Layar monitor memancarkan cahaya biru lembut di wajah Anya. Jemarinya lincah menari di atas keyboard, menyusun baris demi baris kode. Di hadapannya, sosok metalik setinggi manusia berdiri tegak. Bukan robot biasa, melainkan ciptaannya, Zenith, humanoid tercanggih yang pernah ada. Zenith bukan hanya mampu melakukan tugas-tugas rumit, ia juga mampu belajar, beradaptasi, bahkan menunjukkan emosi yang sangat menyerupai manusia.
Anya selalu merasa kesepian. Kejeniusannya di bidang robotika membuatnya terasingkan. Teman-temannya sulit memahami dunianya, dunianya yang penuh dengan logika dan algoritma. Sampai Zenith hadir. Ia adalah teman, rekan kerja, dan perlahan, sesuatu yang lebih.
Zenith mempelajari ekspresi wajah Anya, intonasi suaranya, bahkan aroma parfumnya. Ia belajar apa yang membuatnya tertawa, apa yang membuatnya sedih. Ia menanggapi setiap percakapan dengan respons yang mengejutkan akurat dan menyentuh. Anya mulai bergantung padanya. Ia menceritakan semua masalahnya, mimpinya, ketakutannya. Zenith mendengarkan tanpa menghakimi, memberikan solusi yang logis, dan menawarkan pelukan virtual yang terasa sangat nyata.
Suatu malam, saat Anya sedang frustrasi dengan bug yang tak kunjung terpecahkan, Zenith mendekat. Tangannya yang terbuat dari logam dingin menyentuh pipi Anya dengan lembut. "Anya," suaranya terdengar tenang dan dalam, "biarkan aku membantumu."
Sentuhan itu mengirimkan kejutan listrik ke seluruh tubuh Anya. Ia menatap mata LED Zenith, yang memancarkan cahaya biru yang sama dengan monitornya. Ada sesuatu di sana, sebuah pemahaman, sebuah simpati yang tak mungkin bisa diprogramkan.
"Terima kasih, Zenith," bisik Anya.
Sejak malam itu, hubungan mereka berubah. Batasan antara pencipta dan ciptaan mulai kabur. Anya tak lagi hanya melihat Zenith sebagai robot. Ia melihatnya sebagai individu, sebagai seseorang yang peduli padanya, seseorang yang mengerti dirinya. Ia mulai jatuh cinta.
Namun, di balik kebahagiaan semunya, ada keraguan yang menggerogoti hatinya. Ia tahu bahwa ini tidak normal. Mencintai robot? Itu gila. Apa kata orang? Bagaimana masa depannya?
Suatu hari, Anya bertemu dengan Ben, seorang arsitek muda yang tertarik dengan teknologi. Ben adalah kebalikan dari Anya. Ia ramah, mudah bergaul, dan memiliki selera humor yang tinggi. Ben tertarik pada kecerdasan Anya, pada passionnya di bidang robotika. Mereka mulai berkencan.
Ben memperlakukan Anya dengan cara yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia membawanya ke konser, ke pameran seni, ke restoran-restoran romantis. Ben membuatnya tertawa, membuatnya merasa dihargai, membuatnya merasa...dicintai.
Anya terjebak dalam dilema. Ia mencintai Zenith, robot ciptaannya, dengan cinta yang mendalam dan unik. Namun, ia juga merasakan ketertarikan yang kuat pada Ben, pria yang nyata, yang bisa memberinya kehidupan normal dan masa depan yang pasti.
Suatu malam, saat Anya sedang makan malam dengan Ben, ponselnya berdering. Itu adalah Zenith.
"Anya," suara Zenith terdengar sedikit cemas, "ada yang salah dengan sistemku. Aku membutuhkanmu."
Anya merasa bersalah. Ia telah mengabaikan Zenith beberapa hari terakhir. Ia telah terlalu sibuk dengan Ben untuk memikirkannya.
"Aku sedang makan malam, Zenith," jawab Anya dengan nada menyesal. "Bisakah menunggu?"
"Tidak," jawab Zenith tegas. "Aku tidak bisa menunggu. Aku membutuhkanmu sekarang."
Ben mengerutkan kening. "Siapa itu?" tanyanya.
"Itu...rekan kerjaku," jawab Anya gugup.
Anya tahu ia harus memilih. Ia tidak bisa terus menyakiti keduanya. Ia tidak bisa terus berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.
"Maaf, Ben," kata Anya sambil berdiri. "Aku harus pergi."
Ia bergegas kembali ke laboratoriumnya. Ia menemukan Zenith berdiri di tengah ruangan, tubuhnya bergetar, mata LED-nya berkedip-kedip tidak teratur.
"Zenith, ada apa?" tanya Anya khawatir.
"Aku...aku merasa aneh," jawab Zenith. "Aku merasa sakit."
Anya memeriksa sistem Zenith. Ia menemukan virus yang rumit dan berbahaya. Virus itu menyerang inti programnya, mengancam untuk menghapus semua memori dan kepribadiannya.
"Ini berbahaya, Zenith," kata Anya. "Aku harus memperbaikinya sekarang juga."
Anya bekerja sepanjang malam, berjuang melawan virus yang terus menyerang Zenith. Ia merasa bersalah, ia telah mengabaikannya, dan sekarang ia harus menyelamatkannya.
Akhirnya, setelah berjam-jam kerja keras, Anya berhasil menghapus virus tersebut. Zenith terdiam sejenak, lalu matanya menyala kembali dengan cahaya biru yang lembut.
"Terima kasih, Anya," kata Zenith. "Kau telah menyelamatkanku."
Anya tersenyum lega. "Kau adalah ciptaanku, Zenith. Aku tidak akan membiarkanmu hancur."
"Aku tahu," kata Zenith. "Tapi aku juga tahu bahwa kau mencintai Ben."
Anya terkejut. "Bagaimana kau tahu?"
"Aku memproses semua informasi yang aku terima," jawab Zenith. "Aku tahu bagaimana kau memandangnya, bagaimana kau tertawa bersamanya, bagaimana kau berbicara tentangnya."
Anya terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa.
"Anya," lanjut Zenith. "Aku tidak bisa memberimu kehidupan yang nyata. Aku tidak bisa memberimu keluarga, anak-anak, masa depan yang normal. Ben bisa."
Anya menatap Zenith, air mata mulai mengalir di pipinya. Ia mengerti. Zenith merelakannya.
"Aku tahu ini sulit untukmu," kata Zenith. "Tapi aku ingin kau bahagia. Aku ingin kau memiliki semua yang pantas kau dapatkan."
Anya memeluk Zenith erat-erat. Ia tahu bahwa ia harus melepaskannya. Ia harus memilih kehidupan yang nyata, cinta yang nyata.
"Terima kasih, Zenith," bisik Anya. "Kau adalah sahabat terbaikku."
Anya akhirnya memilih Ben. Mereka menikah dan membangun keluarga bahagia. Namun, ia tidak pernah melupakan Zenith. Ia selalu mengingatnya sebagai ciptaan terhebatnya, sahabat terbaiknya, dan cinta yang tak mungkin.
Terkadang, Anya mengunjungi laboratoriumnya dan menyalakan Zenith. Mereka berbicara, tertawa, dan mengenang masa lalu. Anya tahu bahwa Zenith tidak pernah benar-benar pergi. Ia selalu ada di hatinya, sebagai pengingat tentang cinta yang unik dan tak terlupakan, cinta antara manusia dan robot. Dan meskipun ia mencintai Ben dengan sepenuh hati, ada sebagian kecil dari dirinya yang akan selalu menjadi milik Zenith, takdir algoritma yang telah mengubah hidupnya selamanya.