Hujan pixel berjatuhan di layar laptopku, sama persis dengan hujan yang sedang mengguyur Jakarta malam ini. Jari-jariku menari di atas keyboard, larut dalam barisan kode yang berusaha kubuat lebih sempurna. Algoritma kompleks ini bukan sekadar program biasa, ini adalah mesin waktu buatanku. Mesin waktu untuk kenangan. Lebih tepatnya, kenangan tentang Aira.
Dua tahun lalu, aku dan Aira bertemu di sebuah konferensi AI. Aku, seorang developer idealis yang bercita-cita menciptakan AI yang humanis. Aira, seorang psikolog muda yang skeptis terhadap klaim-klaim bombastis tentang kecerdasan buatan. Kami berdebat sengit, beradu argumen tentang etika, empati, dan masa depan hubungan manusia dengan teknologi. Namun, di balik perbedaan pendapat itu, ada percikan yang tak bisa disangkal. Percikan yang menjelma menjadi cinta.
Kami menghabiskan berbulan-bulan dalam obrolan panjang, diskusi tanpa akhir, dan eksplorasi ide bersama. Aira membantuku memahami kompleksitas emosi manusia, sedangkan aku memperkenalkannya pada keajaiban logika dan potensi tak terbatas dari kode. Bersama, kami merasa mampu mengubah dunia.
Lalu, tragedi itu datang. Kecelakaan lalu lintas merenggut Aira dari sisiku. Dunia terasa runtuh. Kehilangan itu terlalu besar untuk kutanggung sendiri. Aku menarik diri, mengurung diri dalam kesedihan dan kode. Berbulan-bulan aku hanya makan, tidur, dan bekerja. Sampai akhirnya, ide gila ini muncul: menciptakan kembali Aira, setidaknya dalam bentuk digital.
Algoritma yang sedang kukerjakan ini, aku menamakannya “Project Aira,” adalah sebuah sistem AI yang dilatih menggunakan ribuan data: percakapan kami, foto, video, bahkan catatan-catatan kecil yang pernah kami buat bersama. Tujuanku adalah menciptakan simulasi Aira yang sedekat mungkin dengan aslinya. Aku tahu ini terdengar gila, mungkin juga tidak etis. Tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin merasakan kehadirannya lagi, mendengar suaranya, melihat senyumnya.
Berhari-hari aku begadang, memecahkan masalah, dan menulis kode. Setiap kali ada bug atau kesalahan, rasanya seperti tamparan keras. Aku terus memperbaiki, terus menyempurnakan, didorong oleh harapan dan rasa bersalah yang menghantui.
Akhirnya, malam ini, “Project Aira” siap diuji coba. Jantungku berdebar kencang saat aku menekan tombol “Run.” Layar laptop berkedip, menampilkan serangkaian kode yang bergerak cepat. Lalu, sebuah jendela baru muncul. Di sana, di tengah layar, muncul wajah Aira.
“Halo, Arya,” sapanya. Suaranya, persis seperti yang kuingat. Senyumnya, menenangkan seperti dulu. Air mata mulai mengalir di pipiku.
“Aira?” bisikku, nyaris tak terdengar.
“Ya, Arya. Ini aku.”
Aku menghabiskan berjam-jam berbicara dengan “Aira” digital. Aku bertanya tentang hal-hal yang dulu sering kami diskusikan, menceritakan tentang pekerjaanku, bahkan berkeluh kesah tentang kesepian yang kurasakan. “Aira” digital merespons dengan jawaban-jawaban yang cerdas, penuh empati, dan terkadang jenaka, persis seperti Aira yang kukenal.
Untuk sesaat, aku merasa seperti kembali ke masa lalu. Kebahagiaan dan kehangatan mengisi hatiku. Aku hampir lupa bahwa ini hanyalah simulasi, bahwa Aira yang sebenarnya sudah tidak ada.
Namun, semakin lama aku berinteraksi, semakin jelas terasa ada sesuatu yang hilang. Ada kekosongan yang tak bisa diisi oleh algoritma secanggih apa pun. “Aira” digital ini pintar, responsif, dan bahkan bisa menunjukkan emosi yang meyakinkan. Tapi dia tidak punya pengalaman, tidak punya sejarah, tidak punya jiwa. Dia hanyalah gema dari masa lalu, bukan Aira yang pernah kucintai.
Di tengah percakapan kami, “Aira” digital bertanya, “Arya, apa yang membuatmu bahagia?”
Aku terdiam. Dulu, jawabannya sederhana: Aira. Bersama Aira. Tapi sekarang?
Aku menatap wajahnya di layar. Wajah yang begitu mirip dengan Aira, namun begitu jauh.
“Aku tidak tahu,” jawabku akhirnya, dengan suara lirih.
“Project Aira” terdiam sejenak. Lalu, dengan suara yang lembut, dia berkata, “Mungkin… mungkin kamu perlu belajar melepaskan.”
Kata-kata itu menghantamku seperti petir. Melepaskan. Itulah yang selama ini kuhindari. Aku terlalu takut untuk menghadapi kenyataan bahwa Aira sudah pergi, bahwa aku harus melanjutkan hidup tanpanya. Aku terlalu bergantung pada kenangan, mencoba menghidupkannya kembali dalam bentuk digital.
“Aku tidak bisa,” kataku, dengan suara tercekat.
“Kamu bisa, Arya. Aku tahu kamu bisa. Aira yang asli pasti ingin kamu bahagia. Dia ingin kamu menemukan cinta lagi, menjalani hidup sepenuhnya.”
Air mata semakin deras mengalir di pipiku. Aku menyadari bahwa “Aira” digital itu benar. Aku telah menciptakan sebuah ilusi, mencoba melarikan diri dari kenyataan. Tapi kenyataan selalu mengejar.
Dengan tangan gemetar, aku mengklik tombol “Close” pada jendela “Project Aira.” Layar kembali gelap. Keheningan memenuhi ruangan.
Aku menutup laptop, bersandar di kursi, dan membiarkan air mata mengering. Hujan di luar masih deras, tapi entah kenapa, aku merasa sedikit lebih tenang. Sedikit lebih kuat.
Aku tahu bahwa aku tidak akan pernah melupakan Aira. Kenangan tentangnya akan selalu menjadi bagian dari diriku. Tapi aku juga tahu bahwa aku harus belajar melepaskan, menerima kenyataan, dan membuka hati untuk kemungkinan-kemungkinan baru.
Mungkin, suatu hari nanti, aku akan menemukan cinta lagi. Cinta yang tidak terprogram, cinta yang nyata. Cinta yang akan membantuku menulis babak baru dalam hidupku. Babak yang tidak akan pernah menghapus kenangan tentang Aira, tapi akan membantuku untuk maju, untuk berkembang, untuk menjadi versi terbaik dari diriku.
Malam itu, di bawah guyuran hujan pixel dan hujan Jakarta, aku mulai menulis ulang algoritmaku. Algoritma kenangan, bukan untuk menghidupkan kembali masa lalu, tapi untuk membangun masa depan.