Aroma kopi robusta yang menguar di kafe sudut kota itu seharusnya menenangkan. Namun, di hadapan Anya, gelisah justru menari-nari di nadinya. Ia menggenggam erat ponselnya, matanya menelisik setiap wajah yang melintas di depan jendela kaca. Lima menit lagi. Lima menit lagi ia akan bertemu dengan… dengan siapa?
Sejujurnya, ide ini gila. Kencan buta yang diatur oleh AI. Bukan sekadar aplikasi pencari jodoh biasa, melainkan "Athena," sebuah program revolusioner yang dikembangkan oleh temannya, Rio. Athena mengklaim mampu menganalisis jutaan data kepribadian, preferensi, bahkan gelombang otak, untuk menemukan pasangan yang paling kompatibel. Anya skeptis, tentu saja. Tapi Rio terus meyakinkannya, “Ayolah, Anya, percayalah pada Athena! Dia tahu apa yang kamu butuhkan.”
Dan di sinilah Anya, terjebak dalam eksperimen aneh ini. Ia selalu merasa kesulitan mencari pasangan. Ia sibuk dengan pekerjaannya sebagai desainer grafis lepas, dan kencan daring selalu terasa hambar, penuh dengan percakapan basi dan profil palsu. Mungkin… mungkin Athena bisa menjadi solusi.
Ponselnya berdering. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal: "Saya di sini. Meja dekat jendela, memakai jaket biru tua."
Jantung Anya berdegup kencang. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengedarkan pandangannya. Seorang pria berjaket biru tua melambai padanya. Ia tampan, dengan rambut cokelat yang sedikit berantakan dan senyum yang ramah. Anya berjalan menghampirinya, mencoba menyembunyikan kegugupannya di balik senyum sopan.
"Anya, ya?" sapanya dengan suara yang terdengar familiar, entah mengapa.
"Betul. Kamu… Liam?" Anya menjawab, sedikit ragu.
"Tepat sekali," Liam tertawa kecil. "Senang bertemu denganmu."
Mereka berjabat tangan. Sentuhan tangannya terasa hangat dan meyakinkan. Anya duduk di hadapannya. Suasana canggung beberapa saat menyelimuti mereka sebelum Liam memecahnya.
"Jadi," Liam memulai, "cerita kencan buta kita cukup unik, ya? Aku masih tidak percaya Rio benar-benar membuat ini menjadi kenyataan."
Anya tertawa. "Kamu juga kenal Rio?"
"Rio sahabatku sejak SMA. Dia selalu terobsesi dengan ide menemukan cinta sejati dengan algoritma. Aku pikir dia gila, tapi kurasa dia berhasil menjebak kita berdua," Liam terkekeh.
Percakapan mereka mengalir dengan lancar. Liam ternyata seorang arsitek yang idealis, bersemangat dengan pekerjaannya dan memiliki selera humor yang bagus. Mereka berbagi cerita tentang mimpi-mimpi mereka, kegagalan mereka, dan hal-hal kecil yang membuat mereka bahagia. Anya merasa nyaman, lebih nyaman daripada yang pernah ia rasakan saat kencan daring.
Mereka berbicara tentang buku, film, musik. Mereka berdebat ringan tentang arsitektur modern dan desain minimalis. Anya terkejut betapa banyak kesamaan yang mereka miliki. Rasanya seperti bertemu dengan teman lama yang baru ia temui kembali.
Namun, di sela-sela percakapan yang menyenangkan itu, benak Anya terusik. Apakah ini benar-benar nyata? Atau hanya simulasi yang dirancang oleh Athena? Apakah Liam benar-benar tertarik padanya, atau hanya merespons sesuai dengan algoritma yang diprogramkan?
Ia menatap Liam, mencoba mencari jawaban di matanya. Ia melihat ketulusan, humor, dan ketertarikan. Tapi bisakah ia benar-benar percaya pada apa yang dilihatnya?
"Kamu tahu," Anya berkata, "aku masih sedikit skeptis tentang semua ini. Aku merasa seperti sedang menjadi objek eksperimen."
Liam mengangguk mengerti. "Aku tahu. Aku juga merasa begitu pada awalnya. Tapi kemudian aku memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya dan hanya menikmati pertemuannya. Anggap saja ini sebagai kesempatan untuk bertemu dengan orang baru, tanpa ekspektasi berlebihan."
"Tapi bagaimana jika semua ini palsu? Bagaimana jika Athena hanya menciptakan ilusi kecocokan?" Anya bertanya, suaranya sedikit bergetar.
Liam meraih tangannya, menggenggamnya lembut. "Anya, kecocokan itu tidak hanya tentang data dan algoritma. Itu tentang perasaan, tentang koneksi yang kita rasakan. Jika kita tidak merasakan apa pun, maka Athena gagal. Tapi jika kita merasakan sesuatu, maka mungkin… mungkin ada sesuatu yang lebih dari sekadar algoritma di sini."
Sentuhan tangannya membuat Anya merasa tenang. Ia menatap matanya, mencari kejujuran. Ia melihatnya. Ia melihat harapan.
Mereka menghabiskan sore itu bersama, berjalan-jalan di taman kota, tertawa, dan berbagi cerita. Anya mulai melupakan keraguannya. Ia mulai menikmati momen itu, tanpa terlalu memikirkan logika dan algoritma.
Saat malam tiba, Liam mengantarnya pulang. Di depan apartemen Anya, mereka berdiri canggung sejenak.
"Aku… aku sangat menikmati hari ini," kata Anya, pipinya merona.
"Aku juga," jawab Liam, tersenyum. "Maukah kamu… maukah kamu pergi keluar denganku lagi?"
Anya tersenyum. "Aku mau."
Liam mendekat dan mencium pipinya. "Sampai jumpa, Anya."
"Sampai jumpa, Liam."
Anya masuk ke apartemennya, hatinya terasa ringan. Ia memandang pantulan dirinya di cermin. Apakah ia jatuh cinta? Mungkin terlalu dini untuk mengatakannya. Tapi ia merasa… tertarik. Ia merasa ada sesuatu yang spesial di antara mereka.
Ia membuka laptopnya dan membuka email. Ada pesan dari Rio.
"Bagaimana kencannya? Apakah Athena berhasil?"
Anya mengetik balasan singkat: "Lumayan. Tapi kurasa cinta tidak bisa direduksi menjadi sekadar algoritma."
Ia menutup laptopnya dan berbaring di tempat tidur. Ia memikirkan Liam, senyumnya, suaranya, sentuhan tangannya. Ia memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang ada di depan mereka.
Mungkin Athena memang membantu mempertemukan mereka. Tapi selanjutnya, semua tergantung pada mereka. Apakah mereka akan membangun sesuatu yang nyata, atau hanya terjebak dalam ilusi yang diciptakan oleh algoritma?
Anya tidak tahu jawabannya. Tapi ia bersedia mencari tahu. Ia bersedia memberikan kesempatan pada cinta, bahkan jika cinta itu dimulai dari kencan buta dengan AI. Karena pada akhirnya, cinta bukanlah tentang seberapa canggih teknologinya, tetapi tentang seberapa besar keberanian kita untuk membuka hati. Cinta adalah algoritma terkompleks dalam kehidupan manusia, dan tak peduli seberapa canggih sebuah program AI, ia takkan bisa menggantikannya.