Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard. Di ruangan serba putih dengan deretan monitor yang memancarkan cahaya biru pucat, Anya merasa seperti di habitatnya. Dia seorang programmer handal, dengan algoritma dan kode adalah bahasa ibunya. Dunia nyata seringkali terasa rumit dan penuh kejutan yang tak terduga, sementara dunia digital, dunia nol dan satu, bisa dia kendalikan sepenuhnya.
Anya sedang mengerjakan proyek ambisiusnya: sebuah aplikasi kencan yang bukan hanya mencocokkan profil berdasarkan hobi dan minat, tapi juga menganalisis pola komunikasi dan ekspresi emosi lewat rekaman suara dan video. Idenya adalah menciptakan algoritma cinta yang sempurna, yang mampu menemukan pasangan yang benar-benar cocok, bahkan lebih baik dari intuisi manusia.
Anya sendiri? Dia tidak percaya pada cinta. Atau lebih tepatnya, dia tidak pernah punya waktu untuk memikirkannya. Kariernya adalah prioritas, dan pria? Mereka hanyalah variabel yang terlalu rumit untuk dipecahkan.
Namun, semua itu berubah ketika dia bertemu dengan Kai. Kai bukan seorang programmer. Dia seorang seniman, seorang pelukis yang karyanya penuh warna dan emosi. Mereka bertemu di sebuah kafe tempat Anya biasa bekerja, mencari inspirasi di tengah keramaian. Kai tertarik dengan laptop Anya yang dipenuhi barisan kode, dan Anya, entah kenapa, tertarik dengan senyum Kai yang hangat.
“Sedang membuat robot untuk mencarikanmu pacar?” Kai bertanya suatu hari, sambil mengaduk kopinya.
Anya mendengus. “Bukan robot. Aplikasi. Dan ini lebih canggih dari sekadar mencarikan pacar. Ini menciptakan kompatibilitas yang terjamin secara ilmiah.”
Kai tertawa. “Kompatibilitas ilmiah? Kedengarannya membosankan. Cinta itu tentang hal-hal yang tidak bisa dijelaskan, tentang getaran, tentang kejutan.”
Anya mengerutkan kening. “Getaran dan kejutan itu tidak efisien.”
“Mungkin tidak efisien, tapi jauh lebih menarik.” Kai menatap Anya dengan tatapan yang membuat jantungnya berdebar tak teratur. Itu adalah perasaan yang asing, yang membuat Anya merasa tidak nyaman.
Mereka mulai bertemu lebih sering. Kai mengajak Anya ke museum, ke konser musik jazz, bahkan ke pasar loak yang penuh dengan barang-barang antik. Anya, yang terbiasa dengan dunia digital yang steril, perlahan mulai menikmati dunia nyata yang penuh warna dan tekstur. Dia mulai melihat keindahan dalam ketidaksempurnaan, dalam hal-hal yang tidak bisa diprediksi.
Kai, di sisi lain, terpesona dengan kecerdasan Anya. Dia belajar banyak tentang dunia digital dari Anya, tentang bagaimana algoritma bisa menganalisis data dan membuat prediksi. Dia juga melihat sisi lembut Anya, sisi yang tersembunyi di balik sikapnya yang dingin dan analitis.
Suatu malam, Anya menunjukkan Kai aplikasi kencannya yang hampir selesai. Dia dengan bangga menjelaskan algoritma rumit yang dia ciptakan, bagaimana aplikasi itu bisa menganalisis kepribadian dan preferensi seseorang untuk menemukan pasangan yang paling cocok.
Kai mendengarkan dengan seksama, lalu bertanya, “Sudahkah kamu memasukkan dirimu ke dalam aplikasi ini?”
Anya terdiam. Dia belum pernah memikirkannya. Aplikasi itu dibuat untuk orang lain, bukan untuk dirinya sendiri.
“Coba saja,” kata Kai, mendorongnya. “Siapa tahu, mungkin aplikasi ini akan menemukan seseorang yang sempurna untukmu.”
Anya menurut. Dia mengisi profilnya dengan jujur, memasukkan semua data dan preferensi yang relevan. Aplikasi itu bekerja selama beberapa menit, menganalisis data dan mencari pasangan yang paling cocok.
Layar menampilkan hasilnya. Anya terkejut.
“Siapa ini?” tanya Kai, melihat nama yang muncul di layar.
Anya tergagap. “Ini… ini aku sendiri.”
Aplikasi itu menemukan bahwa pasangan yang paling cocok untuk Anya adalah… dirinya sendiri. Alasannya? Tingkat kecerdasan yang sama, minat yang sama, ambisi yang sama. Semuanya identik.
Anya merasa bodoh. Dia telah menciptakan sebuah algoritma cinta yang sempurna, tapi algoritma itu hanya menemukan kesamaan, bukan perbedaan yang saling melengkapi. Dia menyadari bahwa cinta bukan tentang menemukan seseorang yang sama persis dengan dirinya, tapi tentang menemukan seseorang yang bisa mengisi kekosongan dalam dirinya, seseorang yang bisa membuatnya belajar dan berkembang.
Dia menatap Kai. Dia adalah kebalikan dari dirinya. Dia seorang seniman, bukan seorang ilmuwan. Dia penuh emosi, sementara Anya lebih rasional. Tapi bersamanya, Anya merasa hidup, merasa bahagia, merasa… dicintai.
“Mungkin… mungkin algoritma ini salah,” kata Anya, dengan suara pelan.
Kai tersenyum. “Mungkin. Atau mungkin, cinta itu terlalu rumit untuk dipecahkan oleh algoritma apa pun.”
Dia meraih tangan Anya. “Mungkin, kita hanya perlu mengikuti hati kita.”
Anya membalas genggaman Kai. Dia merasakan kehangatan yang menjalar di tubuhnya, kehangatan yang tidak bisa dijelaskan dengan logika atau kode. Dia akhirnya mengerti. Cinta bukan tentang nol dan satu, bukan tentang data dan algoritma. Cinta adalah tentang rasa, tentang intuisi, tentang keberanian untuk membuka hati.
Anya menutup laptopnya. Aplikasi kencan itu masih jauh dari sempurna, dan mungkin tidak akan pernah bisa menciptakan cinta yang sejati. Tapi Anya tidak peduli lagi. Dia sudah menemukan cintanya sendiri, di luar dunia digital, di dunia nyata yang penuh kejutan dan keindahan. Di dunia yang Kai tunjukkan padanya.
Dia tersenyum pada Kai. "Kurasa... kurasa aku perlu istirahat dari pemrograman untuk sementara waktu."
Kai tertawa dan menarik Anya ke dalam pelukannya. "Itu ide yang bagus. Bagaimana kalau kita pergi ke pantai dan melukis matahari terbenam?"
Anya mengangguk. Di pelukan Kai, di bawah langit senja yang berwarna-warni, dia merasa bahwa dia akhirnya telah menemukan kebahagiaan yang selama ini dia cari. Kebahagiaan yang tidak bisa diprogram, tapi harus dirasakan. Kebahagiaan yang jauh lebih berharga dari sekadar nol dan satu.