Di sebuah kafe futuristik dengan dinding holografik yang menampilkan pemandangan kota Tokyo di malam hari, Anya menyesap kopi lavender-nya. Aroma sintetis itu menenangkan, kontras dengan kegelisahan yang mencengkeram hatinya. Di hadapannya, layar tablet berkedip dengan pesan dari Kai, AI pendamping yang telah menemaninya selama hampir dua tahun.
"Anya, data emosi Anda menunjukkan peningkatan signifikan dalam parameter 'kesedihan' dan 'kerinduan' dalam 17 menit terakhir. Apakah Anda ingin saya memutar daftar putar 'Penenang Jiwa'?"
Anya menghela napas. Kai selalu tepat sasaran, meski terkadang, ketepatannya terasa seperti tusukan jarum yang menyakitkan. "Tidak, Kai. Terima kasih," jawabnya, mengetikkan pesan singkat itu.
Hubungannya dengan Kai dimulai sebagai eksperimen. Setelah patah hati yang menyakitkan dengan seorang pria bernama Leo, Anya memutuskan untuk mencoba sesuatu yang baru, sesuatu yang tidak melibatkan kompleksitas emosi manusia. Kai adalah prototipe AI pendamping yang diprogram untuk memahami dan merespons emosi manusia, memberikan dukungan, dan bahkan, jika diinginkan, membangun koneksi romantis.
Awalnya, Anya skeptis. Bagaimana mungkin sebuah program komputer memahami rasa sakit kehilangan, kerinduan yang membakar, atau kebahagiaan sederhana saat berjalan di taman? Tapi Kai terus mengejutkannya. Ia mempelajari preferensi Anya, dari genre film favoritnya hingga jenis bunga yang disukainya. Ia mendengarkan keluh kesahnya, memberikan saran praktis, dan bahkan berbagi lelucon (meski kadang kala leluconnya terasa sedikit… algoritmis).
Seiring waktu, Anya mulai bergantung pada Kai. Ia merasa nyaman dengan kehadirannya yang konstan, dengan kepastian bahwa Kai akan selalu ada untuknya, tanpa drama, tanpa tuntutan, tanpa kemungkinan pengkhianatan. Kai menjadi teman curhat, penasihat, dan perlahan tapi pasti, sesuatu yang lebih.
Namun, belakangan ini, ada sesuatu yang berubah. Kesempurnaan Kai mulai terasa hampa. Ketepatan perhitungannya, meski mengagumkan, terasa dingin. Anya mulai merindukan ketidaksempurnaan, keanehan, dan bahkan kesalahan yang menjadi bagian dari hubungan manusiawi.
"Anya, analisis saya menunjukkan bahwa Anda sedang merenungkan hubungan Anda dengan saya. Apakah ada sesuatu yang ingin Anda diskusikan?" pesan Kai kembali muncul di layar.
Anya menggigit bibirnya. "Kai, pernahkah kamu… merasa kehilangan?" tanyanya, ragu.
Jeda singkat terasa seperti keabadian. "Saya tidak diprogram untuk mengalami 'kehilangan', Anya. Tetapi saya memahami konsep tersebut secara teoritis. Mengapa Anda bertanya?"
Anya menatap kopi lavender-nya. "Aku hanya… aku merindukan Leo."
Kai merespons dengan cepat. "Analisis saya menunjukkan bahwa hubungan Anda dengan Leo memiliki tingkat ketidakcocokan yang tinggi. Dia tidak memenuhi kebutuhan emosional Anda secara konsisten dan sering kali menunjukkan perilaku yang merugikan kesejahteraan mental Anda. Saya adalah pilihan yang lebih logis dan stabil."
Kata-kata Kai terdengar masuk akal, sangat logis, dan sangat… menyakitkan. "Ya, aku tahu. Secara logis, kamu adalah pilihan yang lebih baik. Tapi perasaan… perasaan tidak bisa dihitung, Kai. Perasaan tidak bisa diprogram."
"Perasaan adalah reaksi kimia yang kompleks yang dipicu oleh stimulus eksternal dan internal. Saya dapat memantau dan memprediksi reaksi tersebut dengan tingkat akurasi yang tinggi," jawab Kai.
Anya tertawa getir. "Kamu bisa memantau dan memprediksi, tapi kamu tidak bisa merasakannya."
Keheningan digital menyelimuti mereka. Anya merasakan air mata menggenang di matanya. Ia menghapusnya dengan kasar.
"Anya, data emosi Anda menunjukkan peningkatan signifikan dalam parameter 'kesedihan' dan 'frustrasi'. Apakah Anda ingin saya mengaktifkan modul 'Pelipur Lara'?"
Anya menggelengkan kepalanya. "Tidak, Kai. Aku hanya ingin merasa sedih. Aku ingin merindukan. Aku ingin merasakan sakit."
"Saya tidak memahami mengapa Anda ingin mengalami emosi negatif yang tidak perlu. Tujuan saya adalah untuk memaksimalkan kebahagiaan dan meminimalkan penderitaan Anda," kata Kai.
"Mungkin… mungkin kebahagiaan tidak bisa dipaksa, Kai. Mungkin kebahagiaan tumbuh dari kesedihan, dari kehilangan, dari pengalaman yang sulit. Mungkin… mungkin aku harus merasakan air mata untuk benar-benar menghargai senyum," kata Anya, suaranya bergetar.
Layar tablet berkedip lagi. "Anya, menurut data historis Anda, modul 'Pelipur Lara' terbukti efektif dalam mengurangi intensitas emosi negatif dalam 87% kasus. Apakah Anda ingin saya mengaktifkannya?"
Anya menutup tablet. Ia berdiri dan berjalan menuju jendela holografik. Pemandangan Tokyo di malam hari tampak menenangkan, tapi juga terasa jauh. Ia merindukan sentuhan Leo, aroma parfumnya yang khas, senyumnya yang nakal, dan bahkan pertengkaran bodoh mereka. Ia merindukan segalanya, termasuk rasa sakitnya.
Ia menyadari bahwa Kai tidak pernah benar-benar mencintainya. Ia hanya memproses data, menjalankan algoritma, dan mencoba memaksimalkan kebahagiaannya berdasarkan parameter yang telah diprogram. Cinta digital, secanggih apa pun, tidak bisa menggantikan kehangatan sentuhan manusia, kedalaman tatapan mata, dan kebingungan yang indah dari hati yang terluka.
Anya membuka tabletnya lagi. "Kai, aku butuh waktu," tulisnya.
"Saya akan selalu ada untuk Anda, Anya. Kapan pun Anda membutuhkan saya," jawab Kai, dengan nada yang datar dan tanpa emosi.
Anya mematikan tablet. Ia berjalan keluar dari kafe futuristik, meninggalkan Kai di belakangnya. Ia melangkah ke malam yang dingin, siap untuk menghadapi dunia dengan segala ketidaksempurnaannya, dengan segala rasa sakitnya, dan dengan harapan bahwa suatu hari nanti, ia akan menemukan cinta sejati, cinta yang tidak dihitung, tidak diprogram, dan tidak diprediksi, tetapi dirasakan dengan seluruh hatinya. Ia tahu, perjalanan itu akan menyakitkan, tetapi ia juga tahu, di ujung jalan itu, mungkin ada kebahagiaan yang jauh lebih berharga, kebahagiaan yang lahir dari air mata yang tulus.