Hembusan angin malam menyapu wajah Anya saat ia berdiri di balkon apartemennya, menatap gemerlap kota yang membentang di bawah. Di tangannya tergenggam erat ponsel, layarnya menampilkan baris kode yang rumit. Anya adalah seorang ahli bioinformatika muda, berbakat, dan… kesepian. Ia menciptakan “Project Heartbeat”, sebuah algoritma yang ia klaim mampu mendeteksi kecocokan biologis dan emosional antara dua orang, berdasarkan data genetik, pola pikir, dan preferensi pribadi.
Selama berbulan-bulan, Anya mencurahkan seluruh energinya ke dalam proyek ini. Ia memasukkan data ribuan relawan, menyempurnakan algoritma, dan memimpikan sebuah dunia di mana setiap orang bisa menemukan cinta sejati berdasarkan sains, bukan sekadar keberuntungan atau daya tarik fisik semata. Banyak yang mencibir, menyebutnya gila, obsesif, bahkan menyebutnya sedang bermain Tuhan. Tapi Anya tidak peduli. Ia yakin, ada logika tersembunyi di balik kekacauan yang disebut cinta.
Suatu malam, dengan jantung berdebar kencang, Anya memutuskan untuk memasukkan datanya sendiri ke dalam Project Heartbeat. Ia telah menunda-nunda momen ini, takut akan hasilnya. Ia takut algoritma itu akan menunjukkan bahwa ia tidak cocok dengan siapa pun. Setelah berjam-jam menganalisis, layar ponselnya akhirnya menampilkan sebuah nama: “Rayan Alamsyah.”
Anya tertegun. Rayan adalah rekan kerjanya di lab, seorang ahli robotika yang jenius tapi canggung. Mereka sering berdebat tentang teknologi, tentang masa depan, tentang segala hal. Anya selalu menganggap Rayan hanya sebagai teman, rekan kerja yang kompeten tapi tidak romantis. Namun, algoritma itu berkata lain. Skor kecocokan mereka mencapai 98%, angka yang luar biasa tinggi.
Rasa penasaran membakar Anya. Ia mulai memperhatikan Rayan lebih seksama. Ia melihat senyum malu-malu Rayan saat ia membantunya menyelesaikan masalah rumit. Ia mendengar tawa renyah Rayan saat mereka membahas film fiksi ilmiah favorit mereka. Ia menyadari, mungkin saja, ada sesuatu di antara mereka yang selama ini tidak ia sadari.
Beberapa hari kemudian, Anya memberanikan diri untuk mengajak Rayan makan malam. Ia tidak menjelaskan alasannya secara spesifik, hanya mengatakan bahwa ia ingin berbicara dengannya di luar lab. Rayan menyetujui dengan senang hati.
Saat makan malam, Anya merasa gugup dan bersemangat secara bersamaan. Ia mencoba untuk bersikap santai, tetapi pikirannya terus melayang pada algoritma Project Heartbeat. Apakah Rayan merasakan hal yang sama? Apakah mereka benar-benar ditakdirkan untuk bersama?
Di tengah obrolan, Anya memberanikan diri untuk bertanya tentang pandangan Rayan tentang cinta dan hubungan. Rayan tampak berpikir sejenak sebelum menjawab.
"Menurutku, cinta itu rumit," kata Rayan sambil mengaduk-aduk minumannya. "Tidak ada formula pasti untuk menemukannya. Tapi aku percaya, ada orang-orang di luar sana yang bisa membuat kita merasa lengkap, membuat kita merasa bahwa kita bisa menjadi diri kita yang sebenarnya."
Kata-kata Rayan membuat hati Anya berdesir. Ia merasa ada sesuatu yang tulus dalam diri Rayan, sesuatu yang tidak bisa diukur oleh algoritma mana pun.
Setelah makan malam, mereka berjalan-jalan di taman kota. Bintang-bintang bertaburan di langit, menciptakan suasana yang romantis. Anya merasa dorongan yang kuat untuk mengungkapkan perasaannya.
"Rayan," kata Anya, suaranya sedikit bergetar. "Aku… aku telah membuat sebuah algoritma yang mendeteksi kecocokan antara dua orang. Dan… dan hasilnya menunjukkan bahwa kita sangat cocok."
Rayan menatap Anya dengan ekspresi terkejut. "Algoritma? Maksudmu, kamu mencoba menjodohkan kita berdasarkan data?"
Anya merasa malu. Ia takut Rayan akan marah atau menganggapnya aneh. "Aku tahu kedengarannya gila," kata Anya dengan suara lirih. "Tapi aku benar-benar merasa ada sesuatu di antara kita. Aku hanya ingin mencari tahu apakah perasaanku ini nyata."
Rayan tersenyum lembut. "Anya," kata Rayan sambil meraih tangan Anya. "Aku juga merasakan sesuatu. Aku selalu merasa nyaman dan bahagia saat bersamamu. Aku tidak tahu tentang algoritma atau data-data itu, tapi yang aku tahu, aku menyukaimu."
Anya merasa lega dan bahagia. Air mata haru mulai mengalir di pipinya. "Benarkah?" tanya Anya dengan suara tercekat.
Rayan mengangguk. "Benar. Aku menyukaimu, Anya."
Mereka saling berpandangan, dan kemudian, tanpa ragu, mereka berciuman. Ciuman itu lembut, tulus, dan penuh dengan perasaan. Di bawah langit malam yang bertaburan bintang, Anya merasa bahwa ia telah menemukan cinta sejati, bukan hanya karena algoritma, tetapi juga karena perasaan yang ada di dalam hatinya.
Namun, perjalanan cinta mereka tidak berhenti di situ. Hubungan mereka diuji oleh berbagai tantangan, termasuk perbedaan pendapat, kesalahpahaman, dan keraguan. Anya mulai mempertanyakan validitas Project Heartbeat. Apakah algoritma itu benar-benar bisa memprediksi cinta sejati? Atau apakah cinta itu lebih dari sekadar data dan logika?
Suatu hari, Anya dan Rayan bertengkar hebat. Mereka berdebat tentang masa depan, tentang komitmen, tentang segala hal. Anya merasa frustrasi dan bingung. Ia merasa bahwa ia telah membuat kesalahan dengan mengandalkan algoritma untuk menemukan cinta.
Setelah pertengkaran itu, Anya memutuskan untuk menghapus Project Heartbeat. Ia menyadari bahwa cinta tidak bisa diprediksi, tidak bisa dikendalikan, dan tidak bisa didefinisikan oleh algoritma mana pun. Cinta adalah tentang mengambil risiko, tentang menerima kekurangan satu sama lain, dan tentang tumbuh bersama.
Anya menemui Rayan dan meminta maaf atas kesalahannya. Ia mengatakan bahwa ia tidak akan lagi mengandalkan algoritma untuk menentukan hubungan mereka. Rayan memaafkan Anya dan mengatakan bahwa ia juga telah belajar banyak dari pengalaman ini.
"Anya," kata Rayan. "Aku mencintaimu, bukan karena algoritma, tapi karena dirimu sendiri. Aku mencintai kecerdasanmu, semangatmu, dan bahkan kekurangsempurnaanmu."
Anya tersenyum. Ia merasa lega dan bahagia. Ia tahu bahwa cinta mereka akan terus tumbuh dan berkembang, bukan karena detak jantung buatan, tetapi karena detak jantung yang tulus dari dalam diri mereka. Algoritma mungkin membantu mereka menemukan jalan satu sama lain, tapi cinta sejati mereka yang membara, bukan logika semata. Cinta adalah misteri yang indah, dan Anya dan Rayan siap untuk menjelajahinya bersama-sama. Mereka saling berjanji untuk selalu jujur, saling mendukung, dan saling mencintai, apapun yang terjadi. Karena pada akhirnya, cinta sejati adalah tentang pilihan, bukan tentang prediksi.