Aplikasi kencan itu lagi-lagi menampilkan wajah yang menurut Maya, “Ya, lumayan, tapi… hambar.” Ia menggeser ke kiri, seperti menggeser hari-hari yang terasa identik. Pekerjaan sebagai analis data di perusahaan e-commerce raksasa membuatnya dikelilingi angka dan algoritma. Lucunya, algoritma yang ia gunakan untuk menganalisis perilaku konsumen justru lebih memahami preferensinya daripada algoritma kencan yang katanya canggih ini.
“Kenapa sih susah banget cari yang pas?” gumamnya, memandang nanar layar ponsel. Maya sudah mencoba berbagai aplikasi, dari yang mainstream sampai yang khusus untuk pecinta buku antik. Hasilnya nihil. Ia mulai berpikir mungkin ia ditakdirkan untuk menjadi single data analyst selamanya.
Di kantor, Maya dikenal sebagai si jenius rumus. Ia bisa mengolah data mentah menjadi informasi berharga, memprediksi tren pasar, bahkan merekomendasikan produk yang ‘click’ dengan masing-masing pelanggan. Tapi, urusan hati? Nol besar.
Suatu hari, saat jam makan siang, Maya melihat seorang pria sedang berjuang dengan spreadsheet di meja pojok. Pria itu tampak frustrasi, rambutnya berantakan dan kemejanya sedikit kusut. Maya mengenalinya sebagai Raka, junior programmer yang baru bergabung beberapa bulan lalu.
“Butuh bantuan?” tanya Maya, menghampirinya.
Raka mendongak, terkejut. “Oh, Maya. Eh, iya. Aku lagi coba bikin visualisasi data untuk laporan campaign yang baru, tapi kok hasilnya nggak sesuai yang aku mau, ya?”
Maya mengamati spreadsheet Raka. Matanya langsung menangkap beberapa kesalahan formula dan format data yang kurang tepat. Dengan sabar, Maya menjelaskan langkah demi langkah cara memperbaiki spreadsheet tersebut. Raka menyimak dengan seksama, sesekali bertanya dan mengangguk-angguk.
Setelah sekitar setengah jam, akhirnya spreadsheet itu berhasil menghasilkan visualisasi data yang diinginkan Raka. Wajahnya berbinar lega.
“Wah, makasih banyak, Maya! Kamu hebat banget. Kalau nggak ada kamu, mungkin aku masih berkutat sama angka-angka ini sampai malam.”
Maya tersenyum. “Santai aja. Lain kali kalau ada kesulitan, jangan sungkan tanya.”
Sejak hari itu, Maya dan Raka jadi lebih sering berinteraksi. Mereka sering makan siang bersama, membahas proyek-proyek di kantor, dan bahkan sesekali bermain game online sepulang kerja. Maya mulai menyadari bahwa Raka adalah sosok yang menyenangkan, cerdas, dan memiliki selera humor yang sama dengannya.
Suatu malam, saat mereka sedang video call, Raka bercerita tentang proyek sampingannya: sebuah aplikasi personalisasi rekomendasi musik berbasis algoritma kecerdasan buatan.
“Aku pengen bikin aplikasi yang bisa beneran ngerti selera musik penggunanya, bukan cuma berdasarkan genre atau artis yang lagi populer,” jelas Raka dengan antusias.
Maya terdiam sejenak. Ia teringat dengan pengalamannya yang kurang memuaskan dengan aplikasi kencan. Tiba-tiba, sebuah ide terlintas di benaknya.
“Gimana kalau kita kolaborasi?” tanya Maya. “Kamu fokus sama algoritmanya, aku bantu menganalisis data preferensi pengguna. Kita bikin aplikasi kencan yang beneran personalized!”
Raka tampak terkejut, kemudian tersenyum lebar. “Ide bagus! Aku setuju banget. Tapi… apa kamu yakin mau bantuin aku? Ini kan proyek sampingan, nggak ada hubungannya sama pekerjaan kita.”
“Justru itu yang bikin menarik,” jawab Maya. “Lagian, aku penasaran, apa algoritma buatan kita bisa lebih baik daripada aplikasi kencan yang ada sekarang.”
Maka dimulailah proyek rahasia mereka. Setiap malam, setelah jam kerja selesai, Maya dan Raka berkumpul di apartemen Raka (atau video call kalau sedang terlalu lelah), membedah data, merancang algoritma, dan menulis kode. Mereka berdebat tentang parameter yang paling relevan, metode machine learning yang paling efektif, dan bahkan warna interface aplikasi.
Selama proses itu, Maya semakin mengenal Raka lebih dalam. Ia tahu bahwa Raka adalah seorang yang idealis, pekerja keras, dan sangat peduli terhadap detail. Ia juga tahu bahwa Raka memiliki mimpi besar untuk menciptakan teknologi yang bisa memberikan dampak positif bagi orang banyak.
Begitu pula dengan Raka. Ia melihat Maya sebagai sosok yang cerdas, analitis, dan memiliki intuisi yang tajam. Ia kagum dengan kemampuan Maya dalam mengolah data dan mengubahnya menjadi informasi yang berguna. Ia juga menyukai selera humor Maya yang unik dan kemampuannya untuk menertawakan diri sendiri.
Setelah beberapa bulan bekerja keras, akhirnya aplikasi mereka selesai. Mereka menamainya “Rumus Cinta 40” – merujuk pada usia harapan hidup ideal untuk sebuah hubungan yang bahagia.
“Oke, saatnya uji coba,” kata Raka, gugup. “Kamu duluan yang coba.”
Maya mengangguk. Ia mengisi profilnya dengan jujur, mulai dari minat, hobi, hingga preferensi film dan musik. Ia bahkan memasukkan data dari akun media sosialnya agar algoritma bisa menganalisis lebih dalam.
Setelah beberapa saat, aplikasi itu menampilkan beberapa profil. Maya terkejut. Profil-profil yang ditampilkan sangat berbeda dengan profil yang ia lihat di aplikasi kencan lainnya. Kali ini, ia melihat wajah-wajah yang tampak tulus, memiliki minat yang relevan dengannya, dan bahkan ada beberapa kutipan buku favoritnya di bio mereka.
“Gila, ini beneran beda,” gumam Maya, takjub.
Ia kemudian melihat satu profil yang membuatnya terpaku. Profil itu menampilkan foto Raka. Di bio-nya tertulis: “Mencari partner diskusi tentang algoritma, kopi, dan arti kehidupan.”
Maya tertawa kecil. Ia tahu bahwa ini adalah ulah Raka.
“Raka, kamu curang!” serunya, menatap Raka di layar laptop.
Raka tersenyum malu. “Nggak curang kok. Algoritmanya sendiri yang merekomendasikan aku ke kamu.”
Maya terdiam sejenak. Ia tahu bahwa Raka sedang bercanda, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat jantungnya berdebar kencang.
“Jadi… apa kamu mau match sama aku?” tanya Raka, dengan nada yang lebih serius.
Maya tersenyum lebar. “Tentu saja aku mau.”
Di hari berikutnya, Maya dan Raka mengumumkan proyek mereka kepada tim di kantor. Aplikasi “Rumus Cinta 40” mendapat sambutan yang luar biasa. Banyak yang tertarik untuk mencoba, bahkan beberapa investor menawarkan pendanaan.
Tapi, bagi Maya, yang paling penting adalah ia telah menemukan rumus cinta yang sebenarnya. Bukan rumus algoritma yang rumit, tapi rumus sederhana yang terdiri dari kepercayaan, pengertian, dan kerja sama. Ia menemukan bahwa kadang, algoritma memang bisa lebih mengerti isi hati, tapi pada akhirnya, hati yang memilih. Dan hatinya memilih Raka.