Algoritma Asmara: Unduh Jodoh, Temukan Ironi?

Dipublikasikan pada: 05 Aug 2025 - 01:20:13 wib
Dibaca: 162 kali
Aplikasi itu berkedip di layar ponselnya, logo hati berpiksel yang kini menjadi ikon dewa asmara modern. Luna menarik napas dalam, jarinya ragu menekan tombol "Unduh Jodoh". Ironis, pikirnya. Seorang ahli algoritma sepertinya, yang setiap hari berkutat dengan baris kode dan logika biner, kini menyerahkan urusan cinta pada algoritma lain, algoritma yang bahkan tidak ia pahami sepenuhnya.

Luna, 28 tahun, adalah seorang jenius di bidang kecerdasan buatan. Ia bekerja di sebuah perusahaan rintisan yang mengembangkan teknologi pengenalan wajah. Kariernya melesat, tapi kisah cintanya mandek di titik nol. Semua teman-temannya sudah menikah, punya anak, dan memposting foto keluarga bahagia di media sosial. Sementara Luna, terjebak dalam siklus kerja-pulang-tidur, dengan ditemani tumpukan buku pemrograman dan secangkir kopi dingin.

Ia sudah mencoba berbagai cara konvensional: dikenalkan teman, ikut kencan kilat, bahkan mendaftar kelas memasak dengan harapan bertemu pria idaman. Hasilnya nihil. Akhirnya, dengan berat hati, ia menyerah pada godaan algoritma.

Aplikasi "Soulmate Sync" menjanjikan pencocokan sempurna berdasarkan data kepribadian, preferensi, dan bahkan gelombang otak. Luna mengisi formulir dengan jujur, atau setidaknya berusaha jujur. Ia agak ragu saat menjawab pertanyaan tentang "nilai spiritual" dan "tingkat kepekaan emosional". Sebagai seorang ilmuwan, ia lebih percaya pada data empiris daripada intuisi.

Setelah proses sinkronisasi yang memakan waktu beberapa menit (yang terasa seperti berjam-jam), aplikasi itu menampilkan sebuah nama: Raka.

Profil Raka dipenuhi dengan foto-foto mendaki gunung, bermain gitar, dan membaca buku filsafat. Ia menulis puisi, aktif dalam kegiatan sosial, dan sangat peduli pada isu lingkungan. Luna terkejut. Raka adalah kebalikan total dari dirinya. Ia jarang keluar rumah, lebih memilih musik elektronik daripada akustik, dan menganggap filsafat sebagai kumpulan omong kosong yang tidak bisa dibuktikan.

Namun, algoritma tidak mungkin salah, kan?

Luna memberanikan diri mengirim pesan singkat. “Hai, Raka. Aplikasi Soulmate Sync bilang kita cocok.”

Balasan datang hampir seketika. “Hai, Luna. Senang bertemu denganmu. Aku juga penasaran kenapa algoritma menyatukan kita.”

Percakapan mereka mengalir lancar, awalnya. Mereka membahas perbedaan pandangan, mencoba memahami satu sama lain. Raka tertarik dengan logika dan ketelitian Luna, sementara Luna terpesona dengan idealisme dan kreativitas Raka.

Setelah beberapa minggu berinteraksi daring, mereka memutuskan untuk bertemu. Raka mengajaknya mendaki gunung di akhir pekan. Luna, dengan berat hati, menyetujui. Ia tidak terbiasa dengan aktivitas fisik, tapi ia ingin memberikan kesempatan pada algoritma dan pada Raka.

Pendakian itu adalah bencana. Luna ngos-ngosan, berkeringat, dan terus mengeluh. Raka, dengan sabar, membantunya mendaki, menyemangatinya, dan menceritakan kisah-kisah inspiratif tentang alam.

Di puncak gunung, saat matahari terbit memancarkan keemasan di cakrawala, Luna merasa sedikit tersentuh. Pemandangan itu memang indah. Tapi ia tetap merasa tidak nyaman. Ia lebih suka melihat pemandangan itu dari layar laptopnya, sambil menyeruput kopi hangat dan menulis kode.

Setelah pendakian, hubungan mereka menjadi canggung. Mereka mencoba melakukan aktivitas lain: menonton konser musik klasik, mengunjungi pameran seni, bahkan mencoba meditasi bersama. Semua terasa dipaksakan. Mereka tidak memiliki kesamaan minat, tidak ada koneksi emosional yang mendalam.

Suatu malam, saat mereka makan malam di sebuah restoran mewah (pilihan Raka, tentu saja), Luna tidak tahan lagi.

“Raka,” katanya dengan nada getir, “aku rasa ini tidak akan berhasil.”

Raka menghela napas. “Aku juga merasa begitu, Luna. Algoritma mungkin pintar, tapi ia tidak bisa memahami kompleksitas hati manusia.”

Mereka berdua terdiam. Ada rasa kecewa, tapi juga lega. Mereka menyadari bahwa algoritma, sehebat apapun, tidak bisa memaksakan kecocokan yang tidak ada.

Beberapa minggu kemudian, Luna kembali ke rutinitasnya. Ia bekerja, membaca buku, dan minum kopi sendirian. Tapi ada sesuatu yang berubah. Ia tidak lagi merasa kesepian. Ia menyadari bahwa kebahagiaan tidak harus datang dari hubungan romantis. Ia bisa bahagia dengan kariernya, dengan teman-temannya, dan dengan dirinya sendiri.

Suatu malam, saat ia sedang asyik menulis kode, ia menerima pesan dari aplikasi Soulmate Sync. Pesan itu berisi permintaan maaf. Algoritma mereka ternyata mengalami kesalahan. Data kepribadian Luna tertukar dengan data orang lain.

Luna tertawa terbahak-bahak. Ironi memang terkadang lucu. Ia menghapus aplikasi itu dari ponselnya.

Beberapa bulan kemudian, saat ia sedang menghadiri konferensi teknologi, ia bertemu dengan seorang pria bernama Arya. Arya adalah seorang insinyur perangkat lunak yang bekerja di perusahaan pesaing. Mereka memiliki kesamaan minat, mereka bisa berjam-jam membahas algoritma dan arsitektur jaringan. Mereka tertawa dengan lelucon yang sama, mereka saling mengerti tanpa perlu banyak bicara.

Arya tidak ditemukan oleh algoritma. Ia ditemukan secara kebetulan, dalam dunia nyata, di antara barisan kode dan presentasi slide. Dan kali ini, Luna merasa ada sesuatu yang berbeda. Kali ini, ada koneksi yang nyata.

Luna tersenyum. Mungkin, pikirnya, cinta memang tidak bisa diprediksi. Mungkin, keajaiban bisa terjadi di tempat yang paling tidak terduga. Dan mungkin, algoritma asmara hanyalah sebuah ironi yang mengajarkan kita untuk membuka mata dan hati kita pada kemungkinan-kemungkinan yang ada di sekitar kita. Karena terkadang, jodoh sejati tidak diunduh, tapi ditemukan. Ditemukan dalam sela-sela kehidupan, di antara algoritma dan kenyataan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI