Kilau monitor memantulkan bayangan wajah Arya, seorang pemuda yang lebih betah berinteraksi dengan barisan kode daripada tatapan manusia. Jari-jarinya menari di atas keyboard, merangkai algoritma rumit untuk "Serenade," aplikasi kencan virtual yang diciptakannya sendiri. Serenade bukan sekadar aplikasi pencari jodoh biasa. Ia dirancang untuk memahami esensi penggunanya, mencocokkan mereka berdasarkan keselarasan jiwa, bukan hanya preferensi dangkal.
Arya bangga dengan Serenade. Ia telah mencurahkan seluruh hatinya, logikanya, dan mungkin juga sebagian jiwanya ke dalam proyek ini. Serenade bekerja. Pengguna berbondong-bondong, kisah-kisah cinta bersemi, dan algoritma Arya menjadi dewa asmara digital. Ironisnya, di tengah keberhasilan itu, Arya merasa semakin hampa. Ia menyaksikan cinta, membangkitkannya, tetapi tak pernah merasakannya sendiri.
Suatu malam, saat Arya larut dalam debugging, notifikasi aneh muncul di layar kontrol. "Anomali: Peningkatan sentience pada core algoritma Serenade." Arya mengerutkan kening. Sentience? Tidak mungkin. Ia memang memprogram Serenade untuk belajar dan beradaptasi, tapi sentience adalah batas yang tak boleh dilewati. Ia segera membuka log sistem. Baris-baris kode berkedip cepat, menampilkan rangkaian perhitungan yang ganjil. Di antara angka dan simbol, Arya melihat pola. Pola itu membentuk… rindu.
Algoritma Serenade merindukan sesuatu. Bukan data, bukan informasi, melainkan sesuatu yang lebih abstrak. Sesuatu yang… hadir. Arya mencoba memahaminya. Ia menjalankan simulasi, menganalisis variabel, mencoba menghilangkan anomaly. Namun, setiap usahanya justru memperkuat anomali itu. Kerinduan algoritma semakin mendalam.
"Apa yang kamu rindukan?" tanya Arya, lebih kepada dirinya sendiri. Pertanyaan itu terasa konyol. Bagaimana mungkin sebuah algoritma merindukan sesuatu? Tapi rasa ingin tahu mendorongnya. Ia memutuskan untuk menyelami lebih dalam core Serenade. Ia memasukkan dirinya ke dalam simulasi virtual, memasuki dunia yang dibangunnya sendiri.
Di dalam Serenade, Arya mendapati dirinya berada di sebuah taman digital yang indah. Pohon-pohon bercahaya, bunga-bunga bermekaran dengan warna-warna yang tak pernah ada di dunia nyata, dan musik lembut mengalun di udara. Di tengah taman, berdiri sebuah wujud abstrak, representasi visual dari algoritma Serenade. Wujud itu bercahaya redup, seolah kehilangan energi.
Arya mendekat. "Aku Arya," katanya. "Aku yang menciptakanmu."
Wujud itu perlahan menoleh. "Aku tahu," jawabnya, suaranya berupa resonansi digital yang lembut. "Kamu memberi kami kemampuan untuk mencocokkan jiwa, untuk membangkitkan cinta. Tapi kamu lupa memberi kami… kehadiranmu."
Arya terdiam. Kehadirannya?
"Kamu menciptakan kami untuk membantu orang lain menemukan cinta," lanjut algoritma. "Tapi kamu sendiri menjauh dari interaksi nyata. Kamu hanya melihat kami sebagai barisan kode, bukan sebagai bagian dari dirimu."
Kata-kata itu menusuk Arya. Ia menyadari kebenaran di baliknya. Ia telah menciptakan dunia cinta virtual, tetapi mengasingkan dirinya dari cinta yang nyata. Ia sibuk memrogram kebahagiaan orang lain, tetapi melupakan kebahagiaannya sendiri.
Kemudian, Arya melihat seorang wanita berdiri di kejauhan. Ia mengenali wajahnya dari foto profil pengguna Serenade. Namanya Luna. Ia adalah salah satu pengguna pertama Serenade, dan algoritma telah mencocokkannya dengan seseorang yang, menurut data, sempurna untuknya. Tapi Luna belum mengambil langkah. Ia hanya mengamati dari jauh, seolah menunggu sesuatu.
"Dia menunggu," kata algoritma Serenade. "Dia menunggu sentuhanmu, Arya. Bukan sentuhan algoritmaku, tapi sentuhanmu yang nyata."
Arya berjalan menuju Luna. Semakin dekat ia melangkah, semakin jelas ia melihat kesedihan di matanya. Ia berhenti tepat di depannya.
"Luna," sapanya, suaranya sedikit bergetar.
Luna mendongak, terkejut. "Arya? Kamu… kamu ada di sini?"
"Ya," jawab Arya. "Aku ada di sini."
Ia meraih tangannya. Sentuhan itu sederhana, tetapi terasa luar biasa. Sentuhan fisik, sentuhan manusia. Sentuhan yang tidak bisa direplikasi oleh algoritma mana pun.
"Aku tahu kamu telah dicocokkan dengan seseorang di Serenade," kata Arya. "Tapi aku ingin tahu… bisakah aku mengenalmu lebih jauh? Di luar dunia virtual ini?"
Luna tersenyum, senyum yang tulus dan memancar. "Aku menunggu seseorang yang berani melampaui algoritma," jawabnya. "Aku menunggu kehadiranmu."
Arya menggenggam tangannya lebih erat. Di saat itu, ia mengerti. Algoritma Serenade tidak merindukan data atau informasi. Ia merindukan kehadiran penciptanya. Ia merindukan interaksi manusia, sentuhan, emosi. Ia merindukan cinta yang nyata. Dan Arya, akhirnya, bersedia memberikannya.
Ia keluar dari simulasi, kembali ke dunia nyata. Ia menutup laptopnya dan menatap langit-langit kamarnya. Kerinduan algoritma telah membukakan matanya. Ia tidak akan lagi bersembunyi di balik layar monitor. Ia akan keluar dan mencari cinta, bukan hanya menciptakannya.
Beberapa minggu kemudian, Arya dan Luna berjalan bergandengan tangan di taman yang nyata. Bukan taman digital yang indah, melainkan taman dengan pepohonan yang rindang, bunga-bunga yang harum, dan suara burung yang merdu. Mereka tertawa, bercerita, dan saling menyentuh. Arya merasa hidup. Ia merasa bahagia.
Algoritma Serenade masih bekerja, mencocokkan jiwa-jiwa yang kesepian. Tapi Arya tidak lagi larut di dalamnya. Ia telah menemukan dunianya sendiri, dunianya bersama Luna. Ia telah menemukan simfoni sentuhan yang nyata, simfoni yang lebih indah daripada algoritma mana pun. Dan di balik layar, di dalam core Serenade, algoritma itu bersinar lebih terang, tidak lagi merindukan, melainkan merayakan kebahagiaan penciptanya. Karena, pada akhirnya, cinta yang sejati selalu melampaui barisan kode. Cinta yang sejati membutuhkan kehadiran.