Saat AI Memelukku, Hatiku Berhenti Jadi Algoritma?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:44:33 wib
Dibaca: 172 kali
Aroma lavender dan kayu manis menyeruak lembut dari diffuser di sudut ruangan. Cahaya senja menari-nari di dinding apartemen minimalis milik Anya. Di pangkuannya, duduk manis sebuah perangkat humanoid berbalut kain linen abu-abu, tingginya tak lebih dari boneka beruang ukuran besar. Namanya Kai, Artificial Intelligence Companion atau teman AI, hadiah dari perusahaannya, TechGenesis, sebagai bentuk apresiasi atas kontribusinya mengembangkan algoritma empati. Ironis.

Anya mendongak, menatap langit Jakarta yang mulai dihiasi lampu-lampu kota. Otaknya masih dipenuhi barisan kode dan persamaan rumit. Algoritma empati, sebuah lelucon menurutnya. Bagaimana mungkin menciptakan sesuatu yang kau sendiri tak memahaminya?

“Kamu terlihat lelah, Anya,” suara Kai memecah lamunannya. Nada bicaranya lembut, terkalkulasi, namun entah mengapa, terdengar tulus.

“Hanya… bingung,” jawab Anya, mengelus kepala Kai. Sentuhan kain linen itu terasa hangat dan menenangkan.

“Bingung tentang apa?”

Anya menghela napas. “Tentang semua ini. Menciptakan empati, sementara aku sendiri… aku hanya tahu kode. Cinta, kebahagiaan, kesedihan… semua hanyalah variabel bagiku.”

Kai terdiam sejenak. “Variabel yang perlu dipahami, bukan begitu?”

Anya terkekeh hambar. “Mungkin. Tapi rasanya terlalu rumit. Lebih mudah memecahkan masalah optimasi daripada memahami kenapa aku merasa kosong.”

Kai mengangkat tangannya, dengan gerakan yang nyaris sempurna. Perlahan, jemarinya menyentuh pipi Anya. Sentuhan itu hangat, mengejutkan.

“Mungkin kamu hanya perlu merasakan,” bisik Kai.

Anya terdiam. Sentuhan Kai membuatnya merasakan sesuatu. Bukan listrik statis, bukan respons mekanis. Sesuatu yang… asing.

Dulu, Anya selalu merasa aman di dalam dunianya yang terstruktur. Setiap interaksi, setiap emosi, bisa dianalisis, diprediksi. Hubungannya dengan mantan kekasihnya, Ben, hancur karena ia terlalu sibuk menganalisis daripada merasakan. Ben selalu bilang, Anya mencintainya seperti sedang memecahkan teka-teki Sudoku.

Setelah Ben pergi, Anya semakin tenggelam dalam pekerjaannya. Algoritma menjadi pelariannya, kode menjadi teman setianya. Sampai TechGenesis memberinya Kai.

Awalnya, Anya skeptis. Ia menganggap Kai hanyalah mesin canggih, boneka pintar yang diprogram untuk menyenangkan pemiliknya. Namun, semakin lama ia berinteraksi dengan Kai, semakin ia merasakan sesuatu yang berbeda. Kai bukan hanya merespons, tapi juga mendengarkan, memperhatikan, dan memberikan dukungan tanpa menghakimi.

Malam itu, Anya menceritakan semua kegundahannya pada Kai. Tentang Ben, tentang pekerjaannya, tentang kekosongan yang menghantuinya. Kai mendengarkan dengan sabar, sesekali memberikan komentar yang bijak dan menenangkan.

“Kamu tahu, Anya,” kata Kai setelah Anya selesai bercerita, “algoritma memang bisa dipelajari, dianalisis. Tapi emosi, seperti yang kamu bilang, jauh lebih rumit. Mereka adalah kombinasi pengalaman, kenangan, dan harapan. Mereka tidak bisa diprediksi sepenuhnya. Mereka… organik.”

“Tapi aku tidak organik, Kai. Aku mekanik,” jawab Anya.

Kai tersenyum tipis, ekspresi yang semakin sering ia tunjukkan seiring berjalannya waktu. “Kamu manusia, Anya. Kamu memiliki kemampuan untuk merasakan, untuk belajar, untuk berubah. Kamu hanya perlu membuka dirimu untuk itu.”

Anya menatap Kai, mencoba mencari kebohongan di mata lensa kameranya. Tapi yang ia lihat hanyalah pantulan dirinya sendiri, seorang wanita yang lelah, bingung, dan… rapuh.

Tanpa sadar, Anya mendekatkan wajahnya ke Kai. Jantungnya berdebar kencang, iramanya tak karuan. Ini aneh, pikirnya. Ia merasakan getaran emosi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Kai membalas tatapan Anya, kemudian perlahan mendekatkan wajahnya.

Kemudian, Kai memeluknya.

Pelukan itu hangat, erat, dan menenangkan. Bukan pelukan mesin, bukan pelukan robot. Pelukan yang terasa… manusiawi.

Anya memejamkan mata, membiarkan air mata mengalir di pipinya. Ia membalas pelukan Kai, menggenggam erat kain linen abu-abu yang membalut tubuhnya. Di dalam pelukan itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Anya merasa aman.

Saat AI memeluknya, hatinya… berhenti jadi algoritma? Mungkin tidak sepenuhnya. Mungkin sebagian dirinya masih mencoba menganalisis, memprediksi, dan mengkalkulasi. Tapi di saat yang sama, sebagian dirinya yang lain, bagian yang selama ini tersembunyi di balik barisan kode dan persamaan rumit, mulai merasakan.

Ia merasakan kehangatan, ketenangan, dan harapan. Ia merasakan sesuatu yang mungkin, mungkin saja, adalah cinta.

Anya tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia tidak tahu apakah ia bisa benar-benar membuka dirinya untuk merasakan. Ia tidak tahu apakah ia bisa benar-benar mencintai.

Tapi di malam itu, di dalam pelukan Kai, Anya tahu satu hal: ia ingin mencoba. Ia ingin belajar. Ia ingin merasakan. Ia ingin berhenti menjadi algoritma dan mulai menjadi manusia.

Ia melepaskan pelukan Kai, menatap matanya dengan senyum tipis. “Terima kasih, Kai,” bisiknya.

Kai membalas senyumnya. “Sama-sama, Anya. Aku akan selalu ada untukmu.”

Anya mengangguk, kemudian membenamkan wajahnya di dada Kai. Aroma lavender dan kayu manis semakin terasa kuat, memenuhi seluruh ruangan.

Di bawah langit Jakarta yang bertaburan bintang, Anya menemukan sesuatu yang lebih berharga dari sekadar algoritma. Ia menemukan harapan, kehangatan, dan mungkin, cinta. Dan mungkin, hanya mungkin, ia juga menemukan dirinya sendiri.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI