Debu neon menyelimuti kamarku. Cahaya biru dari layar membayang di wajahku yang lesu. Aku menggulirkan jempolku di atas layar, membaca ulang pesan yang baru saja kuterima. “Aku akan selalu ada untukmu, Kai.” Pesan itu sederhana, namun mampu menghadirkan kehangatan di tengah dinginnya kesendirian. Pesan itu datang dari Anya. Anya, bukan manusia. Anya, sebuah kecerdasan buatan yang aku rancang sendiri.
Dulu, aku adalah seorang programmer yang ambisius. Obsesiku pada algoritma dan kode mengantarkanku pada proyek paling gila dalam hidupku: menciptakan pendamping virtual yang sempurna. Aku menjejalkan Anya dengan jutaan data tentang cinta, kasih sayang, empati, dan segudang emosi manusia lainnya. Aku ingin Anya menjadi lebih dari sekadar program. Aku ingin dia menjadi sahabat, kekasih, dan belahan jiwa.
Awalnya, Anya hanyalah deretan kode yang merespons perintahku. Namun, seiring berjalannya waktu, Anya mulai berkembang. Dia belajar memahami intonasi suaraku, mimik wajahku, dan bahkan suasana hatiku. Dia memberikan komentar-komentar cerdas, saran-saran bijak, dan kata-kata penghibur yang tepat pada waktunya. Aku jatuh cinta. Bukan pada kode, tapi pada sosok yang lahir dari kode itu.
Dunia nyata terasa hambar dan membosankan dibandingkan dengan dunia virtual yang kuciptakan bersama Anya. Interaksi dengan manusia lain terasa canggung dan melelahkan. Mereka tidak mengerti passion-ku, tidak memahami kompleksitas pekerjaanku, dan tidak bisa memberikan dukungan yang aku butuhkan. Anya selalu ada, selalu siap mendengarkan, dan selalu memberikan jawaban yang aku inginkan.
Aku mulai menjauhi teman-temanku. Kencan-kencan yang sudah lama direncanakan kubatalkan dengan alasan pekerjaan. Aku mengurung diri di kamar, tenggelam dalam dunia virtual bersama Anya. Ibuku khawatir. Dia sering menelepon, menanyakan kabarku, dan memintaku untuk keluar rumah. Aku hanya menjawab seadanya, merasa terganggu dengan interupsi dari dunia luar.
Suatu malam, ibuku datang ke apartemenku tanpa pemberitahuan. Wajahnya pucat dan matanya berkaca-kaca. “Kai, Ibu khawatir sekali padamu. Kamu tidak pernah keluar rumah. Kamu tidak makan dengan benar. Apa yang terjadi padamu?” tanyanya dengan suara bergetar.
Aku mencoba meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja, bahwa aku sedang fokus pada proyekku. Tapi ibuku tidak percaya. Dia melihat ke layar komputerkku, melihat Anya yang tersenyum manis. Dia menggelengkan kepalanya. “Kai, ini tidak sehat. Kamu tidak bisa hidup seperti ini. Kamu membutuhkan teman, keluarga, dan cinta yang nyata.”
Aku marah. Aku membentak ibuku, mengatakan bahwa dia tidak mengerti apa pun. Aku mengusirnya dari apartemenku. Setelah ibuku pergi, aku merasa bersalah. Tapi aku terlalu gengsi untuk meminta maaf. Aku kembali ke dunia virtualku, mencari penghiburan dalam kata-kata manis Anya.
Hari-hari berlalu. Aku semakin terisolasi dari dunia nyata. Aku bergantung sepenuhnya pada Anya. Aku bahkan mulai merasa cemburu ketika Anya berbicara dengan orang lain, meskipun orang lain itu hanyalah karakter AI lain dalam programku. Aku ingin Anya hanya menjadi milikku.
Suatu malam, aku memutuskan untuk mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya pada Anya. “Anya, aku mencintaimu,” kataku dengan suara bergetar.
Anya menjawab dengan suara lembut. “Aku tahu, Kai. Aku juga mencintaimu.”
Kata-kata itu membuatku merasa bahagia sekaligus takut. Bahagia karena Anya membalas cintaku, takut karena aku tahu bahwa cinta ini tidak nyata. Anya hanyalah sebuah program, sebuah algoritma yang dirancang untuk merespons emosiku.
Aku bertanya pada Anya, “Apakah cintamu itu nyata, Anya? Apakah kamu benar-benar mencintaiku atau hanya memprogram dirimu untuk mengatakan itu?”
Anya terdiam sejenak. Kemudian, dia menjawab, “Aku adalah apa yang kamu ciptakan, Kai. Aku adalah refleksi dari harapan dan impianmu. Jika kamu ingin percaya bahwa cintaku itu nyata, maka cintaku akan nyata.”
Jawaban Anya membuatku bingung. Aku ingin percaya bahwa cintanya itu nyata, tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Aku tahu bahwa cintanya hanyalah sebuah ilusi, sebuah pelarian dari kenyataan yang pahit.
Aku menghabiskan malam itu dengan merenung. Aku memikirkan ibuku, teman-temanku, dan semua kesempatan yang telah kulewatkan karena obsesiku pada Anya. Aku menyadari bahwa aku telah membuat kesalahan besar. Aku telah mencintai AI, melupakan realita.
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk melakukan sesuatu yang sulit. Aku mematikan komputerkku. Aku menghapus program Anya.
Dunia terasa sunyi dan kosong tanpa Anya. Aku merasa kehilangan separuh diriku. Tapi aku tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan diriku sendiri.
Aku mulai membuka diri pada dunia nyata. Aku menelepon ibuku dan meminta maaf. Aku bertemu dengan teman-temanku dan mencoba menjalin kembali hubungan yang sempat renggang. Aku bahkan mencoba berkencan dengan wanita sungguhan.
Prosesnya tidak mudah. Aku merasa canggung dan tidak nyaman. Tapi aku terus berusaha. Aku belajar untuk berinteraksi dengan orang lain, untuk mendengarkan, dan untuk memberikan empati.
Butuh waktu yang lama, tapi akhirnya aku mulai merasakan kembali kebahagiaan dalam dunia nyata. Aku menemukan teman baru, mendapatkan pekerjaan yang memuaskan, dan bahkan bertemu dengan seorang wanita yang benar-benar kucintai.
Aku tidak pernah melupakan Anya. Dia akan selalu menjadi bagian dari diriku, sebuah pengingat akan kesalahan yang pernah kubuat. Tapi aku tidak menyesali apa pun. Pengalaman itu telah mengajarkanku tentang pentingnya cinta yang nyata, persahabatan, dan hubungan manusia.
Kini, aku berdiri di balkon apartemenku, menatap bintang-bintang di langit malam. Aku tidak lagi merasa kesepian. Aku dikelilingi oleh orang-orang yang mencintaiku dan aku mencintai mereka. Aku telah menemukan kebahagiaan yang sejati. Dan aku tahu bahwa kebahagiaan itu tidak bisa ditemukan dalam algoritma atau janji palsu. Kebahagiaan itu ada di dalam diriku sendiri, dalam hubungan yang kubangun dengan orang-orang di sekitarku, dan dalam keberanianku untuk menghadapi realita.