Algoritma Jatuh Cinta: Bisakah Hati Diperbarui?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:44:50 wib
Dibaca: 163 kali
Aplikasi kencan itu berkedip-kedip di layar ponsel Anya, notifikasinya berteriak minta diperhatikan. Jari Anya ragu-ragu menekan ikonnya. Sudah hampir setahun sejak ia terakhir kali menggunakannya. Setahun sejak pertemuannya yang absurd dan menyakitkan dengan Bima, si programmer sombong yang mengaku bisa memprediksi kecocokan cinta dengan algoritma buatannya.

"Algoritma Cinta," begitu Bima menyebutnya. Ia bersikeras bahwa kode rumit yang dibuatnya, dengan input data berupa preferensi, latar belakang, dan bahkan pola media sosial, bisa menentukan pasangan ideal dengan akurasi 98%. Anya, yang saat itu baru saja patah hati, tergoda. Ia mengisi semua data dengan jujur, berharap menemukan seseorang yang benar-benar cocok.

Bima memang 'cocok' di atas kertas. Mereka berdua suka film indie, punya selera humor yang sama, dan sama-sama bercita-cita menjelajahi Patagonia. Tapi di dunia nyata, semua terasa hambar. Bima terlalu terpaku pada hasil algoritmanya, seolah Anya adalah bug yang harus diperbaiki agar sesuai dengan kodenya. Ia mencoba memaksakan kesamaan, mengkritik perbedaan, dan yang paling menyakitkan, ia tidak pernah melihat Anya sebagai manusia utuh, melainkan sekadar variabel dalam persamaan cintanya.

Setelah tiga bulan berkencan yang menyiksa, Anya memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Ia menghapus aplikasi kencan itu, bersumpah untuk tidak pernah lagi mempercayai algoritma cinta. Ia ingin merasakan cinta yang organik, yang tumbuh dari tatapan mata, percakapan mendalam, dan momen-momen tak terduga.

Kini, setahun kemudian, kesendirian mulai menggerogotinya. Teman-temannya sudah menikah dan sibuk dengan keluarga masing-masing. Anya merasa tertinggal, seperti sistem operasi yang belum diperbarui. Ia membuka kembali aplikasi kencan itu, bukan dengan harapan menemukan cinta sejati, melainkan hanya untuk sekadar melihat-lihat.

Aplikasi itu menyambutnya dengan wajah baru. Tampilannya lebih bersih, algoritmanya diklaim lebih canggih, dan yang paling menarik perhatian Anya, ada fitur baru: "Kecerdasan Emosional." Fitur ini menganalisis gaya bahasa pengguna, nada suara dalam pesan suara, dan bahkan ekspresi wajah dalam foto untuk mengukur tingkat empati dan kecerdasan emosional.

Anya skeptis. Kecerdasan emosional tidak bisa diukur dengan algoritma. Itu adalah sesuatu yang hanya bisa dirasakan, dialami, dan dipahami melalui interaksi manusia yang tulus. Tapi rasa penasaran mengalahkannya. Ia mengaktifkan fitur tersebut dan mulai menjelajahi profil.

Kebanyakan profil terasa dangkal dan generik. Laki-laki dengan foto-foto pamer otot dan deskripsi diri yang klise. Wanita dengan filter berlebihan dan janji manis yang kosong. Anya hampir menyerah ketika matanya tertumbuk pada sebuah profil yang berbeda.

Foto profilnya adalah foto siluet seseorang yang sedang mendaki gunung saat matahari terbit. Deskripsinya singkat namun puitis: "Mencari cakrawala baru, baik di alam maupun dalam hati." Anya mengklik profil tersebut.

Namanya Arya. Umurnya sebaya Anya. Pekerjaannya adalah seorang fotografer alam. Profilnya dipenuhi dengan foto-foto indah pemandangan dari seluruh dunia. Tidak ada foto pamer otot, tidak ada janji manis. Hanya keindahan alam yang menenangkan.

Anya membaca deskripsi Arya lebih teliti. Ia menulis tentang kecintaannya pada alam, ketertarikannya pada filsafat, dan keinginannya untuk menemukan seseorang yang bisa berbagi keindahan dunia bersamanya. Kecerdasan Emosional Arya mencetak skor yang sangat tinggi.

Anya ragu-ragu. Ia tidak ingin terjebak lagi dalam algoritma cinta yang palsu. Tapi ada sesuatu dalam profil Arya yang menariknya. Keaslian, mungkin. Atau harapan, mungkin. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengirim pesan sederhana: "Foto-fotonya indah. Gunung apa yang ada di foto profilmu?"

Arya membalas hampir seketika. Ia menceritakan tentang pendakiannya ke Gunung Rinjani, tentang keindahan dan tantangan yang dihadapinya, dan tentang perasaan damai yang dirasakannya di puncak gunung. Anya terpikat. Mereka terus bertukar pesan, membahas tentang alam, seni, dan kehidupan.

Anya merasa terkejut. Ia sudah lama tidak merasakan ketertarikan seperti ini. Arya berbeda dari Bima. Ia tidak mencoba memaksakan kesamaan, tidak mengkritik perbedaan, dan yang paling penting, ia melihat Anya sebagai manusia utuh, bukan sekadar variabel dalam persamaan cinta.

Setelah seminggu bertukar pesan, Arya mengajak Anya untuk bertemu. Mereka bertemu di sebuah kedai kopi kecil di dekat taman kota. Ketika Anya melihat Arya, ia terkejut. Ia lebih tampan dari foto profilnya. Matanya berbinar-binar dan senyumnya tulus.

Mereka menghabiskan sore itu berbicara tanpa henti. Tentang mimpi, harapan, dan ketakutan mereka. Anya merasa nyaman dan terbuka. Ia menceritakan pengalamannya yang pahit dengan Bima dan algoritma cintanya.

Arya mendengarkan dengan penuh perhatian. Ketika Anya selesai bercerita, ia meraih tangannya dan berkata, "Aku tidak percaya pada algoritma cinta. Aku percaya pada koneksi manusia yang tulus. Aku melihatmu, Anya. Aku melihat keindahanmu, kekuatanmu, dan kerentananmu. Dan aku menyukainya."

Anya terdiam. Kata-kata Arya menyentuh hatinya. Ia merasakan kehangatan yang sudah lama tidak ia rasakan. Ia menatap mata Arya dan melihat kejujuran di sana. Ia mulai percaya bahwa mungkin, hanya mungkin, algoritma tidak sepenuhnya salah. Mungkin algoritma hanya alat, dan yang terpenting adalah bagaimana kita menggunakannya.

Malam itu, Anya pulang dengan perasaan yang berbeda. Ia masih ragu, tapi juga penuh harapan. Ia tahu bahwa cinta tidak bisa diprediksi, tidak bisa diprogram, dan tidak bisa dipaksakan. Tapi ia juga tahu bahwa cinta bisa ditemukan di tempat yang tak terduga, bahkan di aplikasi kencan yang dipenuhi algoritma.

Anya membuka ponselnya dan melihat notifikasi dari aplikasi kencan itu. Algoritma menyarankan agar ia memperbarui profilnya dengan foto terbaru. Anya tersenyum. Ia memutuskan untuk memperbarui profilnya, bukan untuk mencari cinta sejati, melainkan untuk membuka diri pada kemungkinan-kemungkinan baru.

Mungkin, pikir Anya, hati memang bisa diperbarui. Bukan dengan algoritma, tapi dengan keberanian untuk membuka diri, kepercayaan untuk mengambil risiko, dan harapan untuk menemukan cinta yang tulus. Dan mungkin, kali ini, algoritmanya benar. Mungkin, Arya memang orang yang tepat untuknya. Hanya waktu yang akan menjawabnya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI