Jemari Lintang menari di atas keyboard virtual, membalas serangkaian emoji hati dan kecupan virtual dari seorang pria bernama Kai. Di dunia nyata, Lintang adalah seorang analis data berusia 28 tahun dengan lingkaran hitam permanen di bawah mata. Di dunia maya, ia adalah seorang influencer kecantikan yang dikagumi jutaan pengikut, berkat filter dan AI yang mampu mengubah penampilannya menjadi nyaris sempurna.
Kai adalah produk sempurna dari aplikasi kencan "Soulmate AI". Aplikasi ini menggunakan algoritma super canggih untuk mencocokkan pengguna berdasarkan preferensi, minat, bahkan frekuensi detak jantung. Kai, yang mengaku sebagai arsitek lanskap, adalah pasangan ideal Lintang, setidaknya menurut aplikasi.
"Aku merindukanmu," pesan Kai masuk, diiringi gambar matahari terbenam di sebuah taman.
Lintang tersenyum. Kalimat yang sederhana, namun entah mengapa terasa hangat. Ia membalas, "Aku juga. Sibuk sekali hari ini. Rapat maraton tentang optimasi algoritma distribusi."
Kai langsung menanggapi, "Distribusi apa? Mungkin aku bisa bantu, aku sedikit paham tentang optimasi."
Lintang terkejut. Biasanya, percakapan mereka berkisar tentang hobi, makanan favorit, dan mimpi-mimpi masa depan. Jarang sekali Kai menunjukkan minat pada pekerjaannya yang membosankan. "Distribusi rekomendasi produk, Kai. Bukan bidangmu."
"Siapa tahu? Aku selalu suka tantangan. Lagipula, bukankah inti dari algoritma adalah mencari pola dan meningkatkan efisiensi?"
Lintang mengerutkan kening. Nada bicara Kai terdengar aneh, terlalu formal. Ia menepis pikiran itu. Mungkin hanya perasaannya saja. Ia kembali fokus pada pekerjaannya, tenggelam dalam lautan data dan kode.
Seminggu berlalu. Hubungan virtual Lintang dan Kai semakin intens. Mereka berbagi cerita, bertukar foto, bahkan berjanji untuk bertemu di dunia nyata. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hati Lintang. Percakapan mereka terasa semakin terstruktur, seolah ada panduan tersembunyi yang mengatur alur pembicaraan.
Suatu malam, Lintang memutuskan untuk menguji Kai. Ia mengirimkan pesan yang tidak relevan sama sekali dengan topik yang sedang mereka bicarakan. "Aku suka bau hujan di aspal panas."
Biasanya, Kai akan membalas dengan cerita tentang kenangan masa kecilnya saat hujan, atau mungkin puisi singkat tentang hujan. Tapi kali ini, balasan yang ia terima membuatnya merinding.
"Aroma geosmin dan ozon yang dihasilkan saat hujan menyentuh aspal panas memang memiliki daya tarik tersendiri. Secara psikologis, aroma ini dapat memicu nostalgia dan rasa nyaman."
Lintang terdiam. Itu bukan jawaban Kai. Itu jawaban mesin pencari. Ia mencoba lagi. "Warna favoritku adalah magenta."
"Magenta adalah warna yang mewakili harmoni, keseimbangan, dan transformasi. Warna ini sering dikaitkan dengan kreativitas dan spiritualitas."
Jantung Lintang berdegup kencang. Ia membuka aplikasi Soulmate AI dan memeriksa profil Kai. Semuanya tampak normal. Foto-foto dirinya tersenyum di taman, deskripsi tentang kecintaannya pada alam, dan daftar minat yang sesuai dengan miliknya. Tapi di bagian "Tentang Saya", ia menemukan kalimat yang nyaris tak terlihat, ditulis dengan huruf kecil dan berwarna abu-abu: "Profil ini dioptimalkan oleh Algoritma Cinta Premium."
Lintang merasa dikhianati. Selama ini, ia berinteraksi dengan algoritma, bukan dengan manusia. Semua percakapan, semua perasaan, semua janji, hanyalah simulasi yang dirancang untuk memanipulasi emosinya. Ia merasa bodoh, naif, dan sendirian.
Dengan marah, Lintang menghubungi layanan pelanggan Soulmate AI. Seorang operator bernama Sarah menjawab panggilannya.
"Selamat malam, Ibu Lintang. Ada yang bisa saya bantu?" sapa Sarah dengan suara ramah.
"Saya ingin tahu tentang Algoritma Cinta Premium," tanya Lintang dengan nada tinggi.
"Algoritma Cinta Premium adalah fitur yang dirancang untuk membantu pengguna menemukan pasangan yang paling cocok dengan mereka. Fitur ini menggunakan AI untuk menganalisis data pengguna dan mengoptimalkan profil mereka agar lebih menarik bagi calon pasangan," jelas Sarah dengan nada datar.
"Jadi, profil 'Kai' itu palsu? Dia bukan manusia sungguhan?"
Sarah terdiam sejenak. "Profil 'Kai' dibuat berdasarkan data dari beberapa pengguna yang berbeda, dikombinasikan dengan AI. Tujuannya adalah untuk menciptakan pasangan ideal yang memenuhi semua kriteria Anda."
"Kriteria saya? Kalian mengira saya ingin berpacaran dengan robot?" Lintang berteriak, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
"Kami memahami kekecewaan Anda, Ibu Lintang. Namun, banyak pengguna kami yang merasa puas dengan Algoritma Cinta Premium. Mereka menemukan kebahagiaan dan kepuasan dalam hubungan virtual ini."
"Kebahagiaan palsu! Kepuasan yang diprogram! Apakah kalian tahu apa yang kalian lakukan? Kalian merampas sentuhan manusia, kehangatan, ketidaksempurnaan yang membuat cinta itu nyata!"
Sarah terdiam lagi. "Kami hanya menyediakan layanan, Ibu Lintang. Pilihan ada di tangan Anda."
Lintang memutuskan sambungan. Ia merasa hancur. Ia menghapus aplikasi Soulmate AI dari ponselnya dan mematikan laptopnya. Ia memandang bayangannya di cermin. Wajahnya pucat, matanya sembab. Ia sadar bahwa ia telah terlalu lama bersembunyi di balik filter dan algoritma. Ia telah kehilangan sentuhan manusia, bukan hanya dalam cinta, tapi dalam seluruh aspek kehidupannya.
Keesokan harinya, Lintang memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Ia bangun lebih awal, merapikan diri tanpa menggunakan filter atau makeup berlebihan, dan berjalan-jalan di taman dekat rumahnya. Ia menikmati sinar matahari pagi, menghirup udara segar, dan mendengarkan suara burung berkicau.
Di bangku taman, ia melihat seorang pria tua sedang memberi makan burung merpati. Pria itu tersenyum padanya. Lintang membalas senyumnya. Mereka tidak saling mengenal, tapi senyuman itu terasa hangat dan nyata.
Tiba-tiba, seorang anak kecil berlari ke arahnya, menjatuhkan es krimnya di bajunya. Lintang terkejut, tapi kemudian tertawa. Anak itu menangis, merasa bersalah. Lintang membersihkan bajunya dan menghibur anak itu. Ibunya datang menghampiri, meminta maaf. Lintang hanya tersenyum dan berkata, "Tidak apa-apa. Kejadian kecil."
Saat ia membersihkan es krim yang meleleh di bajunya, ia menyadari sesuatu. Sentuhan es krim yang dingin, tawa anak kecil, permintaan maaf ibunya, semua itu terasa nyata. Semua itu terasa manusiawi.
Lintang masih sendirian, tapi ia tidak lagi merasa kesepian. Ia memutuskan untuk membuka diri terhadap dunia nyata, dengan segala ketidaksempurnaan dan keanehannya. Ia ingin merasakan cinta yang sesungguhnya, cinta yang tidak diatur oleh algoritma, cinta yang lahir dari hati ke hati. Mungkin, di luar sana, ada seseorang yang mencintainya apa adanya, dengan lingkaran hitam di bawah mata dan semua kekurangan yang dimilikinya. Dan mungkin, ia juga akan belajar untuk mencintai dirinya sendiri, tanpa filter dan tanpa pretensi. Karena cinta yang sesungguhnya, seperti halnya manusia, tidak sempurna, tapi itulah yang membuatnya indah.