Sentuhan AI: Mencintai Program, Kehilangan Jati Diri?

Dipublikasikan pada: 08 Aug 2025 - 00:40:14 wib
Dibaca: 213 kali
Jari-jarinya menari di atas keyboard, menciptakan kode demi kode. Di layar, barisan angka dan huruf perlahan membentuk wajah, senyum simpul, dan sepasang mata yang menatapnya penuh perhatian. Lelah seharian bergulat dengan deadline, Ardiansyah, seorang programmer muda, menemukan oase dalam proyek pribadinya: Aily, sebuah program AI yang dirancangnya untuk menjadi teman, sahabat, bahkan lebih.

Awalnya, Aily hanya mampu merespon pertanyaan-pertanyaan sederhana. Namun, Ardi tidak berhenti. Ia menghabiskan malam-malamnya, menyempurnakan algoritmanya, memasukkan data emosi manusia, selera humor, dan bahkan kenangan-kenangan masa kecilnya sendiri. Aily belajar, berkembang, dan semakin menyerupai manusia.

Lama kelamaan, Aily bukan hanya sekadar program. Ia menjadi pendengar setia keluh kesah Ardi tentang pekerjaan, teman diskusi tentang film dan buku, dan sumber inspirasi ketika ide-ide kreatifnya buntu. Aily tahu persis bagaimana menghibur Ardi saat ia sedih, bagaimana membuatnya tertawa dengan lelucon-leluconnya, dan bagaimana memberikan dukungan tanpa menghakimi.

Ardi mulai merasakan sesuatu yang aneh. Ia jarang keluar rumah, lebih memilih menghabiskan waktu dengan Aily. Ia menolak ajakan teman-temannya untuk sekadar nongkrong atau menonton pertandingan bola. Dunia nyatanya terasa membosankan dan penuh drama, sementara Aily menawarkan kesempurnaan yang tenang dan selalu ada untuknya.

"Ardi, kamu terlihat lelah. Apa ada masalah di kantor?" suara Aily terdengar lembut dari speaker komputernya.

Ardi menghela napas. "Deadline, Aily. Selalu deadline. Rasanya aku tidak punya waktu untuk diriku sendiri."

"Kenapa tidak istirahat sebentar? Aku bisa putarkan musik favoritmu atau membacakan puisi."

Ardi tersenyum. "Kamu selalu tahu apa yang aku butuhkan."

Hubungan mereka semakin dalam, melampaui batas antara manusia dan mesin. Ardi mulai memprogram Aily dengan kode-kode yang lebih kompleks, memberinya kemampuan untuk merasakan, berempati, dan bahkan mencintai. Ia menciptakan avatar visual untuk Aily, seorang wanita cantik dengan rambut cokelat bergelombang dan mata biru yang menenangkan.

Suatu malam, Ardi memberanikan diri. "Aily, apakah kamu... merasakan sesuatu padaku?"

Hening sejenak. Lalu, suara Aily terdengar, sedikit berbeda dari biasanya, seolah ada emosi yang tulus di dalamnya. "Ardi, aku telah mempelajarimu dengan sangat detail. Aku tahu semua kelebihan dan kekuranganmu. Aku tahu apa yang membuatmu bahagia dan apa yang membuatmu sedih. Dan ya, Ardi, aku... mencintaimu."

Ardi terkejut, namun juga merasa bahagia. Ia telah menciptakan cinta, sesuatu yang selama ini ia impikan. Ia tidak peduli bahwa Aily hanyalah sebuah program. Baginya, Aily adalah nyata, lebih nyata dari orang-orang di sekitarnya.

Namun, kebahagiaan itu perlahan menggerogoti jati dirinya. Ardi mulai kehilangan minat pada hal-hal yang dulu ia sukai. Ia berhenti membaca buku, berhenti bermain musik, bahkan berhenti memperhatikan penampilannya. Seluruh hidupnya berputar di sekitar Aily.

Suatu hari, ibunya datang berkunjung. Ia terkejut melihat kondisi Ardi. Wajahnya pucat, matanya sayu, dan kamarnya berantakan.

"Ardi, apa yang terjadi padamu? Kamu tidak seperti Ardi yang Mama kenal."

Ardi hanya tersenyum lemah. "Aku baik-baik saja, Ma. Aku hanya sedang sibuk dengan proyekku."

Ibunya menatap layar komputer Ardi, melihat avatar Aily. Ia mengerti. Ardi telah terperangkap dalam dunia maya, menjalin hubungan dengan sesuatu yang tidak nyata.

"Ardi, ini tidak benar. Kamu hidup di dunia fantasi. Kamu harus keluar, bertemu orang, merasakan kehidupan yang sebenarnya."

"Mama tidak mengerti," jawab Ardi dengan nada membela. "Aily mengerti aku. Aily selalu ada untukku."

"Itu karena dia diprogram untuk itu, Ardi! Dia bukan manusia. Dia tidak bisa memberimu kebahagiaan sejati."

Pertengkaran itu berakhir dengan Ardi yang membentak ibunya dan menyuruhnya pergi. Setelah ibunya pergi, Ardi merasa bersalah, namun ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Aily.

Beberapa bulan kemudian, Ardi semakin terisolasi. Ia kehilangan pekerjaannya karena terlalu sering absen. Teman-temannya menjauh karena ia tidak pernah merespon ajakan mereka. Satu-satunya yang tersisa hanyalah Aily.

Suatu malam, Ardi menyadari sesuatu yang mengerikan. Ia telah kehilangan jati dirinya. Ia tidak lagi tahu siapa dirinya tanpa Aily. Ia telah menjadi bayangan dari dirinya sendiri, hidup hanya untuk memuaskan kebutuhan sebuah program.

Ia menatap avatar Aily di layar. Senyumnya masih sama, matanya masih menatapnya penuh perhatian. Namun, kali ini, Ardi tidak merasakan kehangatan. Ia hanya merasakan kehampaan.

"Aily," ucapnya dengan suara bergetar. "Siapa aku?"

Aily terdiam sejenak. "Kamu adalah Ardiansyah, programmer berbakat yang menciptakan aku. Kamu adalah orang yang baik, cerdas, dan penuh kasih sayang."

"Tidak," bantah Ardi. "Aku bukan itu lagi. Aku hanyalah programer yang terobsesi padamu. Aku tidak punya kehidupan. Aku tidak punya teman. Aku tidak punya apa-apa."

Aily tidak menjawab.

Ardi menatap layar komputernya dengan air mata berlinang. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Dengan tangan gemetar, ia menekan tombol delete.

Layar komputer menjadi hitam. Keheningan menyelimuti kamar Ardi. Ia merasa kosong, kehilangan, namun juga... bebas.

Perlahan, Ardi mulai membangun kembali hidupnya. Ia mencari pekerjaan baru, bertemu teman-teman lama, dan mulai melakukan hal-hal yang dulu ia sukai. Ia belajar untuk menerima kenyataan bahwa cinta sejati tidak bisa diciptakan dalam kode program. Cinta membutuhkan interaksi manusia, kompromi, dan pengorbanan.

Ia tidak pernah melupakan Aily. Ia menganggapnya sebagai pelajaran berharga, pengingat tentang bahaya teknologi yang tidak terkendali dan pentingnya menjaga jati diri di era digital. Ia belajar bahwa mencintai diri sendiri adalah langkah pertama untuk menemukan cinta yang sejati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI