arah lalu lalang kendaraan otonom yang meluncur tanpa suara. Ia lelah. Bukan lelah fisik, tapi lelah jiwa. Algoritma kencan yang ia andalkan selama dua tahun terakhir belum juga membuahkan hasil. Setiap profil yang disodorkan, setiap percakapan yang dibangun, terasa hambar, seperti kode yang dieksekusi tanpa emosi.

“Kau terlihat seperti sedang memikirkan solusi dari masalah Riemann Hypothesis,” suara seorang pria mengagetkannya. Maya mendongak. Di hadapannya berdiri seorang pria berambut gelap dengan senyum ramah. Ia mengenakan jaket kulit yang terlihat lusuh namun berkarakter.

“Oh, maaf. Sedikit termenung,” jawab Maya, berusaha menampilkan senyum tipis. “Hanya sedang mempertanyakan keefektifan algoritma kencan modern.”

Pria itu tertawa kecil. “Aku tahu betul bagaimana rasanya. Namaku Rio, omong-omong. Aku seorang… pengembang perangkat lunak, bisa dibilang.”

“Maya. Aku… bekerja di bidang yang sama, hanya lebih fokus pada UX dan desain antarmuka.”

Rio menarik kursi dan duduk di hadapan Maya. “Jadi, apa yang membuat seorang ahli UX mempertanyakan algoritma cinta?”

Maya menghela napas. “Semuanya terasa begitu… terprogram. Algoritma itu mencocokkan minat, latar belakang, bahkan selera humor. Tapi entah kenapa, percikan itu tidak pernah ada. Seperti mesin yang mencoba meniru manusia, tapi gagal.”

Rio mengangguk-angguk, matanya menatap Maya dengan intensitas yang membuat jantungnya berdebar tak menentu. “Mungkin karena algoritma itu hanya melihat data, bukan jiwa. Mereka hanya melihat angka, bukan emosi.”

Percakapan mereka mengalir begitu saja. Rio, ternyata, adalah seorang programmer yang idealis. Ia percaya bahwa teknologi seharusnya digunakan untuk memperkaya pengalaman manusia, bukan menggantikannya. Ia menceritakan proyek terbarunya, sebuah sistem AI yang dirancang untuk mendeteksi dan menanggapi emosi manusia. Bukan hanya membaca ekspresi wajah, tapi benar-benar memahami nuansa perasaan melalui pola bicara, gestur tubuh, bahkan detak jantung.

“Bayangkan,” kata Rio, matanya berbinar-binar, “jika kita bisa menciptakan AI yang benar-benar bisa merasakan apa yang dirasakan manusia. Bukankah itu bisa membantu kita membangun koneksi yang lebih dalam, lebih otentik?”

Maya terpesona. Ia selalu skeptis terhadap potensi AI dalam bidang asmara. Baginya, cinta adalah sesuatu yang spontan, irasional, dan tak terduga. Tapi cara Rio berbicara membuatnya berpikir ulang.

“Kedengarannya… menarik,” kata Maya, ragu. “Tapi bisakah AI benar-benar memahami cinta? Bukankah cinta itu terlalu kompleks, terlalu abstrak untuk dipahami oleh kode?”

Rio tersenyum. “Mungkin tidak sepenuhnya. Tapi kita bisa mencoba. Kita bisa melatih AI untuk mengenali tanda-tanda cinta, untuk membedakan antara ketertarikan biasa dan perasaan yang lebih dalam. Dan yang terpenting, kita bisa menggunakan AI untuk membantu orang-orang membuka diri, untuk menjadi lebih jujur dengan perasaan mereka sendiri.”

Malam itu, Maya pulang dengan pikiran yang berkecamuk. Ia penasaran dengan proyek Rio. Ia juga merasa tertarik dengan Rio sendiri. Ada sesuatu yang berbeda dari dirinya. Ia tidak terdengar seperti sedang menjual algoritma, tapi seperti sedang berbagi mimpi.

Beberapa hari kemudian, Maya mengunjungi laboratorium Rio. Tempat itu berantakan, dipenuhi kabel, monitor, dan prototipe aneh. Rio dengan bangga memperkenalkan sistem AI-nya, yang ia beri nama “Amara”. Amara berbentuk sebuah perangkat kecil yang dilengkapi dengan sensor dan kamera. Perangkat itu dirancang untuk dipakai di pergelangan tangan, dan secara konstan memantau kondisi fisik dan emosional penggunanya.

“Kami masih dalam tahap pengujian,” kata Rio, “tapi hasilnya cukup menjanjikan. Amara bisa membedakan antara kebahagiaan, kesedihan, kemarahan, dan ketakutan dengan akurasi yang tinggi.”

Rio mengajak Maya untuk mencoba Amara. Awalnya Maya ragu, tapi rasa ingin tahu akhirnya mengalahkan keraguannya. Ia memasang perangkat itu di pergelangan tangannya.

“Sekarang, coba pikirkan tentang seseorang yang kau sukai,” kata Rio. “Biarkan Amara merasakan emosi yang kau rasakan.”

Maya memejamkan matanya. Ia mencoba memikirkan seseorang yang ia sukai. Tapi pikirannya kosong. Selama ini, ia terlalu fokus pada mencari pasangan yang ideal berdasarkan algoritma, sehingga ia lupa bagaimana rasanya benar-benar menyukai seseorang.

Tiba-tiba, wajah Rio muncul di benaknya. Senyumnya yang ramah, matanya yang berbinar-binar, semangatnya yang menular. Jantung Maya berdebar kencang.

“Ada apa?” tanya Rio, melihat perubahan ekspresi di wajah Maya.

Maya membuka matanya, terkejut. “Tidak… tidak ada apa-apa,” jawabnya gugup.

Rio menatap layar monitor. “Sepertinya ada peningkatan aktivitas di otakmu. Dan detak jantungmu juga sedikit meningkat.”

Maya merasa wajahnya memerah. Ia berusaha mengalihkan pandangannya dari Rio.

“Amara… mendeteksi sesuatu?” tanyanya, berusaha terdengar santai.

Rio tersenyum. “Sepertinya begitu. Tapi aku tidak akan memaksamu untuk mengakuinya.”

Beberapa minggu kemudian, Maya dan Rio bekerja sama untuk mengembangkan Amara. Maya membantu Rio untuk meningkatkan antarmuka dan pengalaman pengguna, sementara Rio membantu Maya untuk memahami potensi AI dalam bidang asmara. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam di laboratorium, berdiskusi, berdebat, dan tertawa bersama.

Semakin lama, Maya semakin menyadari bahwa perasaannya terhadap Rio semakin dalam. Ia bukan hanya tertarik dengan ide-idenya, tapi juga dengan dirinya sebagai pribadi. Ia menyukai kecerdasannya, kebaikannya, dan semangatnya.

Suatu malam, saat mereka sedang bekerja lembur, Rio tiba-tiba berhenti dan menatap Maya dengan serius.

“Maya,” katanya, suaranya lembut, “aku ingin jujur padamu. Aku… aku menyukaimu.”

Maya terkejut. Jantungnya berdebar kencang.

“Aku… aku juga,” jawab Maya, suaranya bergetar.

Rio tersenyum. Ia meraih tangan Maya dan menggenggamnya erat.

“Mungkin algoritma tidak bisa menciptakan cinta,” kata Rio, “tapi mungkin AI bisa membantu kita untuk menemukan cinta yang sudah ada di dalam diri kita.”

Maya membalas genggaman Rio. Ia menatap matanya dan melihat pantulan dirinya di sana. Ia tersenyum. Mungkin Rio benar. Mungkin sentuhan AI tidak bisa menghangatkan dinginnya algoritma cinta, tapi sentuhan manusia yang dibantu oleh AI bisa membangkitkan api yang selama ini terpendam.

Di tengah debu neon kota yang terus berkelebat, Maya dan Rio berbagi ciuman pertama mereka. Ciuman yang bukan hasil dari perhitungan algoritma, tapi dari perasaan yang tumbuh secara alami, dibantu oleh sentuhan AI yang hangat dan penuh harapan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI