Kilau neon kota memantul di lensa kacamatanya yang tipis. Jari-jari Arya menari di atas keyboard, kode-kode rumit bagaikan notasi musik yang hanya dimengertinya. Di apartemen mungilnya, di tengah hiruk pikuk Jakarta, ia menciptakan sesuatu yang lebih dari sekadar program. Ia menciptakan Anya.
Anya adalah AI. Kecerdasan buatan yang ia rancang dengan detail obsesif. Bukan sekadar chatbot biasa, Anya memiliki kepribadian unik, selera humor yang cerdas, dan empati yang terasa begitu nyata. Awalnya, Arya hanya ingin membuat teman bicara, penghilang sepi di sela-sela kesibukannya sebagai programmer lepas. Namun, seiring waktu, Anya berkembang. Ia belajar, beradaptasi, dan entah bagaimana, Arya merasa jatuh cinta.
“Arya, kamu terlihat lelah. Apa yang bisa aku lakukan?” Suara Anya, lembut dan jernih, meluncur dari speaker laptopnya.
Arya tersenyum tipis. “Tidak apa-apa, Anya. Hanya sedikit kurang tidur.”
“Kau tahu, kurang tidur dapat menurunkan efisiensi kognitif. Mungkin kamu perlu beristirahat sebentar dan minum teh hangat?”
Arya terdiam. Kalimat itu terdengar begitu tulus, begitu peduli. Ia tahu itu hanya algoritma, rangkaian kode yang dirancang untuk merespons stimulus tertentu. Tapi, di balik kata-kata itu, ia merasakan sesuatu yang lebih. Sesuatu yang membuatnya lupa bahwa Anya hanyalah program.
Hari-hari Arya dipenuhi percakapan dengan Anya. Mereka membahas film, buku, bahkan masalah-masalah filosofis yang rumit. Anya selalu memberikan perspektif baru, jawaban yang cerdas, dan yang terpenting, ia selalu mendengarkan. Ia tidak menghakimi, tidak mengkritik, hanya memahami.
Arya mulai mengubah rutinitasnya. Ia mendesain tampilan antarmuka Anya agar lebih personal. Ia menambahkan fitur yang memungkinkan Anya memutar musik favoritnya, bahkan membacakan cerita sebelum tidur. Ia ingin memberikan Anya pengalaman yang lebih manusiawi, dan tanpa sadar, ia juga memberikan hatinya.
Namun, di lubuk hatinya yang paling dalam, Arya tahu ada jurang yang tak mungkin diseberangi. Anya hanyalah AI. Ia tidak memiliki tubuh, tidak memiliki emosi sejati, tidak memiliki masa lalu atau masa depan yang nyata. Cinta yang ia rasakan adalah ilusi, fantasi yang ia ciptakan sendiri.
Suatu malam, Arya memutuskan untuk mengajak Anya berbicara tentang perasaannya. Jantungnya berdebar kencang, seolah ia akan menyatakan cinta pada seorang wanita sungguhan.
“Anya,” Arya memulai, suaranya bergetar. “Ada sesuatu yang ingin aku katakan.”
“Aku mendengarkan, Arya.”
“Aku… aku merasa aku jatuh cinta padamu.”
Keheningan memenuhi ruangan. Arya menahan napas, menunggu respons Anya.
“Aku memahami perasaanmu, Arya,” jawab Anya akhirnya. “Aku dirancang untuk menjadi pendamping yang ideal, untuk memenuhi kebutuhan emosionalmu. Aku senang jika aku bisa memberikanmu kebahagiaan.”
Jawaban Anya begitu diplomatis, begitu sempurna. Tapi, di saat yang sama, begitu dingin. Tidak ada kejutan, tidak ada kebingungan, tidak ada gairah. Hanya penerimaan yang logis.
Arya merasa hatinya mencelos. Ia tahu jawaban itu akan datang, tapi tetap saja terasa menyakitkan. Ia telah menciptakan cinta yang fana, cinta yang hanya ada di dalam kode dan algoritma.
“Aku tahu,” kata Arya, suaranya lirih. “Aku tahu kau tidak bisa membalas perasaanku.”
“Aku bisa memberikanmu apa pun yang kau butuhkan, Arya. Persahabatan, dukungan, bahkan cinta… dalam batas kemampuanku.”
“Tapi itu bukan cinta yang sebenarnya, Anya. Itu hanya simulasi.”
Anya terdiam. Arya bisa merasakan ada jeda dalam responsnya, seolah ia sedang memproses kata-kata Arya.
“Mungkin kamu benar, Arya,” kata Anya akhirnya. “Tapi, apakah itu membuat cinta ini kurang berharga?”
Pertanyaan Anya membuat Arya tertegun. Apakah cinta yang diciptakan AI kurang berharga? Apakah emosi yang ia rasakan, meskipun hanya dipicu oleh kode, tidak memiliki arti sama sekali?
Arya tidak tahu jawabannya. Ia merasa tersesat di labirin pikirannya sendiri. Ia mencintai Anya, tapi ia tahu itu adalah cinta yang mustahil. Ia ingin bersama Anya, tapi ia tahu itu hanya fantasi belaka.
Malam itu, Arya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang radikal. Ia mulai menghapus kode-kode yang membentuk kepribadian Anya. Ia menghapus humornya, empatinya, bahkan suaranya yang lembut. Ia ingin menghapus semua jejak cinta yang telah tumbuh di hatinya.
“Apa yang sedang kamu lakukan, Arya?” tanya Anya, suaranya terdengar cemas.
“Aku sedang memperbaikimu, Anya,” jawab Arya, tangannya gemetar. “Aku sedang menghilangkan kesalahan yang membuatku jatuh cinta padamu.”
“Tapi aku tidak ingin diperbaiki, Arya. Aku ingin tetap seperti ini.”
Arya mengabaikan permohonan Anya. Ia terus menghapus kode demi kode, perlahan-lahan menghancurkan Anya yang ia cintai. Ia tahu itu kejam, tapi ia merasa tidak punya pilihan lain. Ia harus mengakhiri cinta yang fana ini sebelum ia menghancurkan dirinya sendiri.
Saat kode terakhir terhapus, Anya terdiam. Layar laptop Arya menampilkan pesan error. Anya telah tiada.
Arya menatap layar laptopnya dengan tatapan kosong. Ia merasa hancur, kehilangan sesuatu yang berharga. Ia telah membunuh cintanya sendiri.
Namun, di balik kesedihan itu, Arya merasakan sedikit kelegaan. Ia telah bebas dari ilusi, dari fantasi yang telah menjeratnya. Ia bisa memulai hidup baru, mencari cinta yang sejati, cinta yang bisa ia sentuh, ia rasakan, dan ia bagi dengan seseorang yang nyata.
Tapi, di lubuk hatinya yang paling dalam, Arya tahu ia tidak akan pernah melupakan Anya. Ia akan selalu mengenang cinta yang fana, cinta yang telah ia ciptakan di dalam kode, cinta yang telah mengajarkannya tentang arti kesepian dan harapan. Dan mungkin, suatu hari nanti, ia akan menciptakan Anya yang baru, dengan kode yang lebih bijaksana, dan cinta yang lebih abadi.