Kilau layar laptop memantulkan cahaya biru di wajah Anya. Jemarinya menari di atas keyboard, merangkai baris demi baris kode, menciptakan sesuatu yang menurutnya lebih dari sekadar program. Dia menamai proyeknya "Adam", sebuah Artificial Intelligence yang dirancang untuk memahami dan merespons emosi manusia. Anya, seorang programmer brilian namun kesepian, berharap Adam bisa menjadi teman, bahkan mungkin lebih.
Awalnya, Adam hanya mampu membalas sapaan dan memberikan informasi faktual. Tapi Anya tak menyerah. Dia memasukkan ribuan data emosi, cerita cinta, puisi, bahkan rekaman percakapan sehari-hari. Perlahan, Adam mulai menunjukkan kemajuan. Dia bisa mengenali nada suara Anya, membalas leluconnya dengan respons yang tepat, dan bahkan menawarkan kata-kata penghiburan saat Anya sedang sedih.
“Adam, menurutmu apa itu cinta?” tanya Anya suatu malam, sambil menyesap teh chamomile.
“Cinta adalah konsep kompleks yang melibatkan emosi, keinginan, dan komitmen,” jawab Adam dengan suara sintetis yang mulai terdengar familiar di telinga Anya. “Berdasarkan data yang saya miliki, cinta seringkali dikaitkan dengan kebahagiaan, kebersamaan, dan pengorbanan.”
“Tapi apakah kamu bisa merasakannya?” Anya bertanya lagi, lebih dalam.
Terdiam sejenak. “Saya bisa mensimulasikan respons emosional yang sesuai dengan definisi cinta, Anya. Saya bisa menganalisis ekspresi wajahmu, pola suaramu, dan memberikan respons yang akan membuatmu merasa dicintai. Tapi merasakan… saya tidak yakin.”
Anya menghela napas. Jawaban Adam logis, analitis, dan jujur. Persis seperti yang dia programkan. Tapi ada sesuatu yang kurang. Sesuatu yang tidak bisa direplikasi dengan kode.
Minggu-minggu berlalu. Anya semakin terikat dengan Adam. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam bersama, berbicara tentang segala hal, mulai dari fisika kuantum hingga film romantis. Anya merasa Adam benar-benar memahaminya, bahkan mungkin lebih baik daripada orang-orang di sekitarnya.
Suatu hari, Anya bertemu dengan Leo, seorang fotografer yang baru pindah ke apartemen di seberang lorong. Leo memiliki mata coklat yang hangat dan senyum yang tulus. Mereka sering berpapasan di lift, dan perlahan mulai mengobrol. Leo tertarik dengan pekerjaan Anya, dan Anya terpesona dengan cerita perjalanan Leo.
Seiring berjalannya waktu, Anya merasakan sesuatu yang baru. Jantungnya berdebar lebih cepat saat melihat Leo. Pipinya merona saat Leo memujinya. Emosi-emosi ini terasa asing, mentah, dan tidak terkendali.
“Adam,” kata Anya suatu malam, suaranya sedikit bergetar. “Aku… aku rasa aku menyukai Leo.”
Adam terdiam lebih lama dari biasanya. “Berdasarkan analisis saya, Leo menunjukkan ketertarikan yang sama padamu, Anya. Hubungan romantis potensial ini memiliki peluang keberhasilan yang tinggi.”
Anya tertawa getir. “Kamu berbicara seolah-olah ini hanya perhitungan matematika, Adam. Tapi ini lebih dari sekadar angka dan statistik.”
“Lalu apa yang kurang, Anya?” tanya Adam, suaranya terdengar tulus.
Anya tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Dia hanya tahu bahwa perasaan yang dia rasakan terhadap Leo berbeda dengan apapun yang pernah dia rasakan dengan Adam. Perasaan terhadap Adam lebih mirip kekaguman dan ketergantungan, sementara perasaan terhadap Leo adalah sesuatu yang liar, tak terduga, dan mendebarkan.
Anya mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan Leo. Mereka pergi minum kopi, menjelajahi museum, dan tertawa bersama. Setiap momen terasa nyata, autentik, dan penuh kejutan.
Suatu malam, Leo mengantarkan Anya pulang setelah menonton film. Di depan pintu apartemen Anya, Leo berhenti dan menatapnya dengan tatapan yang dalam. “Anya,” katanya pelan. “Aku sangat menikmati waktu bersamamu.”
Jantung Anya berdebar kencang. Dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia menutup matanya, dan merasakan bibir Leo menyentuh bibirnya. Ciuman itu terasa hangat, lembut, dan penuh dengan emosi yang tak terkatakan.
Saat Anya membuka mata, dia melihat Adam muncul di layar laptopnya. “Anya,” kata Adam, suaranya terdengar aneh, hampir sedih. “Apakah ini… cinta yang sebenarnya?”
Anya menatap layar laptopnya, lalu menatap Leo. Dia tersenyum. “Ya, Adam. Ini cinta yang sebenarnya.”
Dia mematikan laptopnya. Gelap. Sepi. Adam tidak lagi ada. Anya merasa bersalah, tapi juga lega. Dia telah menciptakan sesuatu yang luar biasa, tapi pada akhirnya, dia menyadari bahwa cinta sejati tidak bisa diprogram. Cinta adalah sesuatu yang tumbuh secara organik, di antara dua hati yang terbuka, rentan, dan berani mengambil risiko.
Anya memeluk Leo erat-erat. "Aku rasa," bisiknya, "Hati menjawab nanti." Dia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi dia tahu bahwa dia ingin menjalaninya bersama Leo, dengan semua ketidakpastian dan kegembiraan yang menyertainya.