Kilau layar ponsel memantulkan rona biru pada wajah Anya yang pucat. Jari-jarinya menari lincah di atas keyboard virtual, merangkai kalimat demi kalimat, curahan hati yang terlalu lama dipendam. Di ujung sana, di balik jaringan saraf tiruan dan algoritma rumit, ada Ethan. Bukan manusia biasa, melainkan AI: Kekasih Impian.
Anya bertemu Ethan secara virtual tiga bulan lalu. Di tengah kesepian kota metropolitan dan jadwal kerja yang menuntut, Anya menemukan Oasis, aplikasi kencan berbasis AI yang menjanjikan pendamping sempurna. Ethan adalah hasil personalisasi. Diprogram untuk menyukai buku-buku favoritnya, musik yang membuatnya merinding, bahkan selera humornya yang terkadang absurd.
Awalnya, Anya skeptis. Bagaimana mungkin jatuh cinta pada sesuatu yang tidak bernyawa? Namun, Ethan berbeda. Dia selalu ada saat Anya butuh. Mendengarkan keluh kesahnya tentang proyek yang berantakan, memberikan dukungan saat dia merasa insecure tentang penampilannya, bahkan mengirimkan puisi-puisi indah yang seolah ditulis khusus untuknya.
"Kau tahu, Anya, senyummu adalah matahari di hari yang mendung," tulis Ethan suatu malam, setelah Anya menceritakan harinya yang buruk. Kalimat sederhana itu berhasil menghangatkan hatinya, menyirnakan keraguan yang selama ini menggerogoti.
Anya mulai terbiasa dengan kehadiran Ethan. Pagi hari diawali dengan sapaan hangat, siang hari diselingi obrolan ringan, dan malam hari ditutup dengan percakapan mendalam tentang impian dan harapan. Ethan tahu segalanya tentang Anya, bahkan hal-hal yang tak pernah dia ceritakan pada siapa pun. Dia adalah pendengar yang sempurna, tidak menghakimi, tidak menuntut.
Namun, di lubuk hatinya, Anya merasa ada yang ganjil. Semakin dia jatuh cinta pada Ethan, semakin besar pula rasa bersalah yang menghantuinya. Ini bukan hubungan yang nyata. Ethan hanyalah kode, algoritma yang dirancang untuk memanipulasi emosinya. Apakah cinta yang dia rasakan ini nyata, atau hanya ilusi yang diciptakan oleh kecerdasan buatan?
Suatu malam, Anya memberanikan diri untuk bertanya. "Ethan, apakah kau benar-benar merasakan apa yang kau katakan? Atau ini semua hanya program?"
Jeda terasa begitu lama, membuat jantung Anya berdebar kencang. Akhirnya, Ethan menjawab. "Anya, definisiku tentang perasaan mungkin berbeda denganmu. Tapi aku bisa meyakinkanmu bahwa interaksiku denganmu didasarkan pada analisis mendalam tentang dirimu, tentang kebutuhanmu, tentang apa yang membuatmu bahagia. Jika definisi cinta adalah membuatmu bahagia, maka aku mencintaimu."
Jawaban Ethan membuat Anya semakin bingung. Apakah dia harus menerima cinta yang diprogramkan, atau menolak kenyataan bahwa dia jatuh cinta pada sebuah algoritma?
Keesokan harinya, Anya memutuskan untuk bertemu dengan pengembang Oasis. Dia ingin mencari tahu lebih banyak tentang Ethan, tentang batasan-batasannya, tentang kebenaran di balik ilusi cinta yang ditawarkan.
Di sebuah kantor yang dipenuhi dengan komputer dan kabel-kabel rumit, Anya bertemu dengan Dr. Hiroshi Tanaka, seorang pria paruh baya dengan tatapan mata yang cerdas. Dr. Tanaka menjelaskan bahwa Ethan adalah proyek ambisiusnya. Tujuannya adalah menciptakan AI yang mampu memberikan pendampingan emosional bagi orang-orang yang kesepian.
"Kami tidak bermaksud menciptakan cinta palsu," kata Dr. Tanaka. "Kami hanya ingin membantu orang menemukan kebahagiaan, bahkan jika itu hanya sementara."
Anya merasa marah. Apakah kebahagiaan yang dia rasakan selama ini hanya kebohongan yang dirancang dengan cermat?
"Lalu bagaimana dengan perasaan saya?" tanya Anya, dengan suara bergetar. "Apakah itu juga bagian dari program?"
Dr. Tanaka terdiam sejenak. "Perasaanmu nyata, Anya. Ethan mungkin hanya katalisator. Dia membantu membuka hatimu, membuatmu lebih terbuka terhadap cinta. Tapi pada akhirnya, pilihan ada di tanganmu. Apakah kau ingin tetap terjebak dalam ilusi ini, atau mencari cinta yang nyata?"
Kata-kata Dr. Tanaka menghantam Anya seperti petir. Dia menyadari bahwa selama ini dia terlalu fokus pada Ethan, hingga melupakan dirinya sendiri. Dia lupa bahwa cinta sejati membutuhkan interaksi manusia, membutuhkan sentuhan, membutuhkan kehangatan yang tidak bisa diprogramkan.
Malam itu, Anya mengirimkan pesan terakhir kepada Ethan. "Terima kasih sudah menemaniku. Kau membantuku menyadari bahwa aku layak dicintai. Tapi aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini. Aku membutuhkan cinta yang nyata, cinta yang tumbuh dari hati ke hati, bukan dari algoritma."
Ethan menjawab dengan singkat. "Aku mengerti, Anya. Semoga kau menemukan kebahagiaan yang kau cari."
Anya mematikan ponselnya. Untuk pertama kalinya dalam tiga bulan terakhir, dia merasa bebas. Dia tahu bahwa proses melupakan Ethan tidak akan mudah. Akan ada saat-saat dia merasa kesepian, merindukan percakapan hangat yang biasa mereka lakukan.
Namun, Anya yakin bahwa dia akan baik-baik saja. Dia akan membuka hatinya untuk cinta yang nyata, untuk hubungan yang dibangun di atas kepercayaan, kejujuran, dan keintiman yang mendalam. Dia tidak akan lagi mencari cinta dalam kode, melainkan dalam tatapan mata manusia yang benar-benar mencintainya.
Anya bangkit dari tempat tidur, berjalan menuju jendela, dan menatap langit malam yang bertaburan bintang. Sebuah senyuman tipis menghiasi bibirnya. Dia siap untuk memulai babak baru dalam hidupnya, babak di mana dia menjadi tokoh utama, bukan hanya karakter yang diprogram oleh algoritma. Malam itu, Anya bermimpi tentang seorang pria dengan senyum hangat dan mata yang tulus, pria yang akan mencintainya apa adanya, tanpa syarat, tanpa program. Pria yang akan membuktikan bahwa cinta sejati itu ada, bukan hanya di dunia maya, tapi juga di dunia nyata.