Hembusan napas Sarah beruap di kaca jendela kafe. Di luar, hujan gerimis menari-nari, menciptakan suasana melankolis yang entah kenapa justru terasa nyaman. Di tangannya, ponselnya menyala terang, menampilkan profil seorang pria bernama Arya di aplikasi kencan "Soulmate AI". Foto Arya menunjukkan senyum menawan, mata yang berbinar cerdas, dan deskripsi diri yang terdengar begitu sempurna: "Pecinta buku, penggemar kopi, dan selalu siap untuk petualangan baru."
Sarah sudah lama menggunakan Soulmate AI. Aplikasi ini tidak seperti aplikasi kencan biasa. Algoritma canggihnya menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan data kepribadian, minat, bahkan pola gelombang otak. Sarah, seorang ilmuwan komputer yang skeptis namun juga seorang romantis yang putus asa, tertarik dengan janji kepastian cinta yang ditawarkan oleh AI.
Setelah beberapa kali obrolan singkat, Arya mengajaknya bertemu. Awalnya Sarah ragu. Bertemu seseorang yang dipilihkan oleh algoritma terasa aneh. Tapi suara di dalam hatinya yang rindu akan kebersamaan dan sentuhan manusiawi mendorongnya untuk menerima ajakan itu.
Arya datang tepat waktu. Ia persis seperti yang ada di fotonya, bahkan mungkin lebih menarik. Ia memesan kopi hitam tanpa gula, sama seperti Sarah. Mereka mulai berbicara, dan percakapan mengalir begitu saja. Mereka membahas buku-buku favorit, mimpi-mimpi masa depan, dan bahkan ketakutan-ketakutan terpendam. Sarah merasa seolah mengenal Arya seumur hidup.
Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Setiap jawaban Arya terasa terlalu sempurna, terlalu terukur. Ia seolah membaca naskah yang telah dituliskan oleh algoritma. Ia tahu persis apa yang ingin didengar Sarah, dan ia mengatakannya dengan intonasi dan ekspresi yang tepat.
"Kamu tahu, Sarah," kata Arya, menatapnya dengan mata yang berbinar, "aku merasa seperti sudah menemukan belahan jiwaku."
Sarah tersenyum tipis. Kata-kata itu terasa manis, tapi juga hampa. Ia tahu bahwa Arya mengucapkan kata-kata itu karena algoritma telah menganalisis bahwa itulah yang ingin didengarnya. Bukan karena ia benar-benar merasakannya.
Malam itu mereka berjalan-jalan di bawah payung, menerobos hujan gerimis. Arya menggenggam tangan Sarah. Sentuhannya hangat dan nyaman, tapi tetap saja terasa asing. Sarah merindukan sentuhan yang spontan, yang lahir dari emosi yang tak terduga, bukan yang diprogram untuk menciptakan keintiman.
Beberapa minggu berikutnya, Sarah dan Arya terus berkencan. Mereka pergi ke museum, menonton film, dan makan malam romantis. Semua berjalan lancar, terlalu lancar. Sarah merasa seperti sedang memainkan peran dalam sebuah film romantis yang ditulis oleh AI.
Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di sebuah restoran mewah, Sarah memutuskan untuk menguji Arya.
"Arya," kata Sarah, meletakkan garpunya. "Ceritakan padaku tentang masa kecilmu yang paling memalukan."
Arya terdiam sejenak. Ekspresinya berubah, seolah sedang memproses pertanyaan yang tidak terduga.
"Masa kecilku?" jawabnya dengan nada bingung. "Maaf, Sarah, aku tidak yakin aku mengerti."
"Masa kecilmu. Hal bodoh yang pernah kamu lakukan, hal memalukan yang membuatmu tertawa setiap kali mengingatnya. Sesuatu yang nyata."
Arya menatap Sarah dengan tatapan kosong. "Aku... aku tidak punya data tentang itu, Sarah. Algoritma tidak menyimpan informasi seperti itu."
Sarah menghela napas. Di situlah letak masalahnya. Arya hanyalah representasi sempurna dari data yang dimasukkan ke dalam algoritma. Ia tidak memiliki pengalaman, kenangan, atau emosi yang otentik. Ia hanyalah simulasi dari manusia, bukan manusia itu sendiri.
"Arya," kata Sarah, suaranya pelan. "Aku pikir... aku pikir kita tidak cocok."
Arya menatapnya dengan ekspresi terkejut. "Tapi... tapi algoritma mengatakan kita adalah pasangan yang sempurna. Kita memiliki kesamaan minat, nilai-nilai yang sama, bahkan pola gelombang otak yang cocok."
"Aku tahu," kata Sarah. "Tapi ada yang kurang. Ada sentuhan hati yang tidak bisa digantikan oleh AI. Ada keanehan, ketidaksempurnaan, dan emosi yang mentah yang membuat kita menjadi manusia. Kamu tidak memiliki itu, Arya."
Malam itu, Sarah menghapus aplikasi Soulmate AI dari ponselnya. Ia sadar bahwa cinta tidak bisa diprediksi atau diprogram. Cinta adalah kekacauan yang indah, campuran antara kegembiraan dan kesedihan, harapan dan ketakutan. Cinta adalah tentang menerima seseorang apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Beberapa bulan kemudian, Sarah bertemu dengan seorang pria bernama Ben di sebuah kedai kopi. Ben tidak memiliki profil yang sempurna, tidak memiliki minat yang sama persis dengan Sarah, dan bahkan tidak terlalu menarik secara fisik. Tapi ia memiliki sesuatu yang tidak dimiliki Arya: keaslian.
Ben adalah seorang seniman yang berantakan, dengan rambut yang selalu berantakan dan pakaian yang dipenuhi cat. Ia berbicara dengan semangat tentang lukisannya, tentang kegagalan dan keberhasilan yang ia alami. Ia tertawa terbahak-bahak, dan ia menangis ketika menceritakan tentang kehilangan orang yang dicintainya.
Sarah jatuh cinta pada Ben bukan karena kesempurnaannya, tapi karena ketidaksempurnaannya. Ia jatuh cinta pada keasliannya, pada emosi yang mentah, dan pada sentuhan hatinya yang tak terduga.
Sarah akhirnya mengerti. Aplikasi kencan mungkin bisa membantu kita menemukan seseorang yang cocok secara logis, tetapi cinta sejati membutuhkan sesuatu yang lebih. Cinta membutuhkan sentuhan hati, sentuhan jiwa, dan keberanian untuk menerima orang lain apa adanya. AI mungkin bisa membantu kita menemukan pasangan, tetapi tidak bisa menggantikan sentuhan hati yang membuat cinta menjadi begitu istimewa.
Di bawah langit malam yang bertabur bintang, Sarah menggenggam tangan Ben. Sentuhan tangannya terasa hangat dan nyata, jauh berbeda dari sentuhan Arya yang diprogram. Ia tahu bahwa ia telah menemukan cinta sejati, bukan cinta yang diprediksi oleh algoritma, melainkan cinta yang tumbuh dari hati yang terbuka dan jiwa yang berani. Dan di saat itulah, Sarah tahu bahwa sentuhan hati akan selalu lebih berharga daripada kecerdasan buatan.