Jejak Karbon Cinta: Saat Algoritma Menggantikan Pelukan

Dipublikasikan pada: 31 Jul 2025 - 01:20:13 wib
Dibaca: 176 kali
Hembusan angin malam Jakarta terasa kering di kulit. Maya, dengan earphone menempel di telinga, menatap layar ponselnya. Angka-angka dan grafik berkelebat, menari-nari mengikuti irama musik elektronik yang memenuhi rongga kepalanya. Bukan, ini bukan tentang pekerjaan. Ini tentang dia. Tentang Leo.

Leo, yang dikenalnya lewat aplikasi kencan berbasis perhitungan jejak karbon. Sebuah ide brilian, menurut Maya. Mencari pasangan yang sevisi, semisi, dan se-eco-conscious. Leo, dengan skor jejak karbon nyaris sempurna, jauh di bawah rata-rata warga Jakarta. Leo, yang hobi mendaur ulang, naik sepeda ke kantor, dan menanam pohon setiap akhir pekan. Leo, yang selama enam bulan terakhir menjadi poros dunianya.

Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Sesuatu yang tidak bisa dikuantifikasi oleh algoritma secanggih apapun. Sesuatu yang hilang di antara pesan-pesan singkat berisi data konsumsi energi dan tautan artikel tentang pemanasan global. Sentuhan. Kehangatan. Spontanitas.

Maya menekan tombol jeda pada musiknya. Hening. Hanya suara bising kota yang menyeruak masuk. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak di dadanya. Pertemuan terakhir mereka terasa hambar. Makan malam vegan di restoran ramah lingkungan, diikuti diskusi panjang lebar tentang kebijakan energi terbarukan. Semuanya sempurna di atas kertas. Tapi tidak di hati.

“Apa yang salah?” bisik Maya pada dirinya sendiri. Ia menggeleng. Leo tidak salah. Algoritma juga tidak salah. Ini tentang dirinya. Tentang ekspektasinya. Tentang kepercayaannya bahwa cinta bisa ditemukan dan diukur melalui data.

Suara notifikasi pesan membuyarkan lamunannya. Dari Leo. Sebuah tautan artikel tentang teknologi penangkap karbon. Maya mendesah. Ia membalas dengan emoji jempol. Dingin. Hambar. Seolah mengirim laporan keuangan, bukan ungkapan perasaan.

Ia bangkit dari kursi balkon dan masuk ke apartemennya yang minimalis. Di dinding, terpampang foto-foto mereka. Bersepeda di Kebun Raya Bogor, membersihkan sampah di pantai Ancol, menanam bibit pohon bakau di Mangrove Jakarta. Semuanya terlihat indah. Semuanya terasa palsu.

Maya membuka laptopnya. Ia membuka aplikasi kencan yang mempertemukannya dengan Leo. Jari-jarinya gemetar saat mengetikkan nama Leo di kolom pencarian. Foto profil Leo, tersenyum cerah dengan latar belakang panel surya, muncul di layar. Maya menatapnya lekat-lekat. Mencoba menemukan sesuatu yang bisa menyalakan kembali api yang mulai padam.

Ia mengklik tombol “Unmatch”.

Jantungnya berdegup kencang. Rasa bersalah menyeruak. Ia tahu, secara logis, ini adalah keputusan yang tepat. Mereka tidak cocok. Mereka terlalu fokus pada kesamaan ideologi dan melupakan kebutuhan emosional. Tapi, tetap saja, terasa sakit.

Layar laptopnya kini menampilkan daftar profil kandidat potensial. Algoritma aplikasi, dengan setia, menyajikan pria-pria dengan skor jejak karbon rendah dan minat yang serupa. Maya memindai foto-foto itu dengan malas. Tidak ada yang menarik. Tidak ada yang memicu rasa ingin tahu. Tidak ada yang… nyata.

Tiba-tiba, matanya tertuju pada satu profil. Seorang pria bernama Arya. Skor jejak karbonnya tidak terlalu rendah, tapi juga tidak terlalu tinggi. Profilnya sederhana. Foto dirinya sedang memanggang sate di halaman rumahnya, dengan keterangan: “Menikmati hidup sederhana. Suka tertawa dan makan enak.”

Maya tertegun. Tidak ada data. Tidak ada grafik. Tidak ada klaim muluk-muluk tentang kesadaran lingkungan. Hanya foto seorang pria yang terlihat bahagia. Sebuah kebodohan yang menyegarkan.

Ia mengklik tombol “Like”.

Beberapa detik kemudian, muncul notifikasi: “Arya menyukai profil Anda!”

Maya tersenyum tipis. Ia tahu, ini mungkin bukan solusi yang sempurna. Arya mungkin tidak sesempurna Leo di atas kertas. Tapi, setidaknya, ia menawarkan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang manusiawi. Sesuatu yang tidak bisa diukur oleh algoritma.

Ia membalas pesan Arya: “Hai, Arya. Sate terlihat enak. Bolehkah saya ikut lain kali?”

Kemudian, ia menutup laptopnya dan berjalan ke balkon. Angin malam terasa lebih segar dari sebelumnya. Bintang-bintang berkelip di langit Jakarta, mengabaikan semua perhitungan jejak karbon dan algoritma cinta. Maya menarik napas dalam-dalam. Ia merasa lega. Ia merasa bebas.

Cinta, pikirnya, bukan tentang mengurangi jejak karbon. Cinta adalah tentang menemukan jejak hati yang saling melengkapi. Dan, mungkin, jejak hati itu akan membawanya ke halaman rumah Arya, di mana aroma sate membakar kenangan tentang cinta yang dihitung, dan menyambut babak baru tentang cinta yang dirasakan. Mungkin kali ini, ia akan menemukan pelukan, bukan algoritma.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI