Kilau layar ponsel memantulkan cahaya di iris mata Anya. Jemarinya lincah menari di atas keyboard virtual, mengisi kuesioner yang terasa tak berujung. Pertanyaan-pertanyaan itu menyelisik setiap sudut dirinya: preferensi musik, pandangan politik, hobi tergelap, mimpi terbesar, bahkan hingga jenis roti kesukaannya. Semua ini untuk satu tujuan: Algoritma Jodoh Paling Sempurna (AJPS).
Dunia di tahun 2042 sudah sangat berbeda. Jatuh cinta secara organik dianggap kuno, bahkan cenderung berisiko. Patah hati? Buang-buang waktu dan energi. AJPS, produk andalan perusahaan teknologi raksasa, Synapse Corp, menjanjikan solusi: pasangan yang dijamin kompatibel secara ilmiah, dihitung berdasarkan jutaan data dan dianalisis oleh kecerdasan buatan tercanggih.
Anya, seorang desainer grafis lepas, awalnya skeptis. Namun, melihat teman-temannya yang menemukan kebahagiaan (atau setidaknya stabilitas emosional) melalui AJPS, rasa penasarannya tumbuh. Dia lelah dengan kencan daring yang selalu berujung kekecewaan, lelah dengan harapan palsu. Mungkin, hanya mungkin, algoritma ini bisa membantunya.
Setelah tiga hari pengisian data yang melelahkan, notifikasi akhirnya muncul: "Profil Anda berhasil diproses. Pasangan Ideal Anda sedang dalam pencarian." Anya menahan napas. Jantungnya berdebar tidak teratur, anehnya lebih kuat daripada saat menunggu balasan dari gebetan manapun sebelumnya.
Seminggu kemudian, dia menerima pesan elektronik berisi informasi lengkap tentang pasangannya. Namanya, Kai. Seorang arsitek, penyuka film klasik, dan memiliki selera humor yang, menurut deskripsi algoritma, "sangat cocok dengan Anya." Ada foto terlampir. Kai tampan, dengan senyum yang hangat dan mata yang teduh.
Kencan pertama mereka diatur oleh AJPS. Lokasinya, sebuah kafe tematik yang menayangkan film bisu. Percakapan mengalir lancar. Mereka membahas film favorit mereka, merencanakan kunjungan ke pameran arsitektur, bahkan saling bertukar cerita masa kecil yang memalukan. Anya merasa nyaman, lebih dari yang pernah dia rasakan dengan siapapun.
Kai sesuai dengan semua kriteria yang diinginkan Anya. Dia cerdas, perhatian, dan memiliki ambisi yang sama. Mereka tertawa bersama, berpikir serupa, dan bahkan menyukai jenis makanan yang sama. Hubungan mereka berkembang dengan cepat, mengikuti kurva yang diprediksi oleh AJPS. Tiga bulan berkencan, mereka memutuskan untuk tinggal bersama. Setahun kemudian, lamaran romantis di puncak gedung pencakar langit dengan pemandangan kota yang gemerlap.
Semuanya tampak sempurna. Anya dan Kai menjadi model pasangan AJPS. Mereka sering diundang dalam acara-acara promosi Synapse Corp, berbagi kisah cinta mereka yang "ditemukan oleh algoritma." Anya menikmati perhatian dan pujian yang datang padanya. Dia merasa bangga menjadi bagian dari revolusi percintaan.
Namun, di balik kesempurnaan yang dipamerkan, keraguan mulai merayap masuk. Terkadang, di tengah percakapan yang mengalir lancar, Anya merasa ada sesuatu yang hilang. Kejutannya. Ketidakpastiannya. Gairahnya. Semuanya terasa terlalu terstruktur, terlalu diprediksi.
Dia mulai memperhatikan bahwa setiap argumen kecil mereka diselesaikan dengan merujuk pada hasil analisis AJPS. "Algoritma mengatakan kita cenderung berbeda pendapat tentang manajemen keuangan, jadi mari kita kompromi," kata Kai suatu kali, mengutip laporan kompatibilitas mereka.
Anya mulai merasa seperti dia sedang menjalani sebuah simulasi, bukan sebuah hubungan nyata. Dia merindukan kesalahan, kekurangan, dan perbedaan yang membuat sebuah hubungan menjadi hidup. Dia merindukan perasaan jatuh cinta yang irasional dan tidak terkendali.
Suatu malam, Anya menemukan Kai sedang membaca laporan kompatibilitas mereka di tabletnya. "Hanya memastikan kita tetap berada di jalur yang benar," katanya sambil tersenyum. Anya merasa jijik. Dia merasa seperti dia sedang diperiksa, dievaluasi, dinilai berdasarkan metrik dan algoritma.
"Apakah kamu mencintaiku, Kai?" tanya Anya, suaranya bergetar.
Kai menatapnya dengan bingung. "Tentu saja, Anya. Algoritma menunjukkan bahwa kita memiliki tingkat keterikatan emosional yang sangat tinggi."
Anya menggelengkan kepalanya. "Bukan itu yang aku tanyakan. Apakah kamu mencintaiku? Apakah kamu mencintaiku karena aku adalah aku, atau karena aku sesuai dengan profil yang ditetapkan oleh AJPS?"
Kai terdiam. Dia menatap Anya, seolah-olah dia sedang mencoba memproses pertanyaan yang belum pernah dia pertimbangkan sebelumnya. "Aku... aku tidak tahu," akhirnya dia berkata.
Saat itulah Anya menyadari semuanya. AJPS telah memberikan mereka kompatibilitas, tetapi bukan cinta. Algoritma telah menciptakan pasangan yang sempurna di atas kertas, tetapi telah menghilangkan esensi dari hubungan manusia: spontanitas, kerentanan, dan pilihan bebas.
Anya meninggalkan Kai malam itu. Dia menghapus profilnya dari AJPS dan membuang semua barang-barang yang mengingatkannya pada hubungan mereka yang "sempurna". Dia memutuskan untuk mengambil risiko, untuk mengalami cinta yang sesungguhnya, cinta yang tidak diatur oleh algoritma.
Dia tahu itu akan sulit. Dia tahu dia mungkin akan mengalami patah hati, kekecewaan, dan ketidakpastian. Tapi dia juga tahu bahwa itu sepadan dengan risikonya. Karena pada akhirnya, kebahagiaan sejati tidak bisa dihitung. Kebahagiaan sejati harus dirasakan. Dan Anya ingin merasakan semuanya, tanpa filter, tanpa algoritma. Dia ingin menemukan cinta yang benar-benar manusiawi, dengan semua ketidaksempurnaan dan keindahannya. Dia ingin menulis algoritmanya sendiri, algoritma hatinya.