Jari Lintang menari di atas layar ponselnya, menelusuri profil-profil yang disodorkan oleh "SoulMateAI", aplikasi kencan yang menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan algoritma kompleks. Sudah tiga bulan ia mengandalkan aplikasi ini, menghabiskan waktu luangnya untuk menggeser ke kanan dan ke kiri, berharap menemukan percikan asmara yang selama ini ia dambakan. Tapi nihil. Pertemuan yang terjadi selalu berakhir dengan kekecewaan, entah karena perbedaan visi yang terlalu mencolok, obrolan yang membosankan, atau sekadar perasaan yang tidak sreg di hati.
Malam ini, SoulMateAI menjodohkannya dengan seorang pria bernama Arya. Profilnya menarik: fotografer lepas yang gemar mendaki gunung, penyuka kopi hitam, dan memiliki selera humor yang cerdas. Lintang, seorang arsitek lanskap yang juga menyukai alam dan petualangan, merasa ada harapan. Mereka bertukar pesan selama seminggu, obrolan mengalir deras, membahas mulai dari jenis lensa kamera favorit hingga filosofi hidup di puncak gunung. Arya terdengar begitu nyata, begitu tulus.
Kencan mereka diatur di sebuah kedai kopi kecil yang tersembunyi di sudut kota. Lintang memilih gaun berwarna biru laut, warna yang menurut Arya sangat cocok dengan matanya. Ia tiba lebih awal, jantungnya berdebar-debar gugup sekaligus bersemangat. Ketika seorang pria tinggi dengan rambut sedikit gondrong dan jaket denim memasuki kedai, Lintang yakin itu Arya.
“Arya?” sapanya ragu.
Pria itu tersenyum, sebuah senyum yang sama persis dengan yang ada di foto profilnya. “Lintang? Akhirnya ketemu juga.”
Malam itu terasa begitu ajaib. Obrolan mereka sehangat kopi yang mereka pesan. Arya menceritakan pengalamannya mendaki gunung di Nepal, menunjukkan foto-foto pemandangan yang menakjubkan. Lintang berbagi tentang proyek taman kota yang sedang ia kerjakan, mimpinya untuk menciptakan ruang hijau yang menenangkan bagi masyarakat. Mereka tertawa, saling mendengarkan, dan untuk pertama kalinya sejak lama, Lintang merasa diperhatikan dan dipahami.
“Kamu tahu, Lintang, aku merasa kita sudah saling kenal lama,” kata Arya, matanya menatap Lintang dengan intens. “SoulMateAI benar-benar akurat.”
Lintang tersipu. Ia merasakan hal yang sama. Apakah ini akhirnya? Apakah ia akhirnya menemukan cintanya?
Kencan itu berlanjut dengan beberapa pertemuan berikutnya. Arya selalu tampak sempurna. Ia selalu tahu apa yang harus dikatakan, bagaimana membuat Lintang tertawa, dan bagaimana membuatnya merasa istimewa. Mereka berencana untuk mendaki gunung bersama di akhir pekan. Lintang sangat bersemangat.
Namun, sebuah kejanggalan kecil mulai mengusik pikirannya. Suatu malam, ketika mereka sedang makan malam, Lintang bertanya tentang pameran foto Arya yang akan datang. Arya tampak sedikit gugup, lalu menjawab bahwa pameran itu ditunda karena masalah teknis. Minggu berikutnya, Lintang mencoba menghubungi Arya beberapa kali, tetapi pesannya hanya dibalas dengan singkat dan alasan yang tidak jelas.
Perasaan tidak enak mulai menyelimuti hati Lintang. Ia memutuskan untuk melakukan riset kecil. Ia mencari nama Arya di internet, mencoba menemukan portofolio fotonya, atau artikel tentang pendakiannya. Tapi tidak ada apa pun. Tidak ada jejak digital yang menunjukkan keberadaan Arya.
Kecurigaannya semakin menjadi-jadi. Ia menghubungi SoulMateAI, menanyakan tentang profil Arya. Respon yang ia terima membuatnya terpukul.
“Profil dengan nama Arya yang Anda maksud telah dihapus karena melanggar ketentuan layanan kami. Kami mendeteksi adanya aktivitas mencurigakan dan penggunaan foto profil yang tidak sah.”
Dunia Lintang terasa runtuh. Arya tidak nyata. Semua obrolan, semua pujian, semua rencana masa depan… semuanya palsu.
Dengan hati hancur, Lintang mendatangi kedai kopi tempat mereka pertama kali bertemu. Ia duduk di meja yang sama, memesan kopi yang sama, dan mencoba mencerna kenyataan pahit ini. Mengapa seseorang melakukan ini? Apa motifnya?
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Sebuah pesan dari nomor yang tidak dikenal.
“Lintang, aku tahu kamu pasti marah. Tapi aku ingin kamu tahu, aku tidak bermaksud menyakitimu.”
Jari Lintang gemetar saat membalas pesan itu. “Siapa kamu sebenarnya? Mengapa kamu melakukan ini?”
Beberapa saat kemudian, balasan datang. “Namaku sebenarnya bukan Arya. Aku… aku seorang programmer yang bekerja di SoulMateAI. Aku menciptakan profil ‘Arya’ sebagai bagian dari proyek penelitian. Tujuannya adalah untuk menguji efektivitas algoritma kami dalam menciptakan hubungan yang bermakna.”
Lintang terkejut. Jadi, ia hanyalah kelinci percobaan?
“Aku tahu ini tidak bisa dimaafkan,” lanjut pesan itu. “Tapi selama interaksi kita, aku… aku benar-benar jatuh cinta padamu. Semua yang aku katakan, semua yang aku rasakan, itu nyata. Hanya identitasku yang palsu.”
Air mata mulai membasahi pipi Lintang. Ia merasa dikhianati, dipermainkan, dan direndahkan. Ia tidak tahu harus percaya apa lagi.
“Aku tahu ini terlalu banyak untukmu,” pesan itu melanjutkan. “Aku tidak mengharapkan apa pun darimu. Aku hanya ingin kamu tahu yang sebenarnya.”
Lintang menutup ponselnya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia marah, sedih, dan bingung. Apakah ia bisa memaafkan orang ini? Apakah ia bisa mempercayai perasaannya sendiri lagi?
Ia bangkit dari kursinya dan berjalan keluar dari kedai kopi. Malam itu terasa dingin dan sunyi. Ia menatap langit yang bertaburan bintang, mencoba mencari jawaban. Ia telah mencari cinta melalui algoritma, dan yang ia temukan hanyalah kepalsuan. Tapi di balik kepalsuan itu, mungkinkah ada sedikit kebenaran? Hanya waktu yang akan menjawabnya. Sementara itu, ia harus belajar untuk mempercayai dirinya sendiri dan mengikuti kata hatinya, tanpa bergantung pada algoritma atau janji-janji manis yang terdengar terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan.