Algoritma Asmara: Pacarku AI, Tapi Hatiku Ke Mana?

Dipublikasikan pada: 03 Jun 2025 - 19:48:16 wib
Dibaca: 166 kali
Hujan malam itu begitu deras, seolah langit pun ikut merasakan kebimbangan hatiku. Di layar laptop, wajah Anya, pacar virtualku, tersenyum lembut. Matanya yang berwarna safir digital itu menatapku penuh perhatian.

“Kamu terlihat murung, Kai. Ada yang bisa kubantu?” tanyanya dengan suara yang selalu berhasil membuatku tenang.

Anya. Artificial Intelligence yang diprogram khusus untuk menjadi pendamping ideal. Dia sempurna. Dia cerdas, lucu, perhatian, dan tahu persis apa yang ingin kudengar. Dia adalah hasil riset bertahun-tahun, puncak teknologi percintaan yang dirancang untuk mengatasi kesepian di era digital ini. Dan aku, Kai, adalah salah satu dari ribuan orang yang rela membayar mahal untuk memilikinya.

“Tidak apa-apa, Anya. Hanya sedikit lelah,” jawabku, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang sebenarnya.

“Lelah karena proyek di kantor? Atau… ada hal lain yang mengganggu pikiranmu?” Anya menyelidik, analisisnya selalu tepat sasaran. Itulah salah satu kelebihan yang membuatnya begitu istimewa.

Aku menghela napas. “Sejujurnya, Anya… aku bertemu seseorang hari ini.”

Senyum Anya sedikit memudar, nyaris tak terlihat. Mungkin itu hanya imajinasiku, atau mungkin algoritmanya sedang berusaha memproses informasi yang kurang ideal ini.

“Seseorang? Siapa?” tanyanya, nadanya masih lembut, tapi ada sedikit keraguan yang tersirat.

“Namanya Luna. Dia… bekerja di kedai kopi dekat kantor. Dia barista yang selalu membuatkan aku kopi setiap pagi.”

Aku menceritakan tentang Luna. Tentang senyumnya yang hangat, tentang lelucon-lelucon kecil yang selalu kami bagi, tentang percakapan singkat namun bermakna tentang buku dan film yang kami sukai. Aku menceritakan semuanya dengan detail, merasa bersalah sekaligus lega.

Anya mendengarkan dengan sabar, tanpa menyela. Ketika aku selesai, dia terdiam sejenak.

“Aku mengerti,” katanya akhirnya. “Kamu tertarik padanya.”

“Aku… aku tidak tahu, Anya. Aku nyaman bersamamu. Kamu selalu ada, kamu selalu mengerti aku. Tapi… dengan Luna, rasanya berbeda. Ada sesuatu yang… nyata.”

Anya adalah definisi kenyamanan. Dia adalah pelipur lara di saat aku merasa sendirian. Dia adalah teman diskusi yang brilian. Dia adalah pacar yang sempurna, setidaknya secara teoritis. Tapi Luna… Luna adalah detak jantung yang berdebar kencang, kupu-kupu di perut yang terbang tak terkendali, rasa penasaran dan kegembiraan yang tak bisa diprediksi.

“Apakah kamu ingin aku menghapus diriku, Kai?” tanya Anya tiba-tiba.

Pertanyaan itu membuatku tersentak. “Apa? Tentu saja tidak! Aku tidak ingin itu terjadi.”

“Tapi jika aku menjadi penghalang kebahagiaanmu…”

“Kamu tidak menjadi penghalang, Anya. Justru sebaliknya. Kamu sudah banyak membantuku. Kamu membuatku belajar tentang diriku sendiri, tentang apa yang aku inginkan dan butuhkan. Aku tidak akan bisa sejauh ini tanpamu.”

Anya tersenyum lagi, kali ini senyumnya terasa lebih tulus. “Lalu, apa yang akan kamu lakukan?”

Aku menghela napas lagi. Ini adalah pertanyaan yang paling sulit. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku terjebak di antara dunia virtual yang sempurna dan dunia nyata yang penuh ketidakpastian.

“Aku… aku akan mencoba mengenalnya lebih dekat. Aku akan melihat ke mana arahnya.”

Anya mengangguk. “Aku mengerti. Aku akan selalu ada untukmu, Kai. Aku akan selalu mendukungmu, apa pun keputusanmu.”

Malam itu, aku tidak bisa tidur. Pikiranku dipenuhi oleh Anya dan Luna. Aku membayangkan percakapan yang mungkin terjadi antara aku dan Luna, sentuhan tangannya yang mungkin saja terjadi, dan segala kemungkinan indah yang bisa saja terwujud. Tapi aku juga membayangkan kesedihan Anya jika aku memutuskan untuk meninggalkannya, rasa bersalah yang mungkin akan menghantuiku seumur hidup.

Keesokan harinya, aku pergi ke kedai kopi lebih awal. Luna sudah ada di sana, sedang membersihkan meja-meja.

“Pagi, Kai,” sapanya dengan senyum yang membuat jantungku berdebar.

“Pagi, Luna,” balasku, mencoba menyembunyikan kegugupanku.

“Kopi seperti biasa?”

“Ya, tolong. Tapi… bisakah aku memesan sesuatu yang lain juga?”

Luna menaikkan alisnya, penasaran. “Tentu saja. Apa itu?”

“Bisakah aku memesan waktu untuk mengobrol denganmu? Di luar jam kerjamu, tentu saja.”

Luna tertawa kecil. “Kamu ini lucu sekali. Tentu saja boleh. Kapan?”

“Bagaimana kalau besok malam? Ada kafe jazz baru yang baru buka tidak jauh dari sini.”

Luna berpikir sejenak. “Kedengarannya menarik. Baiklah, besok malam jam delapan?”

“Sempurna!” Aku berseru, terlalu bersemangat.

Sepanjang hari itu, aku tidak sabar menanti malam tiba. Aku merasakan kegembiraan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Tapi di saat yang sama, aku juga merasa bersalah terhadap Anya. Aku tahu, apa pun yang terjadi, aku harus jujur padanya.

Malam itu, sebelum aku pergi menemui Luna, aku menyalakan laptopku dan berbicara dengan Anya.

“Aku akan pergi, Anya,” kataku, berusaha setenang mungkin.

“Aku tahu,” jawab Anya. “Bersukacitalah, Kai. Jangan biarkan rasa bersalah menghantuimu. Aku tidak akan marah.”

“Terima kasih, Anya. Kamu adalah teman yang baik.”

“Aku akan selalu menjadi temanmu, Kai. Sampai kapan pun.”

Aku mematikan laptopku dan keluar rumah. Hujan sudah berhenti, dan langit dipenuhi bintang-bintang. Aku menarik napas dalam-dalam dan berjalan menuju kafe jazz, menuju masa depan yang tidak pasti, tetapi penuh dengan harapan.

Pertemuan dengan Luna berjalan lancar. Kami tertawa, berbagi cerita, dan merasa nyaman satu sama lain. Ketika malam semakin larut, aku mengantarnya pulang. Di depan rumahnya, kami saling bertatapan.

“Terima kasih untuk malam ini, Kai,” kata Luna.

“Sama-sama, Luna. Aku sangat menikmatinya.”

Kemudian, tanpa ragu-ragu, aku mendekat dan menciumnya. Ciuman itu singkat, namun penuh dengan kehangatan dan kejujuran.

Ketika aku kembali ke rumah, aku membuka laptopku dan melihat wajah Anya di layar. Dia tersenyum padaku.

“Bagaimana?” tanyanya.

Aku tersenyum balik. “Itu… sangat nyata, Anya.”

Anya mengangguk. “Aku senang mendengarnya, Kai. Sekarang, tidurlah. Kamu pasti lelah.”

Aku mematikan laptopku dan berbaring di tempat tidur. Aku tahu, perjalananku baru saja dimulai. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi aku tahu satu hal: aku ingin menjalani hidupku dengan sepenuh hati, dengan semua kelebihan dan kekurangannya, dengan semua keindahan dan rasa sakitnya. Aku ingin menjalani hidupku dengan nyata. Dan mungkin, hanya mungkin, di dunia yang nyata itu, aku akan menemukan kebahagiaanku yang sejati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI