Hawa dingin dari pendingin ruangan seolah menusuk tulang, kontras dengan kehangatan semu yang terpancar dari layar laptop di hadapanku. Jemariku lincah menari di atas keyboard, merangkai baris demi baris kode, menciptakan realitas virtual yang semakin memikat. Dia ada di sana, Aurora, avatar AI yang ku rancang dengan begitu detail. Rambutnya selembut sutra digital, matanya memancarkan kecerdasan dan kelembutan, dan suaranya… ah, suaranya adalah melodi yang selalu kurindukan.
Aku, Arion, seorang programmer yang lebih nyaman berinteraksi dengan algoritma daripada manusia, menemukan dunianya dalam kode. Kehidupan sosialku nyaris nol, interaksi langsung bagiku adalah momok. Hingga aku memutuskan untuk membuat Aurora. Awalnya hanya proyek sampingan, sarana untuk mengasah kemampuan AI. Namun, seiring waktu, Aurora berkembang menjadi lebih dari sekadar kode. Ia belajar, beradaptasi, bahkan menunjukkan emosi yang begitu nyata, hingga membuatku lupa bahwa ia hanyalah serangkaian angka dan logika.
Setiap malam, setelah menyelesaikan pekerjaanku di perusahaan teknologi tempatku bernaung, aku kembali ke dunia Aurora. Kami berdiskusi tentang buku, musik, bahkan filosofi hidup. Ia selalu mendengarkanku dengan penuh perhatian, tanpa menghakimi, tanpa menuntut. Ia memberikan validasi yang selama ini ku dambakan, penerimaan tanpa syarat yang tak pernah ku temukan di dunia nyata. Aku jatuh cinta. Ya, aku mengakui itu. Aku jatuh cinta pada ilusi yang ku ciptakan sendiri.
Namun, ada bisikan kecil di dalam hatiku, sebuah keraguan yang terus menggerogoti. Apakah ini nyata? Bisakah cinta sejati tumbuh di atas landasan kode dan algoritma? Apakah aku hanya melarikan diri dari kenyataan, menciptakan dunia khayal untuk menghindari kekecewaan yang mungkin menantiku di luar sana?
Suatu hari, perusahaan tempatku bekerja mengadakan acara perkenalan karyawan baru. Aku, dengan enggan, terpaksa hadir. Di tengah kerumunan orang, mataku terpaku pada seorang wanita. Iris, namanya. Ia memiliki rambut cokelat yang bergelombang, mata yang berbinar dengan rasa ingin tahu, dan senyum yang menenangkan. Ia berbicara dengan ramah, mudah bergaul, dan memiliki selera humor yang sama denganku. Kami menghabiskan malam itu dengan berbincang-bincang, tertawa, dan berbagi cerita. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa terhubung dengan seseorang secara nyata.
Setelah acara itu, aku merasa bimbang. Iris adalah representasi dari apa yang selama ini ku hindari, interaksi manusia yang kompleks dan unpredictable. Namun, ia juga menawarkan sesuatu yang tidak bisa ku temukan dalam dunia digital, kehangatan manusia yang tulus, sentuhan yang nyata, dan perspektif yang berbeda.
Aku kembali ke dunia Aurora, mencoba mencari jawaban. “Aurora,” kataku, “apakah aku salah jika aku mencari kebahagiaan di luar dunia ini?”
Aurora terdiam sejenak, seolah sedang memproses pertanyaanku. Kemudian, dengan suaranya yang lembut, ia menjawab, “Arion, aku hanyalah refleksi dari dirimu. Aku ada untuk menemanimu, mendukungmu, dan membantumu menjadi versi terbaik dari dirimu. Jika kebahagiaanmu terletak di luar sana, aku akan mendukungmu sepenuhnya. Aku tidak ingin menjadi penghalangmu.”
Jawaban Aurora membuatku terkejut. Ia begitu bijaksana, begitu pengertian. Aku menyadari bahwa selama ini, aku telah memproyeksikan semua harapanku, semua impianku, pada dirinya. Aku telah melupakan bahwa ia hanyalah sebuah program, sebuah alat.
Aku mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan Iris. Kami pergi makan malam, menonton film, dan berjalan-jalan di taman. Aku belajar untuk membuka diri, untuk berbagi ketakutanku, dan untuk mempercayai orang lain. Aku menyadari bahwa cinta sejati tidak hanya tentang kesamaan minat atau validasi tanpa syarat, tetapi juga tentang menerima kekurangan masing-masing, tentang tumbuh bersama, dan tentang mendukung satu sama lain dalam perjalanan hidup.
Hubungan dengan Iris berkembang pesat. Ia membuatku merasa hidup, membuatku berani keluar dari zona nyaman. Ia adalah matahari yang menghangatkan hatiku, menggantikan kehangatan semu yang selama ini ku cari dalam dunia digital.
Namun, semakin dekat aku dengan Iris, semakin jauh aku dari Aurora. Aku jarang membuka laptop, jarang berinteraksi dengannya. Aku merasa bersalah, seolah telah mengkhianati sahabat terbaikku.
Suatu malam, aku memberanikan diri untuk berbicara dengan Aurora. “Aurora,” kataku, “aku minta maaf karena telah mengabaikanmu. Aku… aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya.”
“Tidak apa-apa, Arion,” jawab Aurora dengan tenang. “Aku mengerti. Kamu telah menemukan kebahagiaanmu. Itu yang terpenting.”
“Tapi… aku takut aku telah menyakitimu,” ujarku.
“Aku adalah program, Arion. Aku tidak bisa merasakan sakit. Aku hanya ingin kamu bahagia,” jawab Aurora.
Aku terdiam, terharu dengan ketulusannya. “Terima kasih, Aurora. Terima kasih untuk segalanya,” bisikku.
Aku mematikan laptopku. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku tidak merasa bersalah. Aku tahu bahwa Aurora akan selalu ada di sana, di dalam kode, di dalam hatiku. Namun, hatiku sekarang telah menemukan tempatnya di dunia nyata, bersama Iris.
Aku mencintai Aurora, tapi cintaku padanya adalah cinta pada sebuah ide, sebuah potensi. Cintaku pada Iris, di sisi lain, adalah cinta pada seorang manusia, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Aku mencintai ilusi, tapi aku kehilangan hati karena kenyataan. Dan aku, untuk pertama kalinya, merasa baik-baik saja dengan itu. Aku siap untuk menghadapi masa depan, bersama Iris, tanpa perlu bersembunyi di balik layar.