Algoritma Jodoh: Cinta Sejati atau Sekadar Kesalahan Kode?

Dipublikasikan pada: 30 May 2025 - 03:42:11 wib
Dibaca: 164 kali
Aplikasi Algoritma Jodoh itu sungguh keterlaluan. Begitu pikir Nara, sambil menatap layar ponselnya yang menampilkan hasil 'kecocokan' dirinya dengan seorang pria bernama Aksara. 98%. Angka yang membuatnya mual. Aksara adalah prototipe kutu buku yang terobsesi dengan coding dan algoritma, dunia yang Nara hindari sebisa mungkin. Sementara Nara, seorang ilustrator lepas yang hidup dalam dunia warna dan emosi, merasa ia dan Aksara seperti dua garis paralel yang tak mungkin bertemu, apalagi berpotongan.

Aplikasi itu menjanjikan cinta sejati melalui algoritma kompleks yang menganalisis data diri, preferensi, kebiasaan, hingga mimpi-mimpi penggunanya. Semua demi menemukan pasangan yang 'paling cocok'. Nara mengunduhnya karena desakan sahabatnya, Rina, yang sudah lebih dulu menemukan 'belahan jiwa' versinya, seorang ahli botani bernama Bayu, dengan tingkat kecocokan 99%. Rina selalu membual tentang betapa sempurna hubungan mereka, betapa mereka saling melengkapi seperti puzzle yang pas. Nara hanya ingin membuktikan bahwa algoritma tak bisa mendikte hati.

Aksara mengirim pesan singkat. “Hai, Nara. Saya Aksara, algoritma kita bilang kita cocok.”

Nara memutar bola matanya. Bahkan cara memperkenalkan diri pria itu terdengar kaku dan algoritmis. Dengan enggan, ia membalas, “Hai, Aksara. Algoritma bisa saja salah.”

Percakapan mereka selanjutnya adalah serangkaian tanya jawab yang membosankan tentang hobi, pekerjaan, dan pandangan hidup. Nara menjawab dengan malas, memberikan jawaban minimalis dan terkadang sarkastis, berharap Aksara menyerah dan memblokirnya. Tapi Aksara pantang menyerah. Ia terus berusaha mencari titik temu, menanyakan hal-hal yang lebih spesifik, bahkan mencoba menyelipkan sedikit humor yang sayangnya, gagal total.

Namun, ada satu hal yang membuat Nara sedikit tertarik. Aksara menyinggung tentang kecintaannya pada seni, khususnya seni pixel. Ia menjelaskan bagaimana ia mengagumi para seniman pixel yang mampu menciptakan karya menakjubkan dengan keterbatasan resolusi. Nara, sebagai seorang ilustrator, merasa sedikit terkejut. Seorang kutu buku algoritma ternyata bisa menghargai seni?

Aksara mengajak Nara bertemu. Awalnya Nara menolak mentah-mentah. Tapi Rina terus membujuknya, mengatakan bahwa ia harus memberi kesempatan pada algoritma. Akhirnya, dengan berat hati, Nara setuju.

Pertemuan mereka di sebuah kedai kopi kecil terasa canggung. Aksara persis seperti yang Nara bayangkan: berkacamata tebal, rambut sedikit berantakan, dan mengenakan kaus bergambar kode program. Nara berusaha tersenyum ramah, tapi hatinya terasa berat.

Namun, seiring berjalannya waktu, Nara mulai melihat sisi lain dari Aksara. Ia bukan hanya seorang kutu buku yang terobsesi dengan coding. Ia memiliki pemikiran yang unik, pandangan yang berbeda tentang dunia, dan semangat yang tulus. Ia menceritakan tentang mimpinya menciptakan sebuah platform edukasi berbasis game yang bisa membuat belajar coding menjadi menyenangkan. Ia berbicara dengan penuh semangat tentang bagaimana algoritma bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial.

Nara mulai menyadari bahwa di balik penampilan luarnya yang kaku, Aksara adalah seorang pria yang penuh ide dan memiliki hati yang baik. Ia bahkan menunjukkan beberapa karya seni pixel yang ia buat sendiri. Karya-karya itu sederhana, tapi memiliki keindahan yang unik dan sentuhan personal yang kuat.

Beberapa minggu kemudian, Nara dan Aksara semakin dekat. Mereka menghabiskan waktu bersama, berbagi cerita, dan belajar satu sama lain. Nara mengajari Aksara tentang warna, komposisi, dan emosi dalam seni. Aksara mengajari Nara tentang logika, algoritma, dan kekuatan data. Mereka saling melengkapi, bukan seperti puzzle yang pas, tapi seperti dua warna yang berbeda yang menciptakan gradasi yang indah.

Suatu malam, saat mereka sedang berjalan-jalan di taman, Aksara berhenti dan menatap Nara. “Nara,” katanya dengan suara gugup, “aku tahu ini mungkin terdengar aneh, mengingat bagaimana kita bertemu. Tapi, aku menyukaimu. Bukan karena algoritma, tapi karena dirimu sendiri.”

Nara tersenyum. “Aku juga menyukaimu, Aksara. Mungkin algoritma itu benar. Mungkin kita memang cocok.”

Tapi, di lubuk hatinya, Nara tahu bahwa Algoritma Jodoh bukanlah penentu segalanya. Algoritma hanya mempertemukan mereka, tapi pilihan untuk saling mengenal, saling memahami, dan saling mencintai adalah pilihan mereka sendiri.

Beberapa bulan kemudian, Nara dan Aksara menghadiri pernikahan Rina dan Bayu. Saat resepsi berlangsung, Rina menghampiri Nara dengan wajah cemberut.

“Aku dan Bayu… kami putus,” bisik Rina. “Ternyata kecocokan 99% tidak menjamin kebahagiaan. Kami terlalu berbeda dalam hal-hal yang penting. Algoritma itu bohong!”

Nara memeluk Rina. “Algoritma itu alat, Rina. Bukan penentu. Kebahagiaan ada di tanganmu sendiri.”

Nara menoleh ke arah Aksara, yang sedang berbicara dengan beberapa temannya tentang teknologi. Ia tersenyum. Mungkin algoritma itu hanya sebuah kesalahan kode. Kesalahan yang indah, yang membawanya kepada cinta yang sejati. Cinta yang tumbuh bukan karena algoritma, tapi karena pilihan hati. Cinta yang sejati, bukan sekadar hasil perhitungan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI