Jemari Riana menari di atas layar sentuh. Notifikasi berdering tanpa henti, sebagian besar dari aplikasi kencan bernama "Soulmate AI". Algoritmanya, konon, mampu memprediksi kecocokan jiwa hingga 98%. Riana sinis. Sudah tiga bulan ia berkutat dengan aplikasi itu, dan hasilnya nihil. Deretan wajah tampan dan profil menarik hanya menghasilkan obrolan basi dan kencan yang membosankan.
"Mungkin aku terlalu pemilih," gumamnya, menatap pantulan dirinya di layar yang gelap. Usianya 28 tahun, karirnya sebagai UI/UX designer sedang menanjak, dan ia memiliki apartemen nyaman di pusat kota. Tapi hatinya hampa. Ia merindukan sentuhan, tawa, dan percakapan mendalam yang hanya bisa ia temukan dalam hubungan yang tulus.
Malam itu, ia kembali membuka Soulmate AI dengan malas. Algoritma menyodorkan profil baru: seorang pria bernama Arya, dengan foto profil siluet senja di pantai. Deskripsinya singkat: "Pecinta kopi, penikmat senja, dan pemimpi yang tersesat." Riana nyaris melewatinya, tapi ada sesuatu dalam aura misterius Arya yang menarik perhatiannya.
Ia mengirimkan pesan singkat: "Senja memang selalu indah."
Tak disangka, Arya membalas hampir seketika. "Lebih indah lagi jika ada yang menemaninya."
Percakapan mereka mengalir dengan lancar. Mereka membahas buku favorit, film klasik, dan filosofi hidup. Riana terpukau dengan kedalaman pemikiran Arya, humornya yang cerdas, dan ketulusannya yang terasa bahkan melalui barisan teks. Ia mulai berharap, mungkin, algoritma Soulmate AI akhirnya menemukan jodoh yang tepat untuknya.
Beberapa minggu kemudian, mereka memutuskan untuk bertemu. Riana berdandan dengan hati-hati, memilih gaun favoritnya dan menyemprotkan parfum yang selama ini hanya ia simpan untuk acara spesial. Di kafe yang telah mereka sepakati, Riana menunggu dengan jantung berdebar.
Arya datang terlambat, dengan napas terengah-engah. "Maaf, tadi ada sedikit masalah di lab," ujarnya, memberikan penjelasan yang terdengar buru-buru. Wajahnya, meski lelah, memancarkan kebaikan dan kecerdasan yang selama ini hanya Riana lihat di layar.
Malam itu, mereka tertawa, berbagi cerita, dan saling menatap dalam diam yang nyaman. Riana merasa seolah mengenal Arya seumur hidupnya. Setelah kencan yang sempurna itu, mereka menjadi tak terpisahkan. Mereka menjelajahi kota bersama, menonton film di bioskop independen, dan berdebat tentang arti eksistensi sambil menikmati kopi di kafe favorit Arya.
Riana jatuh cinta. Ia yakin, kali ini, ia telah menemukan belahan jiwanya.
Namun, kebahagiaan Riana tidak berlangsung lama. Suatu malam, saat Arya mengantarnya pulang, ia menerima telepon dari seorang wanita. Arya mengangkatnya, lalu menjauh dari Riana, berbicara dengan nada rendah dan penuh kehati-hatian.
Riana merasakan firasat buruk merayap di hatinya. Setelah telepon berakhir, Arya kembali dengan wajah pucat. "Maaf, Riana," ujarnya, suaranya bergetar. "Aku... aku harus jujur padamu."
Arya ternyata sudah memiliki tunangan. Ia adalah seorang ilmuwan yang bekerja di proyek rahasia pemerintah, dan tunangannya adalah rekan kerjanya. Mereka sudah bertunangan selama setahun, tapi Arya merasa terjebak dalam hubungan itu. Ia mencintai Riana, tapi ia tidak bisa meninggalkannya.
Dunia Riana runtuh. Algoritma Soulmate AI, yang seharusnya menemukan kebahagiaannya, justru mempertemukannya dengan luka yang tak terobati. Ia merasa dikhianati, tidak hanya oleh Arya, tapi juga oleh harapan palsu yang ditawarkan oleh teknologi.
"Bagaimana bisa kamu melakukan ini?" Riana bertanya, air mata mulai membasahi pipinya.
Arya hanya bisa menunduk, tidak berani menatap mata Riana. "Aku tahu aku salah. Aku tidak punya alasan. Aku hanya... aku hanya ingin merasakan kebahagiaan yang sudah lama hilang."
Riana tidak bisa memaafkannya. Ia berbalik dan berlari, meninggalkan Arya yang berdiri terpaku di tengah jalan.
Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi buruk. Riana mengurung diri di apartemennya, menolak panggilan dan pesan dari Arya. Ia menghapus aplikasi Soulmate AI dari ponselnya, membenci setiap algoritma yang menjanjikan cinta sejati.
Ia menyadari, teknologi memang bisa menghubungkan orang, tapi tidak bisa menjamin kebahagiaan. Cinta, pada akhirnya, adalah tentang pilihan, tanggung jawab, dan keberanian untuk menghadapi konsekuensi. Dan Arya, sayangnya, tidak memiliki semua itu.
Beberapa minggu kemudian, Riana kembali bekerja. Ia mencoba mengubur lukanya dalam kesibukan. Ia fokus pada pekerjaannya, menghabiskan waktu bersama teman-temannya, dan mencoba menemukan kembali dirinya yang hilang.
Suatu sore, ia menerima email dari Arya. Isinya hanya sebuah permintaan maaf yang tulus, dan penjelasan singkat tentang keputusannya untuk tetap bersama tunangannya. Arya mengakui bahwa ia telah melakukan kesalahan besar, dan ia berharap Riana bisa memaafkannya suatu hari nanti.
Riana tidak membalas email itu. Ia membacanya sekali, lalu menghapusnya. Ia tahu, memaafkan Arya tidak akan mengubah apa pun. Lukanya akan tetap ada, menjadi pengingat bahwa cinta tidak selalu indah seperti yang digambarkan dalam film dan lagu.
Namun, Riana juga belajar sesuatu yang berharga. Ia belajar bahwa ia lebih kuat dari yang ia kira. Ia bisa menghadapi patah hati, dan ia bisa bangkit kembali. Ia tidak akan lagi menggantungkan harapannya pada algoritma atau aplikasi kencan. Ia akan mencari cinta dengan cara yang lebih alami, dengan hati terbuka dan mata yang jernih.
Di ujung jari, ia memang menemukan cinta. Tapi di baliknya, ia juga menemukan luka. Dan meski luka itu tak terobati sepenuhnya, ia akan menjadikannya sebagai pelajaran berharga dalam perjalanannya mencari kebahagiaan. Ia akan terus melangkah, dengan keyakinan bahwa cinta sejati, pada akhirnya, akan datang di waktu yang tepat.