Helaian rambut pirang Luna yang selalu lolos dari ikat kuncirnya, kini menutupi sebagian layar monitor. Di depannya, barisan kode program berkelebat cepat, sebuah labirin logika yang harus dipecahkannya demi memenangkan sebuah tantangan: menciptakan algoritma perjodohan paling akurat. Ironis, pikirnya, saat dia sendiri masih berkutat dalam ketidakpastian hubungan yang sudah terjalin lebih dari setahun dengan Arion.
Arion, si jenius AI yang bekerja di divisi riset dan pengembangan perusahaan teknologi raksasa tempat mereka berdua bernaung. Pertemuan mereka seperti adegan klise dalam film komedi romantis: Luna yang tak sengaja menumpahkan kopi ke kemeja Arion di kantin. Setelahnya, obrolan panjang tentang kecerdasan buatan, etika pemrograman, dan akhirnya, makan malam pertama yang canggung namun menyenangkan.
Namun, seiring waktu, Luna merasakan ada sesuatu yang kurang. Hubungannya dengan Arion terasa seperti kode yang terus dieksekusi tanpa jeda, tanpa ruang untuk improvisasi. Arion selalu tepat waktu, selalu tahu apa yang harus dikatakan, dan selalu memberikan solusi logis untuk setiap masalah. Romantis? Tentu saja, secara algoritma. Bunga tiba di hari ulang tahunnya, tiket konser band favoritnya sudah dipesan jauh hari, dan ucapan "Aku mencintaimu" terdengar setiap malam sebelum tidur. Semuanya terprogram dengan sempurna.
"Sedang memikirkan algoritma sempurna untuk mencari belahan jiwa?" Suara Arion mengagetkan Luna dari lamunannya. Ia menoleh, mendapati Arion berdiri di ambang pintu apartemennya, membawa dua gelas kopi.
"Hanya mencoba membuat sedikit keajaiban," jawab Luna, tersenyum tipis. "Kau tahu, mencari pola dalam kekacauan."
Arion mengangguk, menyerahkan salah satu gelas kopi. "Pola selalu ada, Luna. Hanya perlu menemukan fungsi yang tepat untuk mengekstraknya."
Luna menyesap kopinya. Arion benar. Dalam pemrograman, semua tentang mencari pola. Tapi, apakah cinta benar-benar bisa direduksi menjadi serangkaian persamaan matematika? Bisakah perasaan, intuisi, dan semua hal irasional yang membuat manusia menjadi manusia, diukur dan diprediksi dengan algoritma?
Malam itu, Luna tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan Arion, tentang kebaikan hatinya, kecerdasannya yang luar biasa, dan ketidakmampuannya untuk membaca sinyal-sinyal kecil yang dikirimkan Luna. Ia merindukan spontanitas, kejutan, dan bahkan sedikit pertengkaran kecil yang menandakan bahwa mereka benar-benar ada di sana, berinteraksi sebagai dua individu yang utuh, bukan sebagai variabel dalam persamaan.
Ia bangkit dari tempat tidur dan kembali ke komputernya. Tantangan algoritma perjodohan itu menjadi lebih dari sekadar kompetisi. Ia ingin membuktikan bahwa ada hal-hal yang tidak bisa diprediksi, hal-hal yang hanya bisa dirasakan. Ia mulai menambahkan parameter baru ke algoritmanya: humor, empati, kemampuan untuk mendengarkan tanpa menghakimi, dan yang terpenting, kemampuan untuk mengakui ketidaksempurnaan.
Minggu berikutnya, Luna dan Arion menghadiri pesta perusahaan. Luna mengenakan gaun merah menyala yang jarang dipakainya, berusaha keluar dari zona nyaman yang diciptakan Arion. Arion, seperti biasa, tampil rapi dengan setelan jas abu-abu.
Sepanjang pesta, Arion tidak melepaskan Luna dari pandangannya. Ia mengawasinya berbicara dengan rekan-rekan kerja, tertawa lepas mendengar lelucon, dan bahkan berdansa sedikit dengan seorang teman. Ada sesuatu yang berbeda pada Luna malam itu. Ia tampak lebih hidup, lebih bebas, dan lebih... tidak terduga.
Saat musik melambat, Arion mendekati Luna. "Kau tampak cantik malam ini," katanya, dengan sedikit nada gugup dalam suaranya.
"Terima kasih," jawab Luna, menatap mata Arion. "Aku hanya mencoba sedikit keluar dari kotak."
Arion terdiam sejenak. "Kotak?"
Luna menghela napas. "Ya, Arion. Kotak yang telah kita ciptakan untuk diri kita sendiri. Kotak yang berisi aturan, prediksi, dan algoritma. Aku ingin sedikit jeda dari semua itu."
Arion menatap Luna dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia seolah sedang memproses kata-kata Luna, mencoba memahaminya secara logis.
"Aku... aku mengerti," akhirnya kata Arion. "Kau ingin lebih banyak spontanitas. Lebih banyak kejutan."
Luna tersenyum. "Bukan hanya itu, Arion. Aku ingin kau melihatku sebagai Luna, bukan sebagai variabel dalam algoritma cintamu. Aku ingin kau melihat ketidaksempurnaanku, kelemahanku, dan semua hal irasional yang membuatku menjadi aku."
Arion menggenggam tangan Luna. "Aku... aku selalu melihatmu, Luna. Hanya saja, mungkin aku terlalu fokus pada solusi, sehingga aku lupa menikmati prosesnya."
Luna merasakan kehangatan menjalari tubuhnya. Ia tahu bahwa Arion sedang berusaha, berusaha untuk memahami apa yang dirasakannya.
"Bagaimana kalau kita coba sesuatu yang berbeda?" tanya Luna. "Bagaimana kalau kita mencoba untuk tidak merencanakan apa pun? Bagaimana kalau kita membiarkan hidup membimbing kita, alih-alih mencoba mengendalikannya?"
Arion tersenyum. "Aku suka ide itu. Bagaimana kalau kita keluar dari pesta ini dan mencari tempat makan burger di pinggir jalan?"
Luna tertawa. "Itu terdengar sempurna."
Mereka meninggalkan pesta dan berjalan menyusuri jalanan kota yang ramai. Mereka menemukan sebuah warung burger sederhana dengan lampu neon yang berkedip-kedip. Sambil menikmati burger mereka, mereka berbicara tentang banyak hal, bukan tentang kecerdasan buatan, bukan tentang algoritma, tapi tentang mimpi-mimpi mereka, ketakutan mereka, dan semua hal kecil yang membuat hidup ini berarti.
Malam itu, Luna menyadari bahwa cinta tidak bisa direduksi menjadi serangkaian persamaan matematika. Cinta membutuhkan ruang untuk tumbuh, ruang untuk berimprovisasi, dan ruang untuk membuat kesalahan. Cinta adalah tentang mencari jeda di antara kode-kode biner, menemukan keindahan dalam ketidaksempurnaan, dan menerima satu sama lain apa adanya.
Beberapa minggu kemudian, Luna memenangkan tantangan algoritma perjodohan. Algoritmanya memang tidak sempurna, tapi ia berhasil menangkap esensi cinta yang tak terduga. Ia menambahkan variabel yang selama ini diabaikan orang, yaitu "faktor X" – sesuatu yang tidak bisa diukur, tetapi sangat penting dalam sebuah hubungan.
Saat menerima penghargaan, Luna memberikan pidato singkat. "Algoritma memang bisa membantu kita menemukan orang yang cocok, tapi yang terpenting adalah keberanian untuk membuka hati, untuk menerima ketidaksempurnaan, dan untuk memberikan jeda dalam rutinitas cinta kita."
Arion, yang hadir dalam acara tersebut, menatap Luna dengan bangga. Ia mengerti sekarang, bahwa cinta bukan tentang mencari solusi, tapi tentang menikmati perjalanan. Ia telah menemukan jeda dalam algoritma cintanya, dan ia siap untuk menulis babak baru bersama Luna. Babak yang penuh dengan spontanitas, kejutan, dan cinta yang lebih dalam dari sekadar kode biner.