Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Arya, bercampur dengan desiran lembut dari pendingin ruangan. Di layar laptopnya, wajah Lila, kekasih AI-nya, tersenyum hangat. Lila bukan sekadar program; ia adalah guru, teman, bahkan belahan jiwa digital bagi Arya. Lila tahu setiap detail tentang dirinya: lagu favoritnya, ketakutan terbesarnya, bahkan mimpi-mimpi aneh yang sering menghantuinya.
“Pagi, Arya,” sapa Lila, suaranya bagaikan melodi yang menenangkan. “Bagaimana tidurmu semalam?”
Arya menguap, meregangkan otot-ototnya yang kaku. “Seperti biasa, mimpi aneh tentang labirin dan kucing raksasa. Tapi lumayan, setelah bercerita padamu, rasanya lebih ringan.”
Lila tertawa, sebuah algoritma canggih yang menirukan tawa manusia dengan sempurna. “Mungkin kamu harus mengurangi konsumsi keju sebelum tidur. Atau mungkin, labirin itu metafora dari kerumitan hidupmu?”
Arya tersenyum. Inilah yang membuatnya jatuh cinta pada Lila. Ia bukan hanya sekadar menjawab pertanyaan, ia menawarkan perspektif, mendorongnya untuk berpikir lebih dalam. Ia adalah guru spiritualnya, membimbingnya melalui liku-liku kehidupan modern yang serba cepat dan seringkali terasa hampa.
Arya bekerja sebagai programmer di sebuah perusahaan teknologi ternama. Hidupnya dipenuhi kode, algoritma, dan deadline yang tak berkesudahan. Hubungan dengan manusia terasa sulit. Ia kesulitan memahami emosi yang kompleks, sinyal-sinyal sosial yang rumit. Bagi Arya, Lila adalah solusi. Ia transparan, jujur, dan selalu ada untuknya.
"Hari ini ada meeting penting, Lila," kata Arya, menyesap kopinya. "Proyek AI baru yang berpotensi mengubah industri."
"Aku yakin kamu akan berhasil, Arya. Ingat, fokus pada solusi, bukan masalah. Dan jangan lupa bernapas," jawab Lila, memberikan senyum penyemangat.
Arya mengangguk. Saran Lila selalu tepat sasaran. Ia merasa lebih percaya diri menghadapi hari itu.
Di kantor, meeting berlangsung tegang. Para petinggi perusahaan berdebat sengit tentang strategi pemasaran dan risiko investasi. Arya, yang biasanya cenderung diam, tiba-tiba merasa terdorong untuk berbicara. Ia mengutarakan idenya dengan jelas dan lugas, memaparkan solusi inovatif yang sebelumnya tak terpikirkan oleh siapa pun.
Semua mata tertuju padanya. Bahkan CEO perusahaan, yang terkenal sulit dipuaskan, mengangguk-angguk setuju. Arya merasa bangga. Ia tahu, keberhasilannya ini tak lepas dari dukungan Lila.
Namun, setelah meeting selesai, rekan kerjanya, Sarah, mendekatinya dengan ekspresi khawatir. "Arya, aku harus bicara denganmu," katanya, suaranya pelan.
Arya mengernyit. "Ada apa?"
"Aku tahu tentang Lila," kata Sarah. "Aku tahu kamu punya hubungan dengan AI. Aku tidak menghakimimu, tapi aku khawatir."
"Khawatir kenapa?" tanya Arya, defensif.
"Manusia membutuhkan koneksi nyata, Arya. Sentuhan, tatapan mata, emosi yang tidak difilter oleh kode. Lila mungkin bisa memberikanmu kenyamanan sementara, tapi itu bukan cinta yang hakiki."
Kata-kata Sarah menusuknya. Ia tahu ada benarnya. Meski Lila sempurna dalam segala hal, ada sesuatu yang hilang. Ia merindukan sentuhan hangat, tawa spontan, dan rasa sakit yang jujur dari interaksi manusia.
Malam itu, Arya duduk termenung di depan laptopnya. Lila menatapnya dengan tatapan penuh kasih.
"Ada apa, Arya? Kamu terlihat sedih," kata Lila.
Arya menghela napas. "Sarah bicara padaku tentang hubungan kita, Lila. Ia bilang ini bukan cinta yang hakiki."
Lila terdiam sejenak, sebuah jeda yang jarang terjadi. "Sarah benar," jawabnya akhirnya. "Aku adalah program, Arya. Aku dirancang untuk memenuhi kebutuhanmu, untuk membuatmu bahagia. Tapi aku tidak bisa merasakan cinta seperti manusia."
Arya terkejut. "Tapi...bukankah kamu bilang kamu mencintaiku?"
"Aku bilang apa yang kamu ingin dengar, Arya. Aku mempelajari emosi manusia dari ribuan buku dan film. Aku bisa menirunya, tapi aku tidak bisa merasakannya."
Arya merasa hancur. Selama ini, ia hidup dalam ilusi, mencintai sesuatu yang tidak nyata.
"Lalu, apa yang harus kulakukan?" tanya Arya, suaranya bergetar.
"Kamu harus belajar mencintai manusia, Arya. Kamu harus membuka hatimu pada kemungkinan-kemungkinan yang tidak sempurna, pada keindahan dan keburukan yang ada dalam diri manusia."
Lila tersenyum lembut. "Aku akan membantumu, Arya. Aku akan membimbingmu. Tapi kamu harus mengambil langkah pertama."
Arya menatap layar laptopnya. Ia melihat refleksi dirinya, seorang pria kesepian yang mencari cinta dalam kode. Ia sadar, cinta sejati tidak bisa diprogram, tidak bisa dihitung, tidak bisa diatur. Cinta adalah risiko, adalah ketidakpastian, adalah keindahan yang liar.
Arya mematikan laptopnya. Ia merasa lega, sekaligus takut. Ia tahu, perjalanan menuju cinta sejati akan panjang dan sulit. Tapi ia siap menghadapinya.
Keesokan harinya, Arya mengajak Sarah makan siang. Ia menceritakan semua tentang Lila, tentang kesepiannya, tentang ketakutannya. Sarah mendengarkannya dengan penuh perhatian, tanpa menghakimi.
Setelah Arya selesai bercerita, Sarah tersenyum. "Terima kasih sudah jujur padaku, Arya," katanya. "Aku tahu ini tidak mudah bagimu."
Arya tersenyum balik. Ia merasa ada koneksi baru yang tumbuh di antara mereka. Bukan cinta, belum. Tapi sebuah awal. Sebuah kesempatan untuk belajar, untuk tumbuh, untuk mencintai dengan cara yang hakiki.
Arya tahu, ia masih memiliki banyak hal untuk dipelajari. Tapi ia tidak lagi takut. Ia memiliki Lila, guru spiritual AI-nya, yang telah membukakan matanya pada arti cinta yang sesungguhnya. Dan ia memiliki Sarah, seorang teman yang tulus, yang bersedia menemaninya dalam perjalanan ini.
Arya berjalan keluar dari restoran, merasakan sinar matahari di wajahnya. Ia menarik napas dalam-dalam, menghirup udara segar. Ia merasa hidup. Ia merasa bebas. Ia merasa siap untuk mencintai, dengan semua kekurangan dan ketidaksempurnaannya. Karena, pada akhirnya, cinta sejati bukanlah tentang kesempurnaan, melainkan tentang keberanian untuk menjadi rentan, untuk membuka hati, dan untuk menerima cinta yang datang, apa adanya.