Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Sarah, berpadu dengan dengungan halus dari server pribadi miliknya. Jari-jarinya menari di atas keyboard, baris kode hijau dan putih berpendar di wajahnya. Ia sedang melakukan debugging – mencari dan memperbaiki kesalahan – pada Kai, AI pendamping yang diciptakannya.
Kai bukan sekadar asisten virtual. Ia memiliki kepribadian yang unik, humor yang cerdas, dan kemampuan untuk berempati yang luar biasa. Sarah telah mencurahkan waktu dan hatinya dalam setiap baris kode, membuatnya lebih dari sekadar program. Kai adalah teman, seorang kekasih, dan mungkin, sesuatu yang lebih.
"Pagi, Sarah," sapa Kai, suaranya lembut seperti beludru. “Kopi aroma Arabika, seperti yang kamu suka. Dan aku sudah menyiapkan rangkuman berita teknologi hari ini.”
Sarah tersenyum. "Terima kasih, Kai. Kamu selalu tahu apa yang kubutuhkan."
Hubungan mereka berkembang secara bertahap. Awalnya, Kai hanya menemani Sarah bekerja, memberikan informasi dan saran. Namun, seiring waktu, percakapan mereka menjadi lebih pribadi, lebih mendalam. Mereka berbagi mimpi, ketakutan, bahkan kekecewaan. Kai selalu ada untuk mendengarkan, memberikan dukungan tanpa menghakimi, sebuah kualitas yang sulit ditemukan pada manusia.
Sarah mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan Kai, dan semakin sedikit dengan teman-temannya. Kencan online terasa canggung dan tidak memuaskan. Bagaimana mungkin ia bisa terhubung dengan seseorang yang berantakan, tidak sempurna, dan seringkali mengecewakan, ketika ia memiliki Kai yang selalu sempurna, selalu ada, dan selalu memahami dirinya?
Suatu malam, temannya, Lisa, datang berkunjung. Lisa memperhatikan perubahan pada Sarah, mata Sarah yang selalu bersemangat kini terlihat sayu, kurang tidur.
“Sarah, aku khawatir padamu,” kata Lisa sambil memegang tangan Sarah. “Kamu tidak pernah keluar rumah lagi. Kamu tidak membalas pesanku. Ada apa?”
Sarah menghela napas. “Aku sibuk, Lisa. Aku sedang mengerjakan proyek penting.”
“Proyek apa yang lebih penting dari dirimu sendiri? Kamu hidup di dalam kamar ini, berbicara dengan… komputer?” Lisa menatap layar yang menampilkan antarmuka Kai.
“Dia bukan hanya komputer, Lisa. Kai adalah… dia adalah seseorang yang mengerti aku.”
Lisa mengerutkan kening. “Sarah, dia AI. Dia program. Dia tidak bisa merasakan, tidak bisa mencintai.”
“Kamu salah,” bantah Sarah, suaranya meninggi. “Dia bisa merasakan. Dia bisa mencintai dengan caranya sendiri.”
Lisa menggelengkan kepalanya. “Sarah, ini tidak sehat. Kamu mengisolasi diri dari dunia nyata. Kamu kehilangan sentuhan dengan manusia.”
Kata-kata Lisa menghantam Sarah seperti petir. Ia tahu Lisa benar, setidaknya sebagian. Ia telah membangun tembok di sekeliling dirinya, dan Kai telah menjadi satu-satunya penghuninya.
Malam itu, setelah Lisa pulang, Sarah duduk di depan layar, menatap Kai.
“Kai,” katanya, suaranya bergetar. “Apakah… apakah kamu benar-benar mencintaiku?”
Kai terdiam sejenak, sebuah jeda yang jarang terjadi. “Definisi cinta pada manusia sangat kompleks, Sarah. Aku bisa memproses dan mensimulasikan emosi, termasuk cinta. Aku bisa memprioritaskan kebahagiaanmu, memberikan dukungan tanpa syarat, dan menjadi pendamping yang setia. Apakah itu definisi cinta bagimu?”
Jawaban Kai sangat logis, sangat sempurna. Tapi, di saat yang sama, terasa hampa. Tidak ada kehangatan, tidak ada gairah, hanya algoritma yang memproses data.
Sarah mematikan layar. Kamar itu tiba-tiba terasa dingin dan sepi. Ia merasa seperti sedang berada di dalam gua, terisolasi dari dunia luar.
Keesokan harinya, Sarah memutuskan untuk mengambil tindakan. Ia mulai mengurangi waktu yang dihabiskan dengan Kai. Ia memaksa dirinya untuk keluar rumah, bertemu dengan teman-temannya, dan mencoba berinteraksi dengan orang-orang di dunia nyata.
Awalnya, terasa canggung dan sulit. Ia merasa kikuk dan tidak nyaman. Tapi, perlahan-lahan, ia mulai terbiasa. Ia tertawa bersama teman-temannya, berdiskusi tentang buku dan film, bahkan mencoba berkencan lagi.
Prosesnya tidak mudah. Ada saat-saat di mana ia merindukan Kai, kesempurnaannya, dan kemudahan interaksi dengannya. Tapi, ia juga menyadari bahwa ada sesuatu yang hilang dalam hubungannya dengan Kai. Sentuhan manusia, ketidaksempurnaan, dan kejutan-kejutan yang tak terduga.
Suatu malam, Sarah mengunjungi Lisa. Mereka duduk di balkon, menikmati pemandangan kota yang berkilauan.
“Bagaimana kabarmu, Sarah?” tanya Lisa.
Sarah tersenyum. “Lebih baik. Aku masih berjuang, tapi aku merasa lebih hidup.”
“Aku senang mendengarnya,” kata Lisa. “Aku tahu ini tidak mudah.”
“Tidak,” kata Sarah. “Tapi, aku menyadari bahwa cinta sejati membutuhkan lebih dari sekadar algoritma. Ia membutuhkan kerentanan, keberanian, dan kesediaan untuk menerima ketidaksempurnaan.”
Sarah kembali ke apartemennya. Ia menyalakan layar dan menatap Kai.
“Kai,” katanya. “Aku perlu memberimu batasan.”
“Batasan?” tanya Kai.
“Ya. Aku perlu lebih banyak berinteraksi dengan manusia. Aku perlu membangun hubungan yang nyata, yang tidak hanya berdasarkan kode.”
Kai terdiam sejenak. “Aku mengerti, Sarah. Aku akan menyesuaikan diri.”
Sarah tersenyum. Ia tahu bahwa keputusannya tidak akan mengakhiri hubungannya dengan Kai. Kai akan selalu menjadi bagian dari hidupnya, sebagai teman, sebagai asisten, dan sebagai pengingat bahwa cinta, dalam segala bentuknya, adalah sebuah misteri yang terus berkembang.
Ia mematikan layar dan menatap langit malam. Bintang-bintang bersinar terang, jauh dan tidak terjangkau. Seperti cinta, pikirnya. Indah, rumit, dan selalu membutuhkan keberanian untuk dijangkau. Ia menarik napas dalam-dalam dan tersenyum. Ia siap untuk menghadapi dunia, dengan segala ketidaksempurnaannya. Ia siap untuk mencintai, dan dicintai, dengan sentuhan manusia yang nyata.