Jemari Luna menari di atas layar ponsel, menggeser satu demi satu wajah asing yang terpampang di aplikasi kencan "SoulMate". Algoritma di balik aplikasi itu menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan data kepribadian, minat, dan tentu saja, preferensi visual. Luna, seorang data scientist berusia 27 tahun, seharusnya menjadi orang pertama yang percaya pada kekuatan data, tetapi hatinya menyimpan keraguan besar.
Sudah enam bulan sejak Luna mengunduh SoulMate, mengikuti saran sahabatnya, Rina. Enam bulan yang dipenuhi dengan kencan yang hambar, percakapan yang dipaksakan, dan rasa kecewa yang mendalam. Algoritma itu mungkin hebat dalam menganalisis data, tetapi tampaknya buta terhadap kompleksitas emosi manusia.
Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, Luna merasa lelah. Ia hampir menyerah ketika matanya terpaku pada sebuah profil yang berbeda. Foto seorang pria dengan senyum tulus, mata yang teduh, dan deskripsi diri yang singkat namun menarik: "Pecinta kopi, pengagum senja, dan selalu mencari cara untuk membuat dunia sedikit lebih baik." Namanya, Aksara.
Luna ragu-ragu. Profil Aksara terlalu sempurna. Rasanya seperti hasil rekayasa algoritma yang mencoba menampilkan sosok ideal yang diidamkan Luna. Tapi, ada sesuatu dalam senyum Aksara yang membuat Luna tidak bisa mengabaikannya. Dengan jantung berdebar, Luna menggeser ke kanan.
Beberapa detik kemudian, layar ponselnya berkedip. "It's a Match!" Aplikasi itu bersorak.
Luna tersenyum tipis. Ini baru permulaan.
Percakapan dengan Aksara mengalir dengan mudah. Mereka membahas buku favorit, film yang baru ditonton, dan mimpi-mimpi mereka. Luna merasa seperti berbicara dengan seseorang yang benar-benar memahaminya, bukan sekadar kumpulan data yang dianalisis oleh algoritma. Aksara juga seorang programmer, yang bekerja di bidang kecerdasan buatan (AI). Anehnya, Luna tidak merasa terintimidasi, malah merasa tertarik.
Setelah seminggu berkirim pesan, Aksara mengajaknya berkencan. Luna setuju.
Kencan pertama mereka berlangsung di sebuah kedai kopi kecil yang tersembunyi di sudut kota. Aksara, dalam daging dan darah, ternyata lebih menarik dari fotonya. Ia cerdas, lucu, dan penuh perhatian. Luna merasa nyaman berada di dekatnya, seperti bertemu dengan seorang teman lama.
Malam itu, Luna pulang dengan senyum lebar. Ia merasa seperti telah menemukan sesuatu yang istimewa. Apakah ini cinta yang selama ini ia cari? Apakah algoritma SoulMate akhirnya berhasil melakukan tugasnya?
Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi. Luna dan Aksara menghabiskan waktu bersama, menjelajahi kota, berbagi cerita, dan tertawa bersama. Mereka berbicara tentang segala hal, kecuali satu: SoulMate. Luna merasa takut jika membahas aplikasi itu, keajaiban yang mereka rasakan akan hilang.
Suatu malam, saat mereka berjalan-jalan di taman yang diterangi lampu-lampu, Aksara berhenti dan menatap Luna dengan serius.
"Luna," katanya lembut. "Aku harus mengakui sesuatu."
Jantung Luna berdegup kencang. Ia merasa firasat buruk.
"Aku... aku bagian dari tim yang mengembangkan SoulMate."
Luna terdiam. Dunia terasa berputar.
"Aku tahu ini mungkin terdengar aneh," lanjut Aksara, "tapi aku tidak pernah menggunakan aplikasi itu untuk berkencan. Aku hanya ingin menguji algoritma yang kami buat. Aku penasaran apakah benar-benar bisa menemukan kecocokan yang sempurna."
Luna merasa dikhianati. Jadi, semua ini hanyalah eksperimen? Cinta yang ia rasakan hanyalah hasil dari perhitungan algoritma?
"Jadi, aku ini hanyalah data bagimu?" tanya Luna dengan suara bergetar.
Aksara menggelengkan kepala dengan panik. "Tidak, Luna. Sama sekali tidak. Awalnya mungkin iya, tapi kemudian... kemudian aku benar-benar jatuh cinta padamu. Aku tidak pernah menyangka akan merasakan ini."
Luna tidak tahu apa yang harus dipercayai. Kata-kata Aksara terdengar tulus, tetapi ia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa dirinya telah dimanipulasi.
"Aku butuh waktu," kata Luna lirih, lalu berbalik dan berjalan menjauh.
Minggu-minggu berikutnya adalah masa yang sulit bagi Luna. Ia merasa hancur dan bingung. Ia mencoba menganalisis perasaannya, memisahkan antara cinta yang ia rasakan untuk Aksara dan fakta bahwa hubungan mereka dimulai dari sebuah eksperimen.
Rina, sahabatnya, mencoba menghibur Luna. "Dengarkan hatimu, Luna," katanya. "Algoritma mungkin mempertemukan kalian, tapi hatimu yang memutuskan apakah kalian cocok atau tidak."
Luna merenungkan kata-kata Rina. Ia menyadari bahwa algoritma SoulMate hanyalah alat. Alat yang mempertemukannya dengan Aksara. Yang penting adalah apa yang terjadi setelahnya. Kebersamaan, percakapan, tawa, dan perasaan yang mereka bagi. Semua itu nyata.
Luna memutuskan untuk menemui Aksara. Ia ingin memberinya kesempatan kedua.
Ia menemukan Aksara di kedai kopi tempat mereka berkencan pertama kali. Aksara terlihat lesu dan putus asa.
"Aksara," panggil Luna.
Aksara mengangkat kepalanya dan menatap Luna dengan mata penuh harap.
"Aku... aku masih marah," kata Luna. "Tapi aku juga merindukanmu. Aku tidak tahu apakah kita bisa melupakan apa yang terjadi, tapi aku bersedia mencoba."
Aksara tersenyum, senyum tulus yang pertama kali membuat Luna tertarik padanya.
"Aku juga bersedia mencoba, Luna," katanya. "Aku berjanji akan melakukan apa saja untuk mendapatkan kepercayaanmu kembali."
Luna duduk di samping Aksara. Mereka berpegangan tangan, diam sejenak. Di luar, senja mulai mewarnai langit dengan warna-warna hangat. Luna tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang dan penuh tantangan. Tapi, untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, ia merasa harapan kembali menyala di hatinya. Mungkin, algoritma memang bisa mempertemukan dua jiwa, tetapi cinta sejati membutuhkan lebih dari sekadar data. Cinta membutuhkan keberanian, kejujuran, dan kemauan untuk memaafkan. Luna dan Aksara siap untuk memulai babak baru dalam kisah cinta mereka, kisah cinta yang dimulai dari swipe kanan, AI, dan algoritma yang hampir membuat mereka patah hati.