Kilau layar laptop memantul di kacamata Nadia. Jari-jarinya menari di atas keyboard, mengetik baris demi baris kode. Di usianya yang ke-28, Nadia adalah seorang programmer jenius. Ia lebih nyaman berinteraksi dengan algoritma dan logika, daripada dengan manusia dan emosi. Baginya, cinta adalah konsep abstrak yang sulit dipahami, sebuah bug dalam sistem kehidupan yang kompleks.
Namun, semuanya berubah ketika Project 40 dipercayakan padanya. Project 40 adalah sebuah inisiatif ambisius dari perusahaan tempatnya bekerja, "Synapse Solutions," untuk menciptakan algoritma cinta. Tujuannya? Mencari pasangan ideal berdasarkan data, kepribadian, dan preferensi. Ironis memang, seorang anti-cinta seperti Nadia ditugaskan menciptakan rumus cinta.
"Nadia, ini kesempatanmu untuk membuktikan bahwa cinta bisa dipecahkan," kata Pak Johan, kepala divisi pengembangan, dengan senyum misterius. "Anggap saja ini tantangan matematika terbesar dalam hidupmu."
Awalnya, Nadia merasa muak. Ia bahkan berniat mengajukan pengunduran diri. Tetapi, rasa penasaran mengalahkan segalanya. Ia ingin membuktikan bahwa cinta tidak bisa diprogram. Bahwa emosi adalah variabel acak yang tidak mungkin diprediksi.
Maka dimulailah prosesnya. Nadia menyelami lautan data, mempelajari psikologi manusia, membaca literatur tentang hubungan, dan bahkan mengikuti seminar pernikahan (dengan menyamar, tentu saja). Ia memasukkan berbagai variabel: hobi, latar belakang pendidikan, preferensi musik, bahkan zodiak. Ia mencoba membuat algoritma yang sempurna, sebuah rumus yang bisa menjamin kebahagiaan abadi.
Minggu-minggu berlalu dengan cepat. Nadia tenggelam dalam pekerjaannya, melupakan tidur dan makan teratur. Ia menciptakan model demi model, menguji setiap algoritma dengan ribuan simulasi. Hasilnya? Mengecewakan. Setiap kali, selalu ada kesalahan, ketidaksesuaian, atau bahkan prediksi yang menggelikan. Algoritma itu menemukan pasangan yang sempurna di atas kertas, tetapi hancur berantakan di dunia nyata.
Suatu malam, saat Nadia hampir putus asa, ia bertemu dengan Rian, seorang desainer grafis yang bekerja di Synapse Solutions. Rian dikenal sebagai sosok yang ceria dan spontan. Ia sering menghabiskan waktu istirahat dengan bermain gitar di lobi kantor dan selalu menyapa semua orang dengan senyum ramah.
Awalnya, Nadia mengabaikan Rian. Ia terlalu sibuk dengan Project 40 untuk memperhatikan hal lain. Tetapi, suatu hari, Rian melihat Nadia yang kelelahan tertidur di mejanya. Ia membawakan Nadia kopi hangat dan menaruhnya di samping laptopnya, lengkap dengan catatan kecil bertuliskan, "Istirahat itu penting. Otak butuh bahan bakar."
Nadia tersentuh. Ia tidak terbiasa dengan perhatian seperti itu. Biasanya, orang-orang di sekitarnya hanya melihatnya sebagai seorang programmer yang dingin dan kaku.
Sejak saat itu, Rian mulai mendekati Nadia secara perlahan. Ia sering mengajak Nadia makan siang bersama, bercerita tentang hobinya, dan mendengarkan keluh kesahnya tentang Project 40. Nadia, yang selama ini tertutup, mulai membuka diri. Ia menceritakan tentang kesulitan yang dihadapinya, tentang rasa frustrasinya, dan tentang keraguannya terhadap cinta.
Rian mendengarkan dengan sabar. Ia tidak menghakimi Nadia, tidak mencoba meyakinkannya, tetapi hanya memberikan dukungan dan pengertian. Ia berkata bahwa cinta tidak perlu dipahami, tetapi dirasakan. Bahwa cinta adalah tentang menerima ketidaksempurnaan, tentang saling mendukung, dan tentang menciptakan kebahagiaan bersama.
Lambat laun, Nadia mulai merasakan sesuatu yang aneh. Setiap kali ia berada di dekat Rian, jantungnya berdebar lebih kencang. Ia merasa nyaman dan bahagia. Ia mulai merindukan senyumnya, suaranya, dan sentuhan lembutnya.
Suatu malam, setelah menghabiskan waktu berjam-jam untuk memecahkan masalah algoritma bersama, Rian mengantarkan Nadia pulang. Di depan apartemen Nadia, Rian berhenti dan menatapnya dengan tatapan yang dalam.
"Nadia," kata Rian dengan suara pelan. "Aku... aku menyukaimu."
Nadia terkejut. Ia tidak tahu harus berkata apa. Ia tidak pernah mengira bahwa Rian akan menyukainya.
"Aku tahu kamu mungkin tidak percaya pada cinta," lanjut Rian. "Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku serius. Aku ingin mengenalmu lebih jauh."
Nadia terdiam. Ia menatap mata Rian, mencari kebohongan, tetapi yang ia temukan hanyalah ketulusan.
Tiba-tiba, Nadia tersadar. Ia selama ini terlalu fokus pada rumus dan algoritma, sehingga melupakan esensi dari cinta itu sendiri. Cinta bukanlah tentang menemukan pasangan yang sempurna, tetapi tentang menemukan seseorang yang membuatmu merasa sempurna.
"Rian," kata Nadia dengan suara bergetar. "Aku... aku juga menyukaimu."
Rian tersenyum lebar. Ia meraih tangan Nadia dan menggenggamnya erat.
"Aku tahu ini mungkin terdengar klise," kata Rian. "Tapi aku yakin kita bisa menciptakan kebahagiaan kita sendiri."
Nadia mengangguk. Ia merasa lega, bahagia, dan sedikit takut. Ia tahu bahwa perjalanan cintanya baru saja dimulai, dan ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi ia siap menghadapinya bersama Rian.
Keesokan harinya, Nadia menghadap Pak Johan. Ia mengatakan bahwa Project 40 tidak mungkin berhasil. Bahwa cinta tidak bisa diprogram. Bahwa manusia terlalu kompleks untuk direduksi menjadi angka dan algoritma.
Pak Johan tersenyum. "Aku sudah tahu itu sejak awal," katanya. "Project 40 bukan tentang menciptakan algoritma cinta. Ini tentang membuatmu menyadari bahwa cinta itu nyata. Dan kamu telah membuktikannya."
Nadia terkejut. Ia merasa dibodohi.
"Tapi kenapa?" tanyanya.
"Karena aku tahu kamu terlalu pintar untuk jatuh cinta secara alami," jawab Pak Johan. "Kamu perlu sedikit dorongan."
Nadia tertawa. Ia menyadari bahwa Pak Johan benar. Ia terlalu sibuk dengan logika dan rasionalitas, sehingga melupakan hatinya.
Sejak saat itu, Nadia dan Rian menjalin hubungan yang semakin dekat. Mereka belajar saling mencintai, saling mendukung, dan saling menerima kekurangan masing-masing. Nadia mulai membuka diri pada dunia, mencoba hal-hal baru, dan menikmati hidup. Ia belajar bahwa cinta bukanlah bug dalam sistem kehidupan, tetapi fitur yang paling indah.
Dan, secara ironis, Nadia menemukan rumus cinta yang sebenarnya: bukan algoritma yang rumit, tetapi keberanian untuk membuka hati dan membiarkan cinta masuk. Rumus itu sederhana: Cinta = (Keberanian + Kepercayaan) x Rian. Atau mungkin, ia masih perlu menyempurnakannya. Tetapi satu hal yang pasti, ia tidak akan pernah berhenti belajar tentang cinta.