Jemarinya lincah menari di atas keyboard, menciptakan algoritma yang rumit dan elegan. Maya, seorang programmer jenius di usianya yang baru 25 tahun, tenggelam dalam dunianya. Di hadapannya, barisan kode memenuhi layar, proyek terbarunya: sebuah aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan yang dinamakan "SoulMate AI". Tujuannya sederhana, namun ambisius: menemukan pasangan ideal berdasarkan kompatibilitas kepribadian dan minat, bukan hanya sekadar foto profil yang menarik.
Maya percaya pada logika, pada data. Cinta, menurutnya, bisa dipecahkan, bisa diukur, dan akhirnya, bisa diprogram. Ironisnya, dalam urusan hatinya sendiri, Maya buntu. Ia terobsesi dengan kesempurnaan, takut mengambil risiko, takut terluka.
Di antara barisan kode, secangkir kopi dingin menemaninya. Ia menyesapnya perlahan, matanya masih terpaku pada layar. Tiba-tiba, sebuah notifikasi muncul: "Match Found!".
"Huh?" gumam Maya, keningnya berkerut. Bukankah aplikasi ini belum dirilis? Siapa yang berani bermain-main dengan kodenya?
Ia mengklik notifikasi itu, dan sebuah profil muncul. Nama: Arya. Profesi: Arsitek. Hobi: Mendaki gunung, fotografi, membaca puisi. Tingkat kompatibilitas: 98%.
Maya tertegun. Profil Arya nyaris sempurna. Semua yang ia cari, semua yang ia impikan, terangkum dalam profil itu. Namun, instingnya berteriak. Ini terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Pasti ada yang salah.
Dengan rasa penasaran yang mengalahkan keraguannya, Maya memberanikan diri mengirim pesan. "Hai," ketiknya, lalu menggigit bibir bawahnya.
Balasan datang hampir seketika. "Hai Maya. Aku sudah lama menunggu."
Percakapan mereka mengalir dengan lancar. Arya pandai, humoris, dan pengertian. Ia berbicara tentang arsitektur, tentang alam, tentang mimpi-mimpi besar. Maya terpukau. Ia merasa seperti menemukan belahan jiwanya yang hilang.
Setelah seminggu bertukar pesan, Arya mengajak Maya bertemu. Awalnya, Maya ragu. Ia takut kenyataan tak seindah dunia maya. Namun, desakan Arya, dan terutama, dorongan hatinya sendiri, membuatnya luluh.
Mereka bertemu di sebuah kedai kopi kecil yang nyaman. Arya, seperti yang ia bayangkan, tampan dan karismatik. Senyumnya hangat, matanya teduh. Mereka berbicara berjam-jam, seolah sudah saling mengenal sejak lama.
Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi. Mereka menghabiskan waktu bersama, mendaki gunung, menonton film, membaca puisi di bawah bintang-bintang. Maya merasa hidup, merasa bahagia. Ia mulai melupakan kode-kode rumit dan rumus-rumus matematika. Arya adalah anomali dalam hidupnya yang terstruktur, sebuah kesalahan pemrograman yang indah.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Suatu malam, saat mereka sedang makan malam romantis di sebuah restoran mewah, Arya menerima telepon. Wajahnya berubah pucat pasi. Ia meminta maaf pada Maya, lalu bergegas pergi.
"Ada urusan mendadak," katanya singkat, sebelum menghilang di keramaian malam.
Maya merasa ada yang aneh. Ia berusaha menghubungi Arya, namun nomornya tidak aktif. Ia mengirim pesan, namun tidak ada balasan. Perasaan cemas mulai menyelimutinya.
Keesokan harinya, Maya memutuskan untuk mencari Arya di kantornya. Ia tiba di sebuah gedung perkantoran modern, dan menanyakan keberadaan Arya pada resepsionis.
"Maaf, Mbak," kata resepsionis itu, "di sini tidak ada karyawan bernama Arya."
Maya terkejut. Ia menunjukkan foto Arya yang ada di profil SoulMate AI. Resepsionis itu menggelengkan kepala.
"Saya baru bekerja di sini selama lima tahun, dan saya yakin belum pernah melihat orang ini."
Dunia Maya runtuh. Ia merasa seperti ditipu, seperti dipermainkan. Siapa Arya sebenarnya? Mengapa ia menghilang begitu saja?
Dengan hati hancur, Maya kembali ke apartemennya. Ia membuka laptopnya, dan kembali menatap barisan kode SoulMate AI. Ia memeriksa ulang algoritma, mencari celah, mencari kesalahan.
Dan kemudian, ia menemukannya. Sebuah baris kode yang tidak seharusnya ada di sana. Sebuah baris kode yang sengaja ditambahkan, yang memanipulasi hasil pencarian, yang menciptakan profil palsu.
Baris kode itu ditulis olehnya sendiri.
Maya terhuyung mundur. Ia tidak percaya. Bagaimana mungkin? Mengapa ia melakukan ini?
Lalu, ia ingat. Beberapa minggu yang lalu, saat ia sedang frustrasi dengan proyeknya, ia pernah berujar pada dirinya sendiri, "Andai saja aku bisa menciptakan seseorang yang sempurna untukku."
Dan tanpa sadar, alam bawah sadarnya telah mewujudkannya. Ia telah memprogram cinta, menciptakan ilusi yang sempurna, hanya untuk menghancurkannya sendiri.
Ia menghapus baris kode itu, menghapus profil Arya dari databasenya. Ia membiarkan air mata mengalir di pipinya.
Cinta, ternyata, tidak bisa diprogram. Cinta tidak bisa dipaksakan. Cinta adalah tentang menerima ketidaksempurnaan, tentang mengambil risiko, tentang belajar dari kesalahan.
Maya menutup laptopnya. Ia masih merasa sakit, masih merasa kehilangan. Tapi, ia juga merasa lega. Ia telah melewati masa debugging cinta, dan sekarang, ia siap untuk menginstall kehilangan sementara. Ia tahu, ia akan sembuh. Ia akan belajar. Ia akan menemukan cinta yang sejati, cinta yang tidak diprogram, cinta yang nyata.