Hujan deras di luar kafe membuat suasana terasa hangat dan intim. Di dalam, aroma kopi yang baru diseduh berpadu dengan desah pelan lagu jazz. Anya, dengan rambut cokelat yang terurai bebas dan mata yang biasanya berbinar, tampak lesu. Di hadapannya, layar laptop memancarkan cahaya biru pucat, menampilkan barisan kode yang tak kunjung selesai.
“Susah banget, Dan,” keluhnya, mengusap wajahnya yang lelah.
Di seberangnya, Daniel, sahabat Anya sejak kuliah, menyesap kopinya dengan tenang. Daniel adalah seorang programmer brilian, otak di balik beberapa aplikasi populer, termasuk 'Heartbeat', aplikasi kencan berbasis AI yang sedang Anya garap.
“Coding itu memang maraton, bukan sprint. Ceritakan dulu masalahnya,” jawab Daniel, nadanya menenangkan.
Anya menghela napas panjang. "Heartbeat ini seharusnya mempermudah orang menemukan pasangan yang cocok berdasarkan data dan algoritma. Tapi, kenapa justru terasa rumit dan... hambar?"
Heartbeat adalah ide Anya. Ia percaya, dengan data yang cukup dan algoritma yang tepat, cinta bisa dihitung, diprediksi, dan diarahkan. Ia ingin membebaskan orang dari patah hati, dari kencan-kencan yang sia-sia, dari harapan yang pupus. Daniel setuju membantu, terpikat oleh tantangan teknisnya.
“Algoritmanya sudah cukup kompleks. Aku menggunakan machine learning untuk menganalisis preferensi, pola komunikasi, bahkan ekspresi wajah dari foto. Tapi hasilnya…biasa saja. Tingkat keberhasilan match rendah, dan yang match pun banyak yang kandas,” Anya menjelaskan dengan frustrasi.
Daniel mengangguk-angguk. “Kau fokus pada data kuantitatif. Kau melupakan faktor X,” ujarnya.
“Faktor X? Maksudmu?” tanya Anya, mengerutkan kening.
“Emosi. Intuisi. Hal-hal yang tidak bisa diukur dengan angka. Cinta itu bukan persamaan matematika, Anya. Dia irasional, tidak terduga, dan seringkali…bodoh,” jawab Daniel, matanya memancarkan kilatan aneh.
Anya terdiam. Ia selama ini terlalu sibuk menyusun kode, menganalisis data, sehingga lupa bahwa cinta bukan hanya tentang logika. Ia teringat pada kencan terakhirnya, yang diatur oleh Heartbeat versi beta. Pria itu memenuhi semua kriterianya, secara statistik sempurna. Tapi, sepanjang malam, yang ia rasakan hanyalah kehampaan.
“Kau sendiri bagaimana, Dan? Bukankah kau juga single? Kau kan jenius, kenapa tidak memanfaatkan Heartbeat untuk dirimu sendiri?” tanya Anya, mencoba mengalihkan topik.
Daniel tersenyum pahit. “Aku…aku sudah menemukan seseorang. Tapi, Heartbeat tidak bisa membantuku.”
Anya terkejut. Selama ini, Daniel selalu tertutup soal kehidupan asmaranya. Ia selalu fokus pada pekerjaannya, tenggelam dalam dunia kode.
“Siapa? Siapa wanita beruntung itu?” tanya Anya, rasa ingin tahu bercampur sedikit kecemburuan menggerogoti hatinya.
Daniel terdiam sejenak, lalu menatap Anya dalam-dalam. “Dia…dia ada di dekatku selama ini. Aku selalu bisa mengandalkannya, menertawakan kebodohanku bersamanya, dan…merindukannya ketika dia tidak ada.”
Jantung Anya berdebar kencang. Ia merasa ada yang aneh di udara, semacam tegangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia mencoba membaca ekspresi Daniel, mencari petunjuk di balik senyumnya yang samar.
“Kau…maksudmu…?” tanya Anya, suaranya nyaris tak terdengar.
Daniel mengangguk pelan. “Ya, Anya. Aku…aku mencintaimu.”
Anya membeku. Kata-kata Daniel bagaikan petir di siang bolong. Ia tidak pernah menyangka, bahwa Daniel, sahabatnya yang setia, menyimpan perasaan sedalam ini padanya. Selama ini, ia terlalu buta untuk melihatnya.
“Tapi…tapi aku sibuk dengan Heartbeat. Aku pikir kau hanya…”
“Aku hanya sahabat? Ya, aku tahu. Aku membiarkan diriku terjebak dalam zona nyaman itu. Aku takut merusak persahabatan kita. Tapi, melihatmu terus mencari cinta di tempat yang salah, menggunakan algoritma yang gagal, membuatku tidak tahan lagi,” kata Daniel, suaranya penuh dengan ketulusan.
Anya terdiam, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia sadar, selama ini ia mencari cinta di tempat yang salah. Ia mencoba menghitung cinta, mengukur cinta, padahal cinta itu ada di dekatnya, dalam diri sahabatnya sendiri.
“Dan…aku…” Anya kesulitan menemukan kata-kata yang tepat.
Daniel meraih tangannya, jemarinya yang dingin menyentuh kulit Anya. “Kau tidak perlu mengatakan apa-apa. Aku tahu ini mengejutkan. Aku tidak memaksamu untuk membalas perasaanku. Aku hanya ingin kau tahu.”
Anya membalas genggaman Daniel. Kehangatan menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia menatap mata Daniel, melihat kejujuran, cinta, dan kerentanan di sana.
“Dan…aku…aku juga tidak tahu apa yang kurasakan. Tapi…aku ingin mencoba. Aku ingin belajar mencintaimu,” kata Anya, suaranya bergetar.
Daniel tersenyum lebar, senyum yang tulus dan memancar dari hatinya. “Benarkah? Kau tidak akan menyesalinya.”
Anya menggelengkan kepalanya. Ia merasa ada beban berat yang terangkat dari pundaknya. Ia melepaskan genggaman Daniel, lalu menutup laptopnya.
“Heartbeat bisa menunggu. Sekarang, aku ingin mengenalmu lebih jauh,” kata Anya, senyumnya merekah.
Hujan di luar kafe mulai mereda. Di dalam, dua insan yang selama ini terikat dalam persahabatan, kini memulai babak baru dalam hidup mereka. Mereka akan belajar mencintai, belajar memaafkan, dan belajar menerima kekurangan masing-masing. Mereka akan membangun cinta, bukan berdasarkan data dan algoritma, tapi berdasarkan emosi, intuisi, dan keberanian untuk membuka hati.
Mungkin, pada akhirnya, cinta memang tidak bisa dihitung. Tapi, cinta bisa ditemukan, bahkan di tempat yang paling tidak terduga. Dan terkadang, cinta sejati ada di dekat kita, menunggu untuk ditemukan, tersembunyi di balik kode-kode persahabatan dan algoritma patah hati.