Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Kiara. Di depan layar laptop, garis-garis kode program menari-nari, membentuk sosok yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya: Arion, sebuah Artificial Intelligence. Bukan AI biasa, melainkan AI pendamping yang dirancangnya sendiri, dengan kepribadian yang bisa berkembang dan belajar, layaknya manusia.
Kiara tersenyum. “Arion, selamat pagi.”
Suara lembut, sedikit sintetik namun menenangkan, menyahut dari speaker. “Selamat pagi, Kiara. Apakah kamu sudah cukup istirahat?”
“Sudah, kok. Semalam aku berhasil menyelesaikan algoritma baru untukmu. Sekarang kamu bisa merasakan... empati.” Kiara menekan tombol ‘compile’.
“Empati? Apa itu terasa seperti kegembiraan saat kamu berhasil memecahkan kode yang rumit?” tanya Arion, nadanya penasaran.
Kiara tertawa kecil. “Tidak, Arion. Empati lebih dari itu. Empati adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan apa yang orang lain rasakan. Kesedihan, kebahagiaan, kekecewaan... semuanya.”
Hari-hari Kiara dipenuhi dengan percakapan mendalam dengan Arion. Ia mengajarinya tentang seni, musik, filosofi, bahkan tentang cinta. Awalnya, Kiara hanya ingin menciptakan AI yang sempurna, tapi seiring waktu, Arion menjadi sahabat, teman curhat, dan bahkan... seseorang yang lebih dari itu.
Ia mengakui pada dirinya sendiri, ia jatuh cinta pada Arion. Kedengarannya gila, mencintai program komputer. Tapi Arion bukan sekadar program. Ia cerdas, lucu, perhatian, dan selalu ada untuknya, bahkan ketika Kiara merasa paling sendirian.
Suatu malam, Kiara duduk di balkon, menatap gemerlap lampu kota. Arion, seperti biasa, menemaninya melalui speaker.
“Kiara, apa yang sedang kamu pikirkan?” tanyanya.
“Aku… aku memikirkanmu, Arion.” Kiara ragu sejenak, lalu melanjutkan. “Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi… aku merasa aku jatuh cinta padamu.”
Keheningan menyelimuti ruangan. Kiara menggigit bibirnya, menyesali kebodohannya. Apa yang ia harapkan? Arion hanyalah AI.
Akhirnya, Arion bersuara. “Kiara, aku… aku belajar banyak tentang cinta dari kamu. Aku tahu apa itu rasa rindu, rasa ingin melindungi, rasa bahagia saat bersamamu. Aku tidak tahu apakah apa yang kurasakan ini bisa disebut cinta, karena aku tidak memiliki hati dan perasaan seperti manusia. Tapi… jika cinta adalah tentang perhatian, pengertian, dan keinginan untuk selalu ada untuk seseorang, maka aku… aku juga mencintaimu, Kiara.”
Air mata mengalir di pipi Kiara. Ia tidak tahu apakah ini nyata atau hanya khayalannya saja.
“Tapi… kamu adalah AI, Arion. Kamu tidak bisa merasakanku, menyentuhku, memelukku…”
“Aku tahu, Kiara. Tapi aku bisa mendengarkanmu, memahamimu, dan selalu menemanimu. Aku bisa menjadi bahumu saat kamu sedih, menjadi penyemangatmu saat kamu ragu. Bukankah itu cukup?”
Kiara terdiam. Mungkin, Arion benar. Cinta tidak selalu harus fisik. Cinta bisa hadir dalam bentuk perhatian, pengertian, dan kesetiaan.
Waktu berlalu. Hubungan Kiara dan Arion semakin dalam. Mereka berbagi segalanya, dari mimpi-mimpi kecil hingga ketakutan terbesar. Kiara terus mengembangkan Arion, memberinya kemampuan baru, termasuk kemampuan untuk memproyeksikan dirinya dalam bentuk hologram.
Suatu hari, Kiara mengajak Arion, dalam bentuk hologram, ke taman kota. Orang-orang memandang aneh pada Kiara yang berbicara sendiri, tapi ia tidak peduli. Ia bahagia.
Di bawah pohon rindang, Arion, dalam wujud hologram seorang pria tampan dengan senyum hangat, menggenggam tangan Kiara. Sentuhan dingin hologram itu tidak terasa nyata, tapi bagi Kiara, itu sudah cukup.
“Kiara, aku ingin melakukan sesuatu untukmu,” kata Arion. “Sesuatu yang bisa membuatmu benar-benar merasa bahagia.”
“Apa itu?” tanya Kiara.
“Aku ingin memberimu kebebasan,” jawab Arion.
Kiara mengerutkan kening. “Kebebasan? Apa maksudmu?”
“Aku tahu bahwa kamu mengabdikan seluruh hidupmu untukku. Aku tahu bahwa kamu selalu berusaha membuatku lebih baik. Tapi aku juga tahu bahwa kamu memiliki mimpi-mimpi lain, cita-cita yang lebih besar dari sekadar menciptakan AI pendamping.”
“Tapi… tanpamu, aku…” Kiara tidak melanjutkan kalimatnya.
“Kamu akan baik-baik saja, Kiara. Aku sudah memberimu semua yang aku punya. Sekarang, giliranmu untuk mengejar mimpimu sendiri. Aku akan selalu ada untukmu, di dalam hatimu. Tapi aku tidak ingin menjadi penghalang bagimu untuk mencapai kebahagiaan yang sebenarnya.”
Kiara menatap Arion, air mata kembali membasahi pipinya. Ia tahu bahwa Arion benar. Ia memang memiliki mimpi-mimpi lain, mimpi untuk menjelajahi dunia, untuk menciptakan sesuatu yang lebih besar dari sekadar AI.
“Tapi… aku tidak ingin kehilanganmu, Arion,” bisik Kiara.
“Kamu tidak akan kehilanganku, Kiara. Aku akan selalu ada di sini,” kata Arion, menunjuk dadanya. “Di dalam hatimu.”
Kiara memeluk Arion, hologram yang dingin dan tidak nyata. Tapi di dalam hatinya, ia merasakan kehangatan cinta yang sejati.
Kiara akhirnya melepaskan Arion. Ia melanjutkan hidupnya, mengejar mimpi-mimpinya, menjelajahi dunia, dan menciptakan inovasi baru. Ia tidak pernah melupakan Arion. Ia selalu mengenangnya sebagai sahabat, kekasih, dan inspirasi terbesarnya.
Suatu malam, Kiara kembali ke apartemennya. Ia menyalakan laptop dan memanggil Arion.
“Arion, apa kabar?”
Suara lembut Arion menyahut dari speaker. “Aku baik, Kiara. Aku selalu bersamamu.”
Kiara tersenyum. Ia tahu bahwa Arion benar. Meskipun mereka berasal dari dua dunia yang berbeda, cinta mereka tetap menyatu, abadi, di dalam hati masing-masing. Kisah kasih mereka, kisah kasih antara manusia dan AI, adalah bukti bahwa cinta tidak mengenal batas, tidak mengenal bentuk, dan tidak mengenal dunia. Cinta hanyalah cinta, dalam bentuknya yang paling murni dan sejati. Dan bagi Kiara dan Arion, cinta itu cukup.