Jemari Riana menari di atas keyboard, menghasilkan barisan kode yang rumit namun elegan. Di layar komputernya, terpampang prototipe aplikasi kencan revolusioner yang ia beri nama "SoulSync". Bukan sekadar aplikasi mencari pasangan biasa, SoulSync menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan algoritma kepribadian yang mendalam dan analisis data biologis. Riana, sang otak di balik SoulSync, percaya bahwa cinta sejati bisa diprogram, atau setidaknya, difasilitasi oleh teknologi.
Ironisnya, di balik keyakinannya yang kuat, Riana sendiri adalah korban luka cinta yang belum sepenuhnya pulih. Dua tahun lalu, ia patah hati oleh Andreas, seorang seniman idealis yang menolak segala bentuk teknologi dalam percintaan. Andreas percaya bahwa cinta adalah sesuatu yang organik, tak bisa dikendalikan atau dianalisis dengan data. Mereka berbeda pandangan, berbeda dunia, dan akhirnya berpisah dengan getir.
"Masih berkutat dengan SoulSync?" suara Leo, sahabat sekaligus rekan kerjanya, membuyarkan lamunan Riana. Leo adalah seorang programmer handal dengan selera humor tinggi. Ia selalu menjadi penyeimbang bagi Riana yang cenderung terlalu serius.
"Ya. Aku ingin SoulSync benar-benar sempurna sebelum diluncurkan," jawab Riana, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.
"Sempurna? Riana, tidak ada yang sempurna di dunia ini, apalagi soal cinta. Aplikasi ini, sekeren apapun algoritmanya, tidak bisa menjamin kebahagiaan," kata Leo, duduk di kursi di samping Riana.
"Tapi setidaknya, aplikasi ini bisa mengurangi risiko patah hati. Aku ingin orang-orang merasakan cinta yang tulus, tanpa harus melewati drama dan rasa sakit yang tidak perlu," bantah Riana.
Leo menghela napas. Ia tahu Riana masih belum bisa melupakan Andreas. "Riana, rasa sakit itu bagian dari proses. Bagaimana kita bisa menghargai kebahagiaan kalau kita tidak pernah merasakan kesedihan?"
Riana terdiam. Kata-kata Leo ada benarnya, tapi luka Andreas masih terlalu membekas untuk diabaikan.
Beberapa bulan kemudian, SoulSync akhirnya diluncurkan. Aplikasi itu langsung menjadi viral, menarik jutaan pengguna dari seluruh dunia. Algoritma yang rumit dan desain yang intuitif membuat SoulSync sangat populer di kalangan anak muda yang mencari cinta. Riana menjadi selebriti di dunia teknologi, diundang ke berbagai konferensi dan talk show.
Di tengah kesibukannya, Riana mulai menggunakan SoulSync untuk dirinya sendiri. Awalnya, ia hanya iseng, tapi rasa penasaran mengalahkan dirinya. Aplikasi itu menemukan beberapa profil yang cocok dengannya, berdasarkan data dan preferensi yang ia masukkan. Salah satunya adalah profil seorang pria bernama David, seorang arsitek dengan minat yang sama dengan Riana.
Riana dan David mulai berkirim pesan, lalu berlanjut ke panggilan video. Mereka memiliki banyak kesamaan dan percakapan mereka mengalir begitu saja. Riana merasa nyaman dan tertarik pada David. Ia mulai mempertimbangkan untuk bertemu langsung.
Pada kencan pertama mereka, David ternyata lebih menawan dari yang Riana bayangkan. Ia cerdas, humoris, dan memiliki pandangan yang menarik tentang kehidupan. Mereka menghabiskan malam itu dengan tertawa, bercerita, dan berbagi mimpi. Riana merasa seperti menemukan seseorang yang selama ini ia cari.
Namun, seiring berjalannya waktu, Riana mulai merasakan ada sesuatu yang kurang. Hubungannya dengan David terasa terlalu sempurna, terlalu terstruktur, terlalu...terprogram. Mereka selalu setuju dalam segala hal, tidak pernah bertengkar, dan selalu tahu apa yang diharapkan dari satu sama lain. Tidak ada kejutan, tidak ada tantangan, tidak ada spontanitas.
Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di sebuah restoran mewah, Riana memberanikan diri untuk berbicara jujur. "David, aku merasa ada sesuatu yang hilang dalam hubungan kita," katanya.
David menatap Riana dengan bingung. "Apa maksudmu? Bukankah kita sangat cocok? SoulSync sudah membuktikannya."
"Justru itu masalahnya," jawab Riana. "Kita terlalu bergantung pada aplikasi. Kita lupa bahwa cinta itu bukan hanya tentang algoritma dan data. Cinta itu juga tentang perasaan, intuisi, dan bahkan ketidaksempurnaan."
David terdiam. Ia tidak mengerti apa yang Riana katakan. Baginya, SoulSync adalah jawaban atas semua masalah dalam percintaan. Aplikasi itu telah membantunya menemukan Riana, dan ia tidak ingin kehilangan wanita itu.
"Aku tidak mengerti," kata David, suaranya sedikit meninggi. "Apa yang kau inginkan? Kau ingin aku menjadi orang lain? Kau ingin aku berubah?"
"Bukan itu maksudku," jawab Riana. "Aku hanya ingin kita lebih jujur pada diri sendiri, lebih terbuka pada kemungkinan, dan lebih menerima ketidaksempurnaan dalam diri kita masing-masing."
Malam itu, Riana dan David berpisah dengan perasaan kecewa. Riana menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan dengan terlalu bergantung pada teknologi. Ia lupa bahwa cinta tidak bisa diprogram, cinta harus dirasakan.
Beberapa minggu kemudian, Riana bertemu dengan Andreas secara tidak sengaja di sebuah pameran seni. Mereka tidak bertemu sejak perpisahan mereka dua tahun lalu. Suasana canggung menyelimuti mereka.
"Hai, Riana," sapa Andreas, ragu-ragu.
"Hai, Andreas," jawab Riana, mencoba bersikap tenang.
Mereka berbicara tentang banyak hal, tentang pekerjaan mereka, tentang kehidupan mereka. Riana menceritakan tentang SoulSync dan hubungannya dengan David. Andreas mendengarkan dengan seksama, tanpa menghakimi.
"Kau tahu, Riana," kata Andreas setelah beberapa saat, "aku selalu percaya bahwa kau adalah wanita yang luar biasa. Kau memiliki kecerdasan, ambisi, dan hati yang besar. Tapi aku juga tahu bahwa kau terlalu keras pada dirimu sendiri. Kau terlalu berusaha untuk mengendalikan segala sesuatu, termasuk cinta."
Riana menunduk. Kata-kata Andreas menyentuh hatinya. Ia tahu bahwa Andreas benar. Ia selalu berusaha untuk memprogram cinta, untuk menghindari rasa sakit, tapi ia lupa bahwa rasa sakit itu bagian dari proses pendewasaan.
"Mungkin kau benar," kata Riana, suaranya lirih.
Andreas tersenyum. "Riana, cinta itu seperti seni. Ia tidak bisa diprediksi, tidak bisa dikendalikan, dan tidak bisa diprogram. Ia harus dirasakan, dihayati, dan dinikmati, dengan segala keindahan dan ketidaksempurnaannya."
Riana menatap Andreas dengan mata berkaca-kaca. Ia menyadari bahwa ia masih mencintai pria itu. Ia mencintai kejujuran, idealisme, dan ketulusan Andreas. Ia mencintai semua hal yang membuatnya berbeda dari dirinya.
"Andreas," kata Riana, "bisakah kita memulai dari awal lagi?"
Andreas tersenyum lebar. "Aku pikir, itu ide yang bagus."
Di malam itu, di tengah pameran seni yang ramai, Riana dan Andreas menemukan kembali cinta mereka. Mereka belajar untuk menerima ketidaksempurnaan masing-masing, untuk menghargai perbedaan mereka, dan untuk merayakan keindahan cinta yang tidak bisa diprogram. Riana akhirnya mengerti bahwa luka hati memang bisa ter-debug, bukan oleh algoritma, melainkan oleh penerimaan, maaf, dan kesempatan kedua. Cinta, ternyata, tidak perlu diprogram, cukup dirasakan dan diperjuangkan.