Aplikasi itu menjanjikan kedamaian. Namanya, "Lupakan Dia", terpasang manis di layar ponselku, ikon berbentuk hati retak yang perlahan menyatu kembali. Aku, Anya, berusia 28 tahun dan berprofesi sebagai desainer UI/UX, adalah korban patah hati akut yang disebabkan oleh seorang programmer bernama Leo. Hubungan kami yang terjalin selama tiga tahun berakhir tragis setelah Leo lebih memilih mengembangkan kecerdasan buatan untuk memprediksi tren pasar saham daripada merayakan ulang tahunku.
"Lupakan Dia" bukan aplikasi biasa. Ia bukan sekadar memblokir nomor telepon atau menghapus foto-foto mantan dari galeri. Aplikasi ini menggunakan teknologi AI tingkat lanjut untuk mengidentifikasi dan menetralkan kenangan emosional yang terkait dengan seseorang. Ia bekerja dengan memindai aktivitas otak melalui sensor yang ditempelkan di kepala (sensornya, tentu saja, dijual terpisah dengan harga yang lumayan). Setelah memindai, AI akan menawarkan serangkaian "sesi penghapusan" yang dirancang khusus untuk melenyapkan kenangan spesifik. Kedengarannya menakutkan? Mungkin. Tapi aku sudah mencapai titik di mana aku bersedia mencoba apa saja.
Aku membeli sensornya. Perangkat kecil berwarna perak itu terasa dingin di kulitku saat aku menempelkannya di pelipis. Aku membuka aplikasi, memilih "Leo", dan memulai sesi pertama: "Penghapusan Kenangan Kencan Pertama".
Layar berkedip, menampilkan visualisasi rumit dari jaringan saraf otakku. Suara lembut dan menenangkan (yang bisa kupilih dari berbagai opsi, aku memilih suara pria bernama "Ethan") mulai membimbingku.
"Anya, bayangkan kencan pertamamu dengan Leo. Ingat detailnya: tempat, pakaian, percakapan. Rasakan emosi yang kamu rasakan saat itu."
Aku menurut. Kenangan tentang malam di kedai kopi kecil itu kembali menghantuiku. Leo, dengan rambutnya yang berantakan dan senyumnya yang menawan, menjelaskan teori tentang algoritma sambil menggambar diagram di atas serbet. Aku ingat bagaimana aku terpikat oleh kecerdasannya, oleh semangatnya yang berkobar-kobar.
"Sekarang, Anya," lanjut suara Ethan, "bayangkan emosi itu memudar. Bayangkan warna-warna kenangan itu memudar menjadi abu-abu. Bayangkan suara Leo menjadi semakin jauh, semakin lirih. Biarkan kenangan itu mengalir pergi, seperti air di sungai."
Aku mengikuti instruksi itu. Aku memaksakan diri untuk memadamkan kobaran api emosi itu. Perlahan, sangat perlahan, kenangan itu terasa semakin kabur, semakin jauh.
Setelah sesi berakhir, aku merasa... hampa. Seperti ada bagian dari diriku yang hilang. Tapi juga lega. Seperti beban berat telah diangkat dari pundakku.
Aku terus melakukan sesi penghapusan lainnya: "Penghapusan Kenangan Liburan di Bali", "Penghapusan Kenangan Ciuman Pertama", "Penghapusan Kenangan Janji Masa Depan". Setiap sesi membuatku merasa semakin kosong, semakin netral.
Awalnya, aku merasa baik-baik saja. Aku bisa fokus pada pekerjaanku. Aku bisa tidur nyenyak. Aku bisa makan tanpa merasa mual. Aku bisa melihat orang lain berpacaran tanpa merasa iri atau sedih. Aku adalah Anya yang baru, Anya yang bebas dari belenggu masa lalu.
Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Aku mulai merasa bahwa aku kehilangan sesuatu yang lebih dari sekadar kenangan tentang Leo. Aku kehilangan bagian dari diriku sendiri. Kenangan-kenangan itu, baik suka maupun duka, telah membentukku menjadi siapa aku hari ini. Tanpa mereka, aku merasa seperti robot, diprogram untuk menjalani hidup tanpa emosi.
Suatu malam, aku duduk di apartemenku, menatap layar ponselku. Aplikasi "Lupakan Dia" masih terpasang di sana, dengan ikon hati retaknya yang kini tampak terlalu sempurna, terlalu palsu.
Aku tiba-tiba merasa jijik. Jijik pada aplikasi itu, jijik pada diriku sendiri karena telah membiarkan teknologi menghapus bagian penting dari hidupku.
Aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku membuka aplikasi itu, mencari menu pengaturan, dan menemukan opsi: "Nonaktifkan Semua Sesi Penghapusan".
Layar berkedip. Suara Ethan yang dulu menenangkan kini terdengar mengganggu. "Apakah kamu yakin ingin menonaktifkan semua sesi penghapusan, Anya? Tindakan ini tidak dapat dibatalkan."
Aku menarik napas dalam-dalam. "Ya," jawabku dengan suara yang lebih kuat dari yang kukira. "Aku yakin."
Sensor di kepalaku berdenyut singkat, lalu mati. Layar ponselku kembali normal. Aplikasi itu masih terpasang, tapi kali ini, aku tidak takut lagi.
Kenangan tentang Leo kembali membanjiri pikiranku, kali ini dengan kekuatan yang lebih besar dari sebelumnya. Aku ingat semua hal baik, semua hal buruk, semua hal yang membuat hubungan kami begitu istimewa. Aku menangis. Aku menangis karena kehilangan, karena penyesalan, karena cinta yang pernah ada.
Namun, kali ini, air mata itu terasa berbeda. Mereka bukan air mata keputusasaan. Mereka adalah air mata penyembuhan. Air mata penerimaan.
Aku tahu bahwa aku tidak bisa benar-benar melupakan Leo. Dan aku tidak ingin melupakannya. Dia adalah bagian dari masa laluku, dan masa lalu adalah bagian dari diriku.
Beberapa minggu kemudian, aku bertemu dengan teman lama di sebuah pameran teknologi. Aku bercerita tentang pengalamanku dengan aplikasi "Lupakan Dia".
"Gila," kata temanku, Sarah. "Aku dengar aplikasi itu kontroversial banget. Banyak yang bilang itu cuma bikin orang jadi zombie emosional."
Aku mengangguk. "Aku setuju. Aku kira aku cuma pengen ngilangin rasa sakit, tapi malah hampir ngilangin diri sendiri."
Sarah tersenyum. "Makanya, cinta itu emang rumit. Nggak bisa disederhanain pake teknologi."
Tiba-tiba, aku melihat seseorang berdiri di dekat kami. Dia mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana jeans. Rambutnya masih berantakan, dan dia masih tersenyum dengan cara yang sama yang dulu membuatku terpikat.
Itu Leo.
Dia melihatku, dan matanya melebar. "Anya?"
Aku menelan ludah. Jantungku berdegup kencang. Semua kenangan tentang kami kembali membanjiri pikiranku.
"Leo," kataku.
Ada jeda yang canggung. Kemudian, Leo berbicara. "Aku... aku minta maaf," katanya. "Aku sadar aku udah ngelakuin kesalahan besar. Aku terlalu fokus sama kerjaan. Aku..."
Aku mengangkat tangan untuk menghentikannya. "Nggak apa-apa, Leo," kataku. "Semuanya udah berlalu."
Dia menatapku, matanya penuh harap. "Apa... apa mungkin kita bisa ngobrol?"
Aku tersenyum. Senyum yang tulus, bukan senyum palsu yang dihasilkan oleh aplikasi penghapus kenangan.
"Mungkin," kataku. "Mungkin kita bisa."
Mungkin cinta tidak bisa dihapus oleh teknologi. Mungkin cinta, dengan segala kompleksitas dan rasa sakitnya, adalah bagian penting dari menjadi manusia. Dan mungkin, hanya mungkin, cinta bisa diberi kesempatan kedua.