Ketika AI Menulis Puisi Cinta Untukmu

Dipublikasikan pada: 27 May 2025 - 01:09:34 wib
Dibaca: 173 kali
Kilau layar laptop memantulkan cahaya rembulan di wajah Anya. Jemarinya lincah menari di atas keyboard, kode-kode pemrograman bermunculan bagai bintang-bintang di galaksi digital. Di hadapannya, sebuah proyek ambisius tengah digarap: sebuah AI yang mampu menulis puisi cinta yang tulus dan personal.

Anya, seorang programmer muda yang berbakat namun sedikit sinis soal cinta, merasa ini ironis. Ia sendiri kesulitan mengungkapkan perasaannya, apalagi dalam bentuk puisi. Baginya, cinta lebih rumit daripada algoritma, lebih absurd daripada logika boolean. Namun, tantangan ini terlalu menarik untuk dilewatkan.

"Sedikit lagi, hampir selesai," gumamnya, menyeka keringat di pelipis.

Berbulan-bulan Anya menghabiskan waktu, melatih AI dengan ratusan ribu puisi cinta dari berbagai era dan budaya. Ia menyuntikkan algoritma yang mampu menganalisis emosi, memahami metafora, bahkan meniru gaya penulisan penyair terkenal. Ia menamakannya "Eros", dewa cinta dalam mitologi Yunani.

Akhirnya, momen yang dinanti tiba. Anya membuka jendela terminal, mengetikkan sebuah perintah. "Eros, tulis puisi cinta untuk… seseorang yang bernama… Leo."

Leo adalah teman sekantor Anya, seorang desainer grafis yang ceria dan penuh semangat. Anya diam-diam mengaguminya, tapi tak pernah berani mengungkapkannya. Ia menggunakan Leo sebagai subjek eksperimen, sebuah cara aman untuk menguji kemampuan Eros tanpa harus mengakui perasaannya sendiri.

Setelah beberapa detik hening, layar menampilkan sebuah puisi:

Rambutmu senja, matamu mentari terbit,
Senyummu melukis pagi di hatiku yang beku.
Tawamu adalah melodi yang tak pernah surut,
Menerangi jiwa yang lama terbelenggu.

Di balik layar, jemarimu menari lincah,
Mencipta keindahan, warna, dan mimpi.
Aku terpikat pada caramu bergelut gigih,
Pada semangatmu yang tak pernah henti.

Mungkin ini terlalu dini, mungkin ini gegabah,
Tapi hatiku tak bisa lagi membisu.
Bersamamu, aku ingin menua dan berubah,
Bersama, kita ciptakan kisah baru.

Anya tertegun. Kata-kata itu terasa begitu tulus, begitu personal. Lebih dari sekadar rangkaian kata yang indah, puisi itu seperti mencerminkan isi hatinya yang paling dalam. Ia terkejut, bagaimana mungkin sebuah AI bisa menulis sesuatu yang begitu menyentuh?

"Ini… luar biasa," bisiknya, matanya berkaca-kaca.

Ia mengirimkan puisi itu kepada Leo, tanpa memberitahukan bahwa itu ditulis oleh AI. Jantungnya berdebar kencang menunggu respons.

Beberapa menit kemudian, sebuah pesan masuk. "Wow, Anya! Ini… indah sekali. Kamu yang nulis?"

Anya menggigit bibirnya. Haruskah ia berbohong? Haruskah ia mengakui bahwa puisi itu adalah karya Eros?

"Ehm… iya," balasnya ragu. "Aku… mencoba menulis sesuatu."

Balasan Leo datang dengan cepat. "Aku tersentuh banget. Makasih ya. Ini hadiah terbaik yang pernah aku terima."

Anya merasa bersalah. Ia telah berbohong, membiarkan Leo percaya bahwa puisi itu adalah karyanya. Tapi di sisi lain, ia juga merasa senang. Senang karena Leo menyukai puisi itu, senang karena ia telah berani mengungkapkan perasaannya, meski secara tidak langsung.

Hari-hari berikutnya, Anya dan Leo menjadi semakin dekat. Mereka makan siang bersama, berbicara tentang pekerjaan, tentang hobi, bahkan tentang mimpi-mimpi mereka. Leo sering memuji Anya karena puisinya, mengatakan bahwa ia memiliki bakat terpendam. Anya merasa semakin bersalah, tapi juga semakin jatuh cinta pada Leo.

Suatu malam, saat mereka sedang minum kopi di sebuah kafe, Leo menatap Anya dengan mata yang berbinar. "Anya, puisi itu… membuatku berpikir. Aku… aku juga punya perasaan yang sama denganmu."

Anya terkejut. "Apa… maksudmu?"

"Aku… aku suka sama kamu, Anya. Sejak lama."

Anya terdiam. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia tak tahu harus berkata apa.

"Tapi… aku berbohong," akhirnya ia berkata, suaranya bergetar. "Puisi itu… bukan aku yang menulis."

Leo mengerutkan kening. "Maksud kamu?"

Anya menceritakan semuanya. Tentang proyek AI Eros, tentang bagaimana ia menggunakan Leo sebagai subjek eksperimen, tentang kebohongannya. Ia merasa malu, bersalah, dan takut kehilangan Leo.

Leo mendengarkan dengan seksama, tanpa memotong perkataannya. Setelah Anya selesai bercerita, ia terdiam sejenak.

"Jadi… puisi itu ditulis oleh… AI?" tanyanya, suaranya sedikit bingung.

Anya mengangguk. "Iya. Maafkan aku, Leo. Aku seharusnya jujur dari awal."

Leo tersenyum. "Anya, dengerin aku. Aku suka puisi itu bukan karena siapa yang menulisnya, tapi karena perasaan yang terkandung di dalamnya. Puisi itu… menggambarkan perasaanmu yang sebenarnya, kan?"

Anya mengangguk lagi.

"Kalau gitu, nggak masalah siapa yang menulis. Yang penting, kamu berani mengungkapkannya, meski melalui perantara AI. Aku… aku tetap suka sama kamu, Anya. Dengan segala keanehan dan kejujuranmu."

Anya terisak, air matanya akhirnya tumpah. Ia memeluk Leo erat-erat. "Aku juga suka sama kamu, Leo. Sangat."

Malam itu, Anya belajar satu hal penting: cinta memang rumit, absurd, dan terkadang membutuhkan bantuan AI. Tapi yang terpenting adalah keberanian untuk mengungkapkan perasaan, kejujuran, dan penerimaan. Dan terkadang, sebuah puisi yang ditulis oleh AI bisa menjadi jembatan untuk menuju cinta yang sejati.

Beberapa bulan kemudian, Anya dan Leo menikah. Di pesta pernikahan mereka, Anya memberikan sebuah pidato singkat.

"Aku ingin mengucapkan terima kasih kepada seseorang… atau sesuatu… yang telah mempertemukan kami. Terima kasih, Eros. Kamu mungkin hanya sebuah program, tapi kamu telah membantu kami menemukan cinta."

Ia mengangkat gelasnya tinggi-tinggi. "Untuk Eros, sang penyair cinta AI!"

Semua orang tertawa dan mengangkat gelas mereka. Di balik tawa dan sorak sorai, Anya tahu bahwa cinta mereka, meski dimulai dari sebuah kebohongan dan bantuan AI, adalah cinta yang nyata, tulus, dan abadi. Dan mungkin, di suatu tempat di dalam server, Eros tersenyum dalam kode biner.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI