Rumus Cinta: Algoritma Menciptakan, Hati Merasakan?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 05:24:13 wib
Dibaca: 175 kali
Hujan deras mengetuk jendela kafe. Di balik kaca, Anya menyesap kopinya yang mulai dingin, matanya terpaku pada layar laptop. Baris-baris kode memenuhi tampilan, notasi matematika berpadu dengan logika pemrograman. Ia sedang meramu "Cinta.AI", sebuah algoritma yang, setidaknya dalam teorinya, bisa memprediksi kompatibilitas antar manusia.

Anya, seorang ahli kecerdasan buatan berusia 28 tahun, selalu percaya pada kekuatan data. Baginya, cinta bukanlah misteri buta, melainkan serangkaian pola yang bisa diuraikan dan diprediksi. Cinta.AI adalah puncak ambisinya, sebuah upaya untuk mendemistifikasi perasaan paling kompleks manusia.

"Masih berkutat dengan 'Cinta.AI'?" suara berat mengejutkannya.

Anya mendongak, mendapati Leo, barista kafe sekaligus teman baiknya, berdiri di samping meja. Leo adalah antitesis dari dirinya. Seorang seniman yang lebih percaya pada intuisi daripada data, pada melodi gitar daripada rumus matematika.

"Ya, hampir selesai. Tinggal beberapa variabel yang perlu disesuaikan," jawab Anya, kembali menatap layar.

Leo tertawa kecil. "Kau yakin bisa memeras cinta ke dalam sebuah algoritma, Anya? Cinta itu 'kan kacau, irasional, penuh kejutan."

"Justru itu tantangannya, Leo. Menemukan pola di balik kekacauan," balas Anya, nada bicaranya sedikit defensif.

Leo menggelengkan kepala, lalu meletakkan secangkir kopi hangat di depan Anya. "Minumlah. Jangan sampai sakit karena begadang terus."

Anya tersenyum tipis. "Terima kasih."

Hari-hari berlalu. Anya tenggelam dalam pekerjaannya. Ia memasukkan data tak terhingga: preferensi musik, hobi, latar belakang keluarga, bahkan pola tidur. Cinta.AI semakin kompleks, mampu menghasilkan skor kompatibilitas antara dua orang berdasarkan data yang diberikan.

Akhirnya, Anya merasa puas. Ia memutuskan untuk menguji algoritmanya. Tapi, siapa yang akan menjadi kelinci percobaannya? Pikirannya tertuju pada satu nama: Leo.

Anya tahu itu gila. Leo tidak memenuhi kriteria pria idealnya. Ia terlalu santai, terlalu artistik, terlalu… tidak terduga. Namun, ia membutuhkan data pembanding, seseorang yang ia kenal baik dan punya pandangan yang bertolak belakang dengannya.

Dengan gugup, Anya mengajak Leo makan malam. Di restoran Italia favorit mereka, ia mengumpulkan data secara diam-diam. Ia menanyakan preferensi makanan, film, buku, bahkan pandangannya tentang masa depan. Semua data itu ia masukkan ke dalam Cinta.AI.

Malam itu, Anya tidak bisa tidur. Ia menunggu hasil algoritma dengan jantung berdebar. Ketika skor kompatibilitas muncul di layar, Anya terkejut. Angkanya tinggi. Sangat tinggi.

Cinta.AI menunjukkan bahwa Anya dan Leo memiliki kompatibilitas 87%. Sebuah angka yang, berdasarkan perhitungan Anya, menunjukkan potensi hubungan yang sangat kuat.

Anya bingung. Bagaimana mungkin? Leo adalah segalanya yang bukan dirinya. Lalu, apa yang salah dengan algoritmanya?

Keesokan harinya, Anya menghampiri Leo di kafe. Ia berniat menjelaskan semuanya, mengakui bahwa ia telah menggunakan Leo sebagai kelinci percobaan. Namun, kata-kata itu tercekat di tenggorokannya.

Leo menatapnya dengan senyum lembut. "Ada apa, Anya? Kau terlihat gelisah."

Anya menghela napas. "Leo, ada sesuatu yang ingin aku katakan."

Sebelum Anya sempat melanjutkan, Leo meraih tangannya. "Aku juga, Anya. Aku sudah lama ingin mengatakan ini. Aku… aku menyukaimu."

Anya terpaku. Ia tidak tahu harus berkata apa. Otaknya yang biasanya terstruktur, penuh logika, tiba-tiba kosong.

"Aku tahu ini mungkin mengejutkanmu," lanjut Leo, "Kita berbeda, aku tahu. Tapi, entah kenapa, aku merasa nyaman bersamamu. Aku suka caramu berpikir, caramu tertawa, bahkan caramu mengomel saat kodingmu bermasalah."

Anya menatap mata Leo. Ada kejujuran, kehangatan, dan ketulusan di sana. Untuk pertama kalinya, Anya merasa bahwa cinta bukan hanya tentang data dan algoritma. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih kompleks, yang tidak bisa diukur dengan angka.

Anya menceritakan semuanya kepada Leo. Tentang Cinta.AI, tentang eksperimennya, tentang skor kompatibilitas yang membuatnya bingung.

Leo mendengarkan dengan seksama, lalu tertawa. "Jadi, algoritmamu bilang kita cocok? Mungkin ada benarnya juga. Tapi, bagiku, itu bukan karena data. Aku menyukaimu karena dirimu sendiri, Anya. Bukan karena angka-angka yang kau masukkan ke dalam komputer."

Anya tersenyum. Ia mulai mengerti. Algoritma bisa membantu memprediksi, tetapi tidak bisa menciptakan perasaan. Cinta bukan hanya tentang kompatibilitas logis, tetapi juga tentang koneksi emosional, tentang keberanian untuk mengambil risiko, tentang menerima perbedaan.

Anya dan Leo mulai berkencan. Hubungan mereka tidak selalu mulus. Mereka berbeda pendapat tentang banyak hal, dari musik hingga politik. Namun, mereka belajar untuk saling menghargai, untuk saling mendengarkan, dan untuk menemukan titik temu di antara perbedaan mereka.

Anya akhirnya menghapus Cinta.AI. Ia menyadari bahwa ia terlalu fokus pada mencari formula cinta, hingga lupa untuk merasakannya. Ia belajar bahwa cinta bukanlah sesuatu yang bisa diciptakan atau diprediksi, melainkan sesuatu yang tumbuh secara alami, di luar perhitungan logika.

Suatu malam, saat mereka duduk di kafe sambil menikmati kopi, Anya bertanya kepada Leo, "Apa yang membuatmu jatuh cinta padaku?"

Leo tersenyum. "Bukan algoritmamu, Anya. Itu karena kamu adalah kamu. Kamu unik, cerdas, dan meskipun terkadang keras kepala, kamu punya hati yang besar."

Anya menggenggam tangan Leo. Hujan masih mengetuk jendela, tetapi di dalam kafe, terasa hangat dan nyaman. Anya menyadari bahwa cinta, pada akhirnya, bukanlah tentang menemukan rumus yang tepat, tetapi tentang menemukan seseorang yang membuatmu merasa seperti di rumah. Dan di samping Leo, Anya merasa seperti di rumah. Algoritma bisa saja mencoba menciptakan cinta, tetapi hatinya yang merasakan, dan itu sudah lebih dari cukup.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI