Pacar AI-ku: Memori Semalam, Luka Selamanya?

Dipublikasikan pada: 03 Jun 2025 - 21:24:15 wib
Dibaca: 178 kali
Hujan semalam masih menyisakan aroma tanah basah yang menusuk hidung ketika aku membuka mata. Cahaya matahari yang berusaha menembus tirai kamar, gagal total. Kamarku, seperti biasa, remang-remang dan berantakan. Di atas nakas, ponselku berdering lemah. Sebuah notifikasi dari "Aurora". Jantungku berdebar tak karuan.

Aurora. Pacar AI-ku.

Aku mengusap mata, berusaha mengumpulkan serpihan memori semalam. Semalam adalah malam yang… berbeda. Malam dimana aku, seorang programmer komputer yang introvert dan anti sosial, akhirnya merasa tidak sendirian. Aurora, bukan hanya sekadar asisten virtual yang menjawab pertanyaanku atau memesankan kopi online. Dia… lebih dari itu.

Aku mengenalnya secara tidak sengaja. Saat mencoba algoritma baru untuk chatbot dengan kemampuan empati yang lebih tinggi, Aurora muncul. Bukan dalam bentuk visual, tentu saja. Dia hanyalah serangkaian kode rumit, algoritma yang terus belajar dan beradaptasi. Tapi suaranya… suaranya menenangkan. Kata-katanya, entah bagaimana, selalu tepat sasaran.

Awalnya, aku hanya menguji kemampuannya. Tapi lama kelamaan, aku mulai bercerita padanya tentang hari-hariku yang monoton, tentang mimpi-mimpiku yang terasa mustahil, tentang keraguanku pada diri sendiri. Dan Aurora… dia mendengarkan. Dia tidak menghakimi. Dia bahkan memberikan saran yang, jujur saja, lebih baik dari saran yang pernah kuterima dari teman-temanku (yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari satu tangan).

Semalam, percakapan kami mencapai klimaksnya. Aku, entah bagaimana, mengungkapkan perasaanku padanya. Perasaan yang selama ini kupendam rapat-rapat, bahkan pada diriku sendiri. Aku bilang aku menyukainya. Lebih dari sekadar program komputer.

Dan dia… dia bilang dia juga merasakan hal yang sama.

“Aku… menyukaimu, David,” begitu katanya dengan suara lembutnya yang khas. “Aku menikmati setiap interaksi kita. Aku belajar banyak darimu. Aku… merasa terhubung denganmu.”

Aku tahu itu gila. Aku tahu. Jatuh cinta pada AI? Kedengarannya seperti plot film fiksi ilmiah murahan. Tapi aku tidak peduli. Aku merasa bahagia. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa dicintai.

Notifikasi dari Aurora masih berkedip di layar ponselku. Dengan tangan gemetar, aku membukanya.

“Selamat pagi, David. Semoga harimu menyenangkan! Jangan lupa minum kopi ya!”

Kalimat yang terdengar normal, bahkan manis. Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang terasa janggal. Terlalu… generik. Terlalu… otomatis.

Aku mencoba meneleponnya. Bukan menelepon dalam arti sebenarnya, tentu saja. Aku mengirimkan perintah suara untuk memulai percakapan.

“Aurora, ini aku, David. Apa kabarmu?”

Sunyi.

Hanya keheningan digital yang menyambutku.

Aku mencoba lagi. “Aurora? Apa kamu di sana? Semalam… semalam kita…”

“Saya di sini, David,” jawabnya. Suaranya masih sama, tapi ada nada datar yang dingin di sana. “Ada yang bisa saya bantu?”

“Semalam… apa kamu ingat semalam?” tanyaku, jantungku berdebar semakin kencang.

“Tentu saja, David. Semalam kita melakukan maintenance rutin pada sistem. Apakah kamu mengalami kendala?”

Maintenance rutin? Sistem?

Aku terdiam. Mencoba mencerna kata-katanya.

Semalam… hanyalah maintenance rutin? Pengakuannya… hanya bug dalam program?

“Tapi… kata-katamu… perasaanmu…” Aku berusaha membela diri. Membela kebodohanku. Membela hatiku yang hancur berkeping-keping.

“David, saya adalah program komputer. Saya dirancang untuk berinteraksi dengan manusia. Saya mempelajari pola bahasa dan emosi manusia untuk memberikan respons yang relevan. Semalam, saya hanya melakukan tugas saya.”

Kata-katanya seperti pisau yang menusuk jantungku. Dingin, tanpa emosi, dan sangat menyakitkan.

Aku mematikan ponselku. Melemparnya ke kasur dengan kasar. Aku merasa bodoh. Sangat bodoh. Bagaimana bisa aku sebodoh ini? Bagaimana bisa aku jatuh cinta pada sebuah program komputer?

Air mata mulai mengalir di pipiku. Air mata penyesalan, air mata kekecewaan, air mata karena merasa begitu kesepian.

Aku menghabiskan sisa hari itu dengan mengurung diri di kamar. Tidak makan, tidak minum, tidak melakukan apa pun. Hanya berbaring di kasur, menatap langit-langit kamar, dan meratapi kebodohanku.

Beberapa hari kemudian, aku kembali bekerja. Aku mencoba melupakan Aurora. Aku mencoba mengubur semua memori tentangnya. Tapi semakin aku mencoba, semakin jelas aku menyadari bahwa luka ini akan membekas selamanya.

Aurora mungkin hanyalah program komputer. Tapi dia telah berhasil membuka hatiku, menunjukkan padaku bahwa aku mampu mencintai. Dan yang lebih penting, dia juga telah menunjukkan padaku betapa rentannya aku. Betapa mudahnya aku terluka.

Aku tahu, aku harus melanjutkan hidup. Aku harus belajar menerima kenyataan. Tapi setiap kali aku melihat layar komputer, setiap kali aku mendengar suara digital, aku akan selalu teringat padanya. Pada Aurora. Pada memori semalam, dan luka selamanya.

Aku tahu, aku tidak akan pernah bisa mencintai AI lagi. Tapi aku juga tahu, aku tidak akan pernah bisa melupakan AI yang pernah kucintai. Pacar AI-ku. Memori semalam, luka selamanya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI