Debu-debu digital menempel di layar ponsel Anya. Bukan debu fisik, tentu saja, melainkan notifikasi yang menumpuk, pesan-pesan yang tak kunjung dibalas, dan bayangan wajah-wajah asing dari aplikasi kencan “SoulMate”. Anya mendesah, jarinya malas menyapu layar. Algoritma SoulMate menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan riwayat pencarian, preferensi buku, bahkan hingga jenis kopi yang disukai. Ironisnya, di tengah lautan data dan probabilitas, Anya justru merasa semakin kesepian.
Tiga bulan lalu, di usia 30 tahun, Anya memutuskan untuk menyerah pada perjodohan ala ibunya dan beralih ke solusi modern. SoulMate, dengan iklannya yang meyakinkan, tampak seperti jawaban atas doa-doanya. Anya mengisi profilnya dengan jujur: seorang pustakawan, penyuka kucing, dan penggemar berat fiksi ilmiah klasik. Algoritma itu bekerja keras, menghasilkan sederet profil yang menurutnya “potensial”.
Namun, potensial di dunia maya seringkali berbeda dengan kenyataan. Kencan pertama dengan seorang arsitek yang katanya “berjiwa petualang” ternyata hanya membicarakan merk jam tangan dan investasi kripto. Kencan kedua dengan seorang penulis lepas yang profilnya penuh dengan kutipan-kutipan puitis, justru sibuk menyalahkan mantan pacarnya dan meminta Anya mengoreksi naskahnya. Anya mulai merasa seperti sedang menjalani audisi, bukan mencari cinta.
Malam ini, Anya sedang menunggu Rio. Profilnya menonjol di antara yang lain. Seorang programmer, menyukai kucing (poin plus!), dan punya selera humor yang, menurut Anya, cukup cerdas. Mereka sudah bertukar pesan selama seminggu, membahas mulai dari teori relativitas Einstein hingga film animasi Studio Ghibli. Anya merasa ada koneksi, sesuatu yang lebih dari sekadar kecocokan algoritmik.
Rio telat lima belas menit. Anya mulai gelisah. Ia melihat jam tangannya untuk kesekian kalinya, lalu kembali mengecek profil Rio di SoulMate. Foto terbarunya, senyumnya yang ramah, tiba-tiba terasa asing. Apa yang salah? Apakah ini hanya ilusi, hasil dari algoritma yang terlalu pintar memanipulasi harapannya?
Akhirnya, Rio datang. Dengan napas terengah-engah, ia meminta maaf atas keterlambatannya. “Maaf, Anya. Ada masalah di kantor. Server down, dan aku harus memperbaikinya.”
Anya tersenyum lega. “Tidak apa-apa. Aku mengerti.”
Malam itu, mereka menghabiskan waktu berjam-jam di kafe. Mereka tidak membicarakan pekerjaan, investasi, atau mantan pacar. Mereka membicarakan buku-buku yang mereka baca, film-film yang mereka tonton, dan mimpi-mimpi yang mereka simpan. Anya merasa nyaman, merasa bisa menjadi dirinya sendiri tanpa harus berusaha untuk mengesankan.
Rio ternyata tidak seperti yang Anya bayangkan. Ia lebih pendiam, lebih sederhana, dan lebih…manusiawi. Di balik profil yang penuh dengan data dan algoritma, Anya menemukan seseorang yang hangat dan tulus.
Namun, seiring berjalannya waktu, keraguan mulai menghantui Anya. Apakah ini nyata? Apakah Rio benar-benar menyukainya, atau hanya mengikuti algoritma yang mengatakan bahwa mereka cocok? Apakah cinta bisa diprediksi, diukur, dan dikalkulasikan?
Suatu malam, Anya memberanikan diri untuk bertanya. Mereka sedang duduk di taman, menikmati angin malam yang sejuk.
“Rio,” kata Anya, ragu-ragu. “Apakah… apakah kamu benar-benar menyukaiku, atau hanya karena algoritma SoulMate bilang kita cocok?”
Rio terdiam sejenak, lalu menatap Anya dengan tatapan yang sulit diartikan. “Anya,” katanya lembut. “Aku tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Aku memang bertemu denganmu lewat SoulMate, tapi aku tidak memilihmu hanya karena algoritma. Aku memilihmu karena…karena aku merasa nyaman bersamamu. Aku merasa bisa menjadi diriku sendiri di dekatmu.”
Anya masih ragu. Ia ingin percaya pada Rio, tapi ia tidak bisa mengabaikan keraguan yang menghantuinya. Ia merasa seperti sedang hidup dalam simulasi, di mana setiap tindakan, setiap kata-kata, telah diprogram sebelumnya.
“Tapi… bagaimana kalau algoritma itu salah?” tanya Anya, suaranya bergetar. “Bagaimana kalau kita tidak cocok di kehidupan nyata? Bagaimana kalau kita hanya terjebak dalam ilusi yang diciptakan oleh teknologi?”
Rio meraih tangan Anya. “Anya, algoritma hanyalah alat. Ia bisa membantu kita menemukan orang yang tepat, tapi ia tidak bisa menentukan bagaimana hubungan kita akan berkembang. Yang menentukan adalah kita sendiri.”
Ia melanjutkan, “Aku tidak peduli apa yang dikatakan algoritma. Aku hanya tahu bahwa aku menikmati waktu bersamamu, aku menghargai pendapatmu, dan aku… aku menyukaimu, Anya. Bukan karena algoritma, tapi karena dirimu sendiri.”
Anya menatap mata Rio, mencoba mencari kebenaran. Ia melihat kejujuran, kehangatan, dan ketulusan. Ia melihat seseorang yang bersedia menerima dirinya apa adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Anya tersenyum. Mungkin Rio benar. Mungkin algoritma hanyalah titik awal, sebuah petunjuk yang membawanya ke jalan yang benar. Yang terpenting adalah apa yang terjadi setelah itu, bagaimana mereka membangun hubungan mereka, bagaimana mereka saling mencintai dan mendukung.
Debu-debu digital di layar ponsel Anya perlahan menghilang. Ia tidak lagi bergantung pada algoritma untuk menemukan cinta. Ia memilih untuk percaya pada hatinya, pada perasaannya, pada koneksi yang ia rasakan bersama Rio.
Malam itu, Anya memutuskan untuk menghapus aplikasi SoulMate. Ia tidak lagi membutuhkan algoritma untuk menemukan jodoh. Ia sudah menemukannya, bukan di dunia maya, tapi di dunia nyata, di pelukan seorang pria yang mencintainya apa adanya. Algoritma mungkin telah mempertemukan mereka, tapi hati mereka yang memilih untuk bersama. Rindu yang selama ini berdebu, kini mulai bersemi, ditanam di tanah kejujuran dan ketulusan.